Suara.com - Penonton konten pornografi sedang meningkat. Pada 2019 saja, salah satu situs porno terkemuka di dunia PornHub menerima rata-rata 115 juta kunjungan per hari.
Semua konten erotis yang gratis dan mudah diakses di layar dapat membuat beberapa orang mengira bahwa mereka kecanduan.
Benarkah pornografi membuat ketagihan?
Kecanduan pornografi tidak diakui oleh American Psychological Association (APA) sebagai masalah atau gangguan kesehatan mental, seperti kecanduan narkoba atau alkohol.
Di dalam DSM-5 (Manual of Mental Disorderspanduan otoitatif dunia tentang gangguan psikologis) pun, pornografi dan kecanduan seks bukanlah gangguan psikologis.
Beberapa gangguan yang dikenali DSM-5 adalah kecanduan judi, alkohol, obat-obatan, dan yang terbaru, game online.
Mengapa tidak ada kecanduan pornografi? Alasannya neurokimia, lapor Insider.
Ketika menonton film porno dapat mengaktifkan sirkuit kesenangan serupa di otak, misalnya seperti alkohol atau obat-obatan, bukan berarti seseorang dapat kecanduan hal itu dengan cara yang sama.
Itu karena kecanduan, misalnya pada obat-obatan, tidak hanya mengaktifkan sirkuit kesenangan di otak, tetapi juga mengubah kimiawi otak. Hingga akhirnya orang tersebut tidak bisa lagi melepaskan bahan kimia kesenangan itu tanpa bantuan 'obat' yang membuat kecanduan.
Baca Juga: Bagaimana Jika Terlanjur Hubungan Intim saat Puasa? Ini Jawaban Rasulullah
Jadi, apa yang orang-orang sebut 'kecanduan pornografi', bukanlah bentuk kecanduan yang sebenarnya. Perilaku orang-orang tersebut lebih terkait erat dengan jenis perilaku kompulsif, obsesif, atau kebiasaan.
Sedangkan faktanya, banyak orang mengembangkan perilaku kompulsif, obsesif, dan kebiasaan ke banyak hal dalam hidup, terutama jika hal-hal tersebut mengurangi kecemasan atau memenuhi rasa kesepian atau kerinduan.
Oleh karenanya, 'kecanduan pornografi' pada dasarnya adalah konflik nilai yang membuat seseorang berpikir bahwa mereka kecanduan.
"Jika Anda merasa bergumul dengan pornografi, kemungkinan besar Anda sebenarnya bergumul dengan konflik nilai-nilai pribadi Anda seputar perilaku seksual, dan bukan pornografi itu sendiri," pungkas Nicole Prause, PhD, seorang ahli saraf yang meneliti psikofisiologi seksual.
Berita Terkait
Terpopuler
- Pelatih Argentina Buka Suara Soal Sanksi Facundo Garces: Sindir FAM
- Kiper Keturunan Karawang Rp 2,61 Miliar Calon Pengganti Emil Audero Lawan Arab Saudi
- Usai Temui Jokowi di Solo, Abu Bakar Ba'asyir: Orang Kafir Harus Dinasehati!
- Ingatkan KDM Jangan 'Brengsek!' Prabowo Kantongi Nama Kepala Daerah Petantang-Petenteng
- 30 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 28 September: Raih Hadiah Prime Icon, Skill Boost dan Gems Gratis
Pilihan
-
Pertamax Tetap, Daftar Harga BBM yang Naik Mulai 1 Oktober
-
Lowongan Kerja PLN untuk Lulusan D3 hingga S2, Cek Cara Daftarnya
-
Here We Go! Jelang Lawan Timnas Indonesia: Arab Saudi Krisis, Irak Limbung
-
Berharap Pada Indra Sjafri: Modal Rekor 59% Kemenangan di Ajang Internasional
-
Penyumbang 30 Juta Ton Emisi Karbon, Bisakah Sepak Bola Jadi Penyelamat Bumi?
Terkini
-
Miris! Ahli Kanker Cerita Dokter Layani 70 Pasien BPJS per Hari, Konsultasi Jadi Sebentar
-
Silent Killer Mengintai: 1 dari 3 Orang Indonesia Terancam Kolesterol Tinggi!
-
Jantung Sehat, Hidup Lebih Panjang: Edukasi yang Tak Boleh Ditunda
-
Siloam Hospital Peringati Hari Jantung Sedunia, Soroti Risiko AF dan Stroke di Indonesia
-
Skrining Kanker Payudara Kini Lebih Nyaman: Pemeriksaan 5 Detik untuk Hidup Lebih Lama
-
CEK FAKTA: Ilmuwan China Ciptakan Lem, Bisa Sambung Tulang dalam 3 Menit
-
Risiko Serangan Jantung Tak Pandang Usia, Pentingnya Layanan Terpadu untuk Selamatkan Nyawa
-
Bijak Garam: Cara Sederhana Cegah Hipertensi dan Penyakit Degeneratif
-
HD Theranova: Terobosan Cuci Darah yang Tingkatkan Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal
-
Stres Hilang, Jantung Sehat, Komunitas Solid: Ini Kekuatan Fun Run yang Wajib Kamu Coba!