Suara.com - Para peneliti dari Universitas Queensland, Australia, menemukan bahwa orang yang memiliki riwayat genetik terkena depresi klinis, atau depresi mayor, cenderung punya gejala fisik, seperti nyeri kronis, kelelahan, dan migrain.
Menurut peneliti, Enda Byrne dari Institute for Mulecular Bioscience UQ, depresi merupakan gangguan serius dengan risiko kesehatan yang buruk seumur hidup penderita.
"Sebagian besar orang depresi yang didiagnosis secara klinis mengeluhkan gejala fisik yang menyebabkan penderitaan dan (ini) dapat berdampak parah pada kualitas hidup orang tersebut," jelas Byrne, lapor Medical Xpress.
Ia melanjutkan bahwa tujuan penelitiannya adalah untuk lebih memahami dasar biologis depresi dan mendeteksi berbagai gejala penting.
"Pada akhirnya penelitian kami bertujuan untuk lebih memahami risiko genetik dan menghasilkan angka risiko secara lebih akurat untuk digunakan dalam penelitian dan pengobatan," sambungnya.
Meski banyak terobosan baru dalam hal ini, menemukan faktor risiko genetik akan depresi sulit karena variasi usia pasien, respons terhadap pengobatan, dan adanya gangguan mental serta fisik tambahan lainnya.
"Studi genetik sebelumnya telah memasukkan peserta yang mengeluhkan perasaan khawatir atau tegang, tetapi (gejala) itu mungkin tidak sesuai dengan kriteria 'resmi' untuk diagnosis depresi," imbuhnya.
Dari permasalahan tersebut, Byrne dan rekannya bekerja sama dengan QIMR Berghofer Medical Research Institute untuk menganalisis lebih dari 15.000 data sukarelawan yang berisi rincian riwayat kesehatan mental, gejala depresi, serta sampel DNA air liur mereka.
Akhirnya, mereka menemukan bahwa orang dengan risiko genetik terkena depresi klinis lebih mungkin mengalami gejala fisik, mulai dari nyeri kronis hingga migrain.
Baca Juga: 4 Realita Pahit yang Harus Dihadapi di Dunia Kerja, Wajib Siapkan Mental
"Ini juga terkait dengan tingginya tingkat gejala somatik, yakni gejala fisik yang membuat susah dan dapat berdampak parah pada kualitas hidup penderita," lanjut Byrne.
Meski begitu, Byrne mengatakan hasil studinya ini memerlukan penelitian yang lebih besar untuk menyelidiki berbagai gejala yang dialami penderita depresi.
Berita Terkait
Terpopuler
- Bak Bumi dan Langit, Adu Isi Garasi Menkeu Baru Purbaya Yudhi vs Eks Sri Mulyani
- Apa Jabatan Nono Anwar Makarim? Ayah Nadiem Makarim yang Dikenal Anti Korupsi
- Mahfud MD Bongkar Sisi Lain Nadiem Makarim: Ngantor di Hotel Sulit Ditemui Pejabat Tinggi
- Kata-kata Elkan Baggott Jelang Timnas Indonesia vs Lebanon Usai Bantai Taiwan 6-0
- Mahfud MD Terkejut dengan Pencopotan BG dalam Reshuffle Kabinet Prabowo
Pilihan
-
Studi Banding Hemat Ala Konten Kreator: Wawancara DPR Jepang Bongkar Budaya Mundur Pejabat
-
Jurus Baru Menkeu Purbaya: Pindahkan Rp200 Triliun dari BI ke Bank, 'Paksa' Perbankan Genjot Kredit!
-
Sore: Istri dari Masa Depan Jadi Film Indonesia ke-27 yang Dikirim ke Oscar, Masuk Nominasi Gak Ya?
-
CELIOS Minta MUI Fatwakan Gaji Menteri Rangkap Jabatan: Halal, Haram, atau Syubhat?
-
Hipdut, Genre Baru yang Bikin Gen Z Ketagihan Dangdut
Terkini
-
Sering Diabaikan, Masalah Pembuluh Darah Otak Ternyata Bisa Dideteksi Dini dengan Teknologi DSA
-
Efikasi 100 Persen, Vaksin Kanker Rusia Apakah Aman?
-
Tahapan Skrining BPJS Kesehatan Via Aplikasi dan Online
-
Rusia Luncurkan Vaksin EnteroMix: Mungkinkah Jadi Era Baru Pengobatan Kanker?
-
Skrining BPJS Kesehatan: Panduan Lengkap Deteksi Dini Penyakit di Tahun 2025
-
Surfing Jadi Jalan Perempuan Temukan Keberanian dan Healing di Laut
-
Bayi Rewel Bikin Stres? Rahasia Tidur Nyenyak dengan Aromaterapi Lavender dan Chamomile!
-
Varises Esofagus Bisa Picu BAB dan Muntah Darah Hitam, Ini Penjelasan Dokter Bedah
-
Revolusi Kesehatan Dimulai: Indonesia Jadi Pusat Inovasi Digital di Asia!
-
HPV Masih Jadi Ancaman, Kini Ada Vaksin Generasi Baru dengan Perlindungan Lebih Luas