Suara.com - Ilmuwan masih mencari tahu manfaat dari transplantasi tinja selain untuk pengobatan infeksi Clostridioides difficile (CDI) dan penyakit radang usus (IBD).
Selain itu, peneliti juga memperkirakan bahwa mengembangkan sistem untuk transplantasi tinja (FMT) autologus dapat mengatasi masalah seperti ketidakcocokan antara donor dan penerima.
Transplantasi tinja (FMT) autologus merupakan metode transplantasi di mana pendonor dan penerima adalah orang yang sama, menurut Science Alert.
Namun untuk melakukan itu semua, kita perlu mengumpulkan sampel tinja banyak orang ketika masih muda dan sehat, dan menyimpannya untuk digunakan di masa depan di fasilitas kriopreservasi, jika pasien nantinya membutuhkan transplantasi.
Kriopreservasi merupakan salah satu teknologi penyimpanan sel melalui pembekuan dalam upaya penyedianaan stok sel untuk jangka panjang.
Jadi, peneliti menyarankan kita untuk menyimpan feses di bank, kalau-kalau nanti kita perlu melakukan penarikan.
"Secara konseptual, ide bank tinja untuk FMT autologus mirip dengan orang tua menyimpan darah tali pusat bayi untuk memungkinkan penggunaan di masa depan," kata ahli biologi sistem Yang-Yu Liu dari Universitas Harvard.
Menurutnya, ada kemungkinan penggunaan sampel tinja jauh lebih tinggi daripada sampel tali pusat.
Bank tinja pertama di dunia adalah OpenBiome, yang dibuka di Somerville, Massachusetts pada 2012.
Baca Juga: Peragakan Aksi Keji Irjen Napoleon Lumuri Tinja, M Kece: Tutup Matamu, Buka Mulutmu
Sejak itu, sejumlah fasilitas serupa telah dibuka di seluruh dunia. Namun, sebagian besar biasanya menyimpan sampel tinja untuk FMT heterolog daripada transplantasi autologus.
Meski begitu, memang ada banyak masalah yang harus dihadapi terkait penyimpanan tinja di bank, termasuk bagaimana menyimpannya secara aman dalam kriopreservasi jangka panjang.
Tetapi jika tantangan tersebut dapat diatasi, kita dapat melihat visi baru untuk pengobatan medis di masa depan.
"FMT autologus memiliki potensi untuk mengobati penyakit autoimun seperti asma, multiple sclerosis, penyakit radang usus, diabetes, obesitas, dan bahkan penyakit jantung dan penuaan," tandas ahli epidemiologi Scott T. Weiss dari Universitas Harvard.
Berita Terkait
Terpopuler
- Berapa Tarif Hotman Paris yang Jadi Pengacara Nadiem Makarim?
- Upgrade Karyamu! Trik Cepat Bikin Plat Nama 3D Realistis di Foto Miniatur AI
- Jangan Ketinggalan Tren! Begini Cara Cepat Ubah Foto Jadi Miniatur AI yang Lagi Viral
- Pelatih Irak Soroti Kerugian Timnas Indonesia Jelang Kualifikasi Piala Dunia 2026
- 6 Cara Buat Foto Miniatur Motor dan Mobil Ala BANDAI dengan AI yang Viral di Medsos!
Pilihan
-
5 Rekomendasi HP Murah Layar AMOLED Rp 2 Jutaan Terbaik September 2025
-
Perbandingan Spesifikasi Redmi 15C vs Redmi 14C, Bagus Mana?
-
E-Commerce RI Dikuasai 4 Raksasa, Menko Airlangga Minta Mendag Perhatikan Platform Kecil
-
Kim Jong Kook Menikah Diam-Diam! Netizen Cari Identitas Istrinya yang Masih Misterius
-
Usai Habiskan Rp13 T Demi Bangun Bandara Dhoho Kediri, Kini Gudang Garam PHK Massal Buruh Pabriknya
Terkini
-
Surfing Jadi Jalan Perempuan Temukan Keberanian dan Healing di Laut
-
Bayi Rewel Bikin Stres? Rahasia Tidur Nyenyak dengan Aromaterapi Lavender dan Chamomile!
-
Varises Esofagus Bisa Picu BAB dan Muntah Darah Hitam, Ini Penjelasan Dokter Bedah
-
Revolusi Kesehatan Dimulai: Indonesia Jadi Pusat Inovasi Digital di Asia!
-
HPV Masih Jadi Ancaman, Kini Ada Vaksin Generasi Baru dengan Perlindungan Lebih Luas
-
Resistensi Antimikroba Ancam Pasien, Penggunaan Antibiotik Harus Lebih Cerdas
-
Ini Alasan Kenapa Donor Darah Tetap Relevan di Era Modern
-
Dari Kegelapan Menuju Cahaya: Bagaimana Operasi Katarak Gratis Mengubah Hidup Pasien
-
Jangan Sepelekan, Mulut Terbuka Saat Tidur pada Anak Bisa Jadi Tanda Masalah Kesehatan Serius!
-
Obat Sakit Gigi Pakai Getah Daun Jarak, Mitos atau Fakta?