Suara.com - Sejumlah penelitian telah menjelaskan potensi terapeutik dari beberapa obat psikedelik. Hal ini membuat peluang menggunakannya secara legal pun muncul.
Bangkitnya psikedelik ini telah memicu diskusi tentang penggunaan obat-obatan seperti magic mushroom, MDMA, dan LSD, secara aman.
Perusahaan teknologi perawatan kesehatan HaluGen Life Sciences telah menawarkan pengujian genetik untuk memberikan wawasan tentang kepekaan psikedelik.
Menurut Insider, profil genetik merupakan salah satu dari banyak faktor yang perlu dipertimbangkan saat akan memulai menggunakan psikedelik.
Berikut genetik yang dapat memengaruhi reaksi tubuh terhadap psikedelik:
- Gen Serotonin HTR2A
Banyak obat psikedelik meniru efek serotonin, suatu neurotransmitter yang meningkatkan suasana hati.
Psikedelik klasik seperti psilocybin, LSD, dan DMT mengaktifkan reseptor serotonin di otak yang dapat memicu pengalaman psikedelik. Para ilmuwan berteori reseptor 5-HTR2A terlibat langsung dalam efek halusinogen akibat obat tersebut.
Sekitar 20% orang memiliki varian gen serotonin HTR2A yang memberi mereka reseptor ekstra. Jadi, lebih banyak reseptor untuk serotonin, berarti mungkin mereka lebih sensitif terhadapnya dan lebih rentan terhadap halusinogen dari obat-obatan psikedelik.
- Gen CYP2B6
Ketamine merupakan anestesi kerja cepat yang baru-baru ini dikgunakan kembali karena potensi efek terapeutiknya. Obat ini menciptakan rasa disosiasi yang dapat bermanfaat bagi penderita depresi.
Baca Juga: Studi: Magic Mushroom Bisa Rawat Depresi, Setara dengan Antidepresan
Gen CYP2B6 memengaruhi bagaimana tubuh memetabolisme ketamine di hati. Ada sekitar 10% hingga 20% orang memiliki varian gen ini yang membuat mereka mengeluarkan obat dari tubuh secara lebih cepat.
- Gen NRG1
Ekspresi berlebih dari gen neuregulin 1 (NRG1) telah dikaitkan dengan psikosis pada populasi berisiko. Protein NRG1 membantu mendorong pertumbuhan neuron baru.
Itu sangat penting untuk proses 'gunakan atau hilangkan', yang berada dalam pembelajaran jangka pendek dan memori jangka panjang.
Genotipe T/T, yang dimiliki sekitar 15% populasi, mengganggu proses tersebut dengan mengekspresikan terlalu banyak protein NRG1.
Itu dapat meningkatkan kemungkinan seseorang mengembangkan psikosis, membuat psikedelik menjadi pilihan yang berisiko.
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Model Honda Jazz Bekas Paling Murah untuk Anak Kuliah, Performa Juara
- 4 Motor Matic Terbaik 2025 Kategori Rp 20-30 Jutaan: Irit BBM dan Nyaman Dipakai Harian
- 7 Sunscreen Anti Aging untuk Ibu Rumah Tangga agar Wajah Awet Muda
- Mobil Bekas BYD Atto 1 Berapa Harganya? Ini 5 Alternatif untuk Milenial dan Gen Z
- Pilihan Sunscreen Wardah yang Tepat untuk Umur 40 Tahun ke Atas
Pilihan
-
Pabrik VinFast di Subang Resmi Beroperasi, Ekosistem Kendaraan Listrik Semakin Lengkap
-
ASUS Vivobook 14 A1404VAP, Laptop Ringkas dan Kencang untuk Kerja Sehari-hari
-
JK Kritik Keras Hilirisasi Nikel: Keuntungan Dibawa Keluar, Lingkungan Rusak!
-
Timnas Indonesia U-22 Gagal di SEA Games 2025, Zainudin Amali Diminta Tanggung Jawab
-
BBYB vs SUPA: Adu Prospek Saham, Valuasi, Kinerja, dan Dividen
Terkini
-
Menopause dan Risiko Demensia: Perubahan Hormon yang Tak Bisa Diabaikan
-
Penelitian Ungkap Mikroplastik Memperparah Penyempitan Pembuluh Darah: Kok Bisa?
-
Lari Sambil Menjelajah Kota, JEKATE Running Series 2025 Resmi Digelar
-
Di Balik Duka Banjir Sumatera: Mengapa Popok Bayi Jadi Kebutuhan Mendesak di Pengungsian?
-
Jangan Anggap Remeh! Diare dan Nyeri Perut Bisa Jadi Tanda Awal Penyakit Kronis yang Mengancam Jiwa
-
Obat Autoimun Berbasis Plasma Tersedia di Indonesia, Hasil Kerjasama dengan Korsel
-
Produksi Makanan Siap Santap, Solusi Pangan Bernutrisi saat Darurat Bencana
-
Indonesia Kian Serius Garap Medical Tourism Premium Lewat Layanan Kesehatan Terintegrasi
-
Fokus Mental dan Medis: Rahasia Sukses Program Hamil Pasangan Indonesia di Tahun 2026!
-
Tantangan Kompleks Bedah Bahu, RS Ini Hadirkan Pakar Dunia untuk Beri Solusi