Suara.com - Enam tahun lalu, seorang remaja bernama Claudia Digregorio dari Italia terbang ke Amerika Serikat untuk memeriksakan kondisinya dan berharap mendapat diagnosis pasti atas penyakitnya.
Claudia mengalami kelumpuhan di kakinya, hingga membuatnya tidak bisa berjalan dan harus memakai tabung pernapasan. Tetapi saat itu dokter belum bisa mendeteksi nama penyakitnya.
Sekarang, para peneliti sudah bisa mendiagnosis kondisi yang dialami Claudia dan 10 anak lainnya, yaitu sebuah bentuk baru dari amyotrophic lateral sclerosis (ALS). Temuan mereka diterbitkan di jurnal Nature Medicine, pada Senin (31/5/2021).
Amyotrophic lateral sclerosis (ALS), atau sklerosis lateral amiotrofik, merupakan penyakit yang menyerang otak dan saraf tulang belakang, yang mengendalikan gerakan otot (saraf motorik), lapor Live Science.
Bentuk baru dari ALS ini menyerang saat masa kanak-kanak, dengan gejala muncul sekitar usia empat tahun, dan berkembang lebih lambat daripada yang biasanya dialami penderita umum penyakit ini.
Pada sebagian besar 11 anak ini, tanda-tanda pertama yang muncul adalah masalah berjalan dan kelenturan di tungkai bawah mereka.
Ketika mencapai usia remaja, banyak dari mereka membutuhkan kursi roda untuk mobilitas dan menggunakan tabung trakeostomi untuk bantuan pernapasan.
Claudia merupakan pasien pertama yang dilibatkan dalam penelitian ini. Gadis ini dan 10 pasien lainnya menunjukkan tanda-tanda ALS pada pemeriksaan neurologis.
"Pasien muda ini memiliki banyak masalah neuron motorik atas dan bawah yang merupakan indikasi ALS," jelas penulis utama studi Payam Mohassel, seorang rekan peneliti klinis di National Institutes of Health (NIH).
Baca Juga: Diduga Karena Vaksinasi, Guru SMAN 1 Cisolok Alami Kelumpuhan dan Kebutaan
"Hal yang membuat kasus ini unik adalah usia dini dan perkembangan gejala yang lebih lambat," sambung Mohassel.
Menggunakan pengurutan genetik, peneliti menemukan pasien-pasien ini memiliki perubahan genetik pada bagian tertentu di gen SPLTC1. Gen ini terlibat dalam produksi lemak sphingolipids, yang sangat melimpah di jaringan otak.
Penelitian lebih lanjut mengungkapkan mutasi ini meningkatkan kadar sphingolipids, yang "mengambil rem" dan enzim yang terlibat dalam produksi sphingolipids. Artinya, tubuh terus memproduksi lemak tersebut tanpa bisa berhenti.
Peneliti pun berhipotesis bahwa penyakit ini dapat diobati dengan memulihkan "rem" ini.
Dalam percobaan ini, peneliti pun menguji terapi yang disebut RNA penganggu kecil, atau siRNA, di mana untaian kecil RNA bekerja untuk mematikan gen yang bermutasi. Dalam kasus ini adalah gen SPLTC1.
Berdasarkan studi laboratorium, terapi ini berhasil mengembalikan tingkat sphingolipids menjadi normal kembali.
Berita Terkait
Terpopuler
- Ingin Miliki Rumah Baru di Tahun Baru? Yuk, Cek BRI dengan KPR Suku Bunga Spesial 1,30%
- 7 Motor Matic Paling Nyaman Buat Touring di 2026: Badan Anti Pegal, Pas Buat Bapak-bapak
- Sambut HUT ke-130 BRI: Nikmati Promo Hemat Hingga Rp1,3 Juta untuk Upgrade Gaya dan Hobi Cerdas Anda
- Meskipun Pensiun, Bisa Tetap Cuan dan Tenang Bersama BRIFINE
- 3 Pilihan Mobil Bekas Rp60 Jutaan: Irit BBM, Nyaman untuk Perjalanan Luar Kota
Pilihan
-
OJK Awasi Ketat Pembayaran Pinjol Dana Syariah Indonesia yang Gagal Bayar
-
Jejak Emas Rakyat Aceh Bagi RI: Patungan Beli Pesawat, Penghasil Devisa & Lahirnya Garuda Indonesia
-
Pabrik Toba Pulp Lestari Tutup Operasional dan Reaksi Keras Luhut Binsar Pandjaitan
-
Kuota Pemasangan PLTS Atap 2026 Dibuka, Ini Ketentuan yang Harus Diketahui!
-
Statistik Suram Elkan Baggott Sepanjang 2025, Cuma Main 360 Menit
Terkini
-
Teknologi Kesehatan Makin Maju: CT Scan Generasi Baru Percepat Diagnostik dan Tingkatkan Kenyamanan
-
Mengapa Air Minum Hasil Distilasi Lebih Aman untuk Kesehatan? Begini Penjelasannya
-
Temuan Baru tentang Polifenol Spearmint: Pendukung Alami Memori, Konsentrasi, hingga Kinerja Mental
-
Dari Alat Medis hingga Kesehatan Digital, Indonesia Mempercepat Transformasi Layanan Kesehatan
-
Fenomena Sadfishing di Media Sosial, Bagaimana Cara Mengatasinya?
-
5 Kesalahan Umum Saat Memilih Lagu untuk Anak (dan Cara Benarnya)
-
Heartology Cetak Sejarah: Operasi Jantung Kompleks Tanpa Belah Dada Pertama di Indonesia
-
Keberlanjutan Makin Krusial dalam Layanan Kesehatan Modern, Mengapa?
-
Indonesia Kini Punya Pusat Bedah Robotik Pertama, Tawarkan Bedah Presisi dan Pemulihan Cepat
-
Pertama di Indonesia, Operasi Ligamen Artifisial untuk Pasien Cedera Lutut