Suara.com - Partikel gas berbahaya asap rokok jadi faktor utama risiko terjadinya Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK). Selain itu, partikel lain seperti polusi bahan kimia di tempat kerja dan asap dapur juga bisa menyebabkan risiko serupa.
PPOK terjadi akibat adanya korelasi erat antara paparan partikel atau gas berbahaya yang signifikan dan meningkatnya respons utama pada saluran napas dan jaringan paru.
Dokter spesialis Kardiovaskular dr. Arto Yuwono Soeroto, Sp. PD-KP., menjelaskan bahwa PPOK bisa menimbulkan gejala keluhan saluran pernapasan yang menetap seperti batuk berdahak dan sesak nafas
Gejala pernapasan itu menetap dan progresif karena adanya kerusakan saluran napas pada gelembung alveolus atau kantung udara kecil di dalam paru-paru yang menjadi tempat pertukaran oksigen dan karbondioksida.
“Kerusakan tersebut disebabkan oleh pajanan dengan gas atau partikel berbahaya seperti merokok dan polusi,” jelas dokter Arto, dikutip dari situs Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
PPOK sebenarnya bukan penyakit menular dan dapat diobati. Akan tetapi, tatalaksana pengobatannya lebih diupayakan untuk mencegah perburukan gejala juga mempertahankan fungsi paru.
PPOK juga telah jadi penyebab kematian ketiga terbanyak di dunia. Organisasi Kesehatan Duni (WHO) mencatat, dekitar 3,23 juta orang meninggal akibat penyakit tersebut selama 2019. Kebiasaan merokok disebut jadi penyebab utamanya.
Global initiative for Chronic Obstructive Lung Disease memperkirakan bahwa secara epidemiologi di tahun 2060 angka prevalensi PPOK akan terus meningkat karena juga peningkatan jumlah angka orang yang merokok.
Di Indonesia berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas) Kemenkes 2013, prevalensi PPOK mencapai 3,7 persen atau sekitar 9,2 juta orang.
Baca Juga: Deteksi Dini Kanker Paru, Begini Gejalanya, Cegah Sebelum Stadium Lanjut
Hasil Riskesdas juga ditemukan jumlah perokok di Indonesia masih tinggi, kira-kira 33,8 persen atau 1 dari 3 orang.
Angka perokok pada laki-laki mempunyai proporsi yang besar sekitar 63 persen atau 2 dari 3 orang.
Selain itu peningkatan prevalensi merokok cenderung lebih tinggi pada kelompok remaja usia 10 sampai 18 tahun, yakni sekitar 7,2 persen naik menjadi 9,1 persen pada 2018 atau hampir 1 dari 10 anak di Indonesia punya kebiasaan merokok.
Berita Terkait
Terpopuler
- 10 Rekomendasi Tablet Harga 1 Jutaan Dilengkapi SIM Card dan RAM Besar
- 5 Rekomendasi Motor Listrik Harga di Bawah Rp10 Juta, Hemat dan Ramah Lingkungan
- 20 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 4 Oktober 2025, Klaim Ballon d'Or dan 16.000 Gems
- Rhenald Kasali di Sidang ASDP: Beli Perusahaan Rugi Itu Lazim, Hakim Punya Pandangan Berbeda?
- Beda Pajak Tahunan Mitsubishi Destinator dan Innova Reborn, Lebih Ringan Mana?
Pilihan
-
Formasi Bocor! Begini Susunan Pemain Arab Saudi Lawan Timnas Indonesia
-
Getol Jualan Genteng Plastik, Pria Ini Masuk 10 Besar Orang Terkaya RI
-
BREAKING NEWS! Maverick Vinales Mundur dari MotoGP Indonesia, Ini Penyebabnya
-
Harga Emas Terus Meroket, Kini 50 Gram Dihargai Rp109 Juta
-
Bursa Saham 'Pestapora" di Awal Oktober: IHSG Naik, Transaksi Pecahkan Rekor
Terkini
-
Belajar dari Kasus Ameena, Apakah Permen Bisa Membuat Anak Sering Tantrum?
-
Bukan Sekadar Gadget: Keseimbangan Nutrisi, Gerak, dan Emosi Jadi Kunci Bekal Sehat Generasi Alpha
-
Gerakan Kaku Mariah Carey saat Konser di Sentul Jadi Sorotan, Benarkah karena Sakit Fibromyalgia?
-
Di Balik Rak Obat dan Layar Digital: Ini Peran Baru Apoteker di Era Kesehatan Modern
-
Kesibukan Kerja Kerap Tunda Pemeriksaan Mata, Layanan Ini Jadi Jawaban
-
Langkah Tepat Pengobatan Kanker Ovarium: Masa Remisi Lebih Panjang Hingga Tahunan
-
Katarak yang Tidak Dioperasi Berisiko Meninggal Dunia Lebih Awal, Ini Alasannya
-
Pemantauan Aktif Vaksinasi Dengue di DKI Jakarta: Kolaborasi Menuju Nol Kematian 2030
-
Atasi Pembesaran Prostat Tanpa Operasi Besar? Kenali Rezum, Terapi Uap Air yang Jadi Harapan Baru
-
Dukungan untuk Anak Pejuang Kanker, Apa Saja yang Bisa Dilakukan?