Suara.com - Asap yang dihasilkan dari suatu kebakaran tidak hanya berpengaruh pada paru-paru, tapi juga pada kesehatan mental. Asap bakaran ini biasa ditemukan lewat bakaran sampah, kebakaran hutan, hingga kebakaran rumah.
Melansir Very Well Mind, menghirup asap kebakaran diketahui bisa menyebabkan risiko kesehatan fisik, salah satunya adalah asma.
Namun, semakin banyak bukti yang menunjukkan, menghirup asap kebakaran juga berdampak pada kerusakan otak.
Selain asap yang berasal dari bakaran api, ada materi partikel atau potongan kecil bahan bakar yang mengandung karbon dioksida dan nitrogen dioksida. Oleh sebab itu, partikel inilah yang dapat merusak kesehatan manusia.
Para peneliti masih terus mencari jawaban terkait bagaimana polusi udara dari asap dapat mempengaruhi otak. Namun, beberapa bukti sudah menunjukkan masalah ini.
Seperti studi yang terbit pada tahun 2019 misalnya, menunjukkan bahwa paparan partikel di udara dikaitkan dengan masalah kesehatan mental. Mulai dari kecemasan, depresi, hingga kecenderungan bunuh diri.
Pada peningkatan bunuh diri misalnya, ditemukan ada hubungan yang saling terkait antara paparan polusi udara dengan kunjungan ruang gawat darurat untuk depresi dan bunuh diri.
Selain itu, asap yang berasal dari kebakaran hutan juga menimbulkan trauma serta beban emosional bagi korban.
Sebelumnya, sebuah studi tahun 2017 menunjukkan, mereka yang terpapar partikel asap memiliki tingkat hormon stres yang jauh lebih tinggi. Bahkan, keberadaan polusi udara tidak hanya membuat stres secara psikologis saja, melainkan juga mempengaruhi fungsi hormon normal.
Baca Juga: Top 5 SuaraJogja: Pentas Pertama Ki Subardi Dibubarkan, Zaskia Mantap Ingin Pindah Jogja
Menurut Ahli Saraf Pediatrik dan Ahli Pengobatan Lingkungan Sarah Rahal, MD, menjelaskan bagaimana partikel asap tersebut masuk ke dalam tubuh.
Dia menjelaskan, partikel yang dihirup lewat paru-paru hingga masuk ke aliran darah, akan berkomunikasi langsung ke otak melalui saluran hidung.
“Partikel ini memang menyebabkan peradangan, sehingga ini bisa memicu sel-sel kekebalan otak yang merespons stres,” ungkap Sarah.
“Dengan begitu, Anda memiliki toksisitas langsung dari partikel ini ke neuron di sistem saraf Anda,” lanjutnya.
Hasilnya, lanjut Sarah, efek neurotoksik ini dapat mengubah struktur otak, sehingga ini bisa menyebabkan masalah neurologis terutama pada anak-anak.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Body Lotion di Indomaret untuk Usia 50 Tahun ke Atas, Rawat Garis Penuaan
- 7 Rekomendasi Lipstik Transferproof untuk Pekerja Kantoran, Mulai Rp20 Ribuan
- 27 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 14 November: Ada Beckham 111, Magic Curve, dan Gems
- 5 Sepatu Running Lokal Paling Juara: Harga Murah, Performa Berani Diadu Produk Luar
- 6 Tablet RAM 8 GB Paling Murah untuk Pekerja Kantoran, Mulai Rp2 Jutaan
Pilihan
-
Ketika Serambi Mekkah Menangis: Mengingat Kembali Era DOM di Aceh
-
Catatan Gila Charly van Oosterhout, Pemain Keturunan Indonesia di Ajax: 28 Laga 19 Gol
-
Daftar 611 Pinjol Ilegal Terbaru Update Satgas PASTI OJK: Ada Pindar Terkenal
-
Bobibos Ramai Dibicarakan! Pakar: Wajib Lolos Uji Kelayakan Sebelum Dijual Massal
-
Video Brutal Latja SPN Polda NTT Bocor, Dua Siswa Dipukuli Senior Bikin Publik Murka
Terkini
-
5 Buah Tinggi Alkali yang Aman Dikonsumsi Penderita GERD, Bisa Mengatasi Heartburn
-
Borobudur Marathon Jadi Agenda Lari Akhir 2025
-
Waspada Konsumsi Minuman Soda Diet, Temuan Terbaru Sebut Risiko Penyakit Hati Naik hingga 60%
-
Inovasi Kedokteran Gigi yang Siap Ubah Layanan Kesehatan Mulut Indonesia
-
Waspada "Diabesity", Mengapa Indonesia Jadi Sarang Penyakit Kombinasi Diabetes dan Obesitas?
-
Gaya Hidup Modern Picu Kelelahan, Inovasi Wellness Mulai Dilirik Masyarakat Urban
-
Rahasia Anak Tumbuh Percaya Diri dan Kreatif, Jessica Iskandar Beberkan Kuncinya
-
BRIN Uji Rokok Elektrik: Kadar Zat Berbahaya Lebih Rendah, Tapi Perlu Pengawasan
-
Sering Luput Dari Perhatian Padahal Berbahaya, Ketahui Cara Deteksi dan Pencegahan Aritmia
-
Vape Bukan Alternatif Aman: Ahli Ungkap Risiko Tersembunyi yang Mengintai Paru-Paru Anda