Suara.com - Siklus menstruasi terkait Covid-19 merupakan tanda vital kesehatan yang agak terlupakan dan jauh lebih jarang dibicarakan, termasuk di antara para wanita sendiri.
Kecuali pada 2021 lalu, ketika banyak wanita mulai menyadari bahwa pendarahan menstruasi mereka lebih berat dari biasanya, atau datang secara tidak terduga, setelah vaksinasi Covid-19.
Perubahan siklus ini hanya sementara dan kebanyakan akan kembali normal dalam satu atau dua bulan kemudian, lapor Science Alert.
Penelitian besar yang menyurvei lebih dari 39.000 wanita dewasa selama tiga bulan menemukan sekitar 42 persen dari mereka, yang siklus menstruasinya teratur, mengalami pendarahan lebih banyak dari biasanya setelah vaksin Covid-19.
Sementara 44 persen melaporkan tidak mengalami perubahan pada aluran menstruasi dan sisanya mengatakan mereka mengalami haid yang lebih ringan.
Tapi sebenarnya gagasan bahwa vaksin, yang memperkuat sistem kekebalan untuk melawan infeksi, dapat mengubah siklus menstruasi bukanlah hal baru.
Pada 1913 silam, sebuah studi mencatat vaksin tifoid berkaitan dengan menstruasi yang tidak teratur, baik terlambat, datang lebih awal, atau lebih berat.
"Umumnya, perubahan pendarahan menstruasi tidak jarang atau berbahaya, namun perhatian pada penglaman ini diperlukan untuk membangun kepercayaan terhadap obat," kata penulis studi Katharine Lee dari Fakultas Kedokteran Universitas Washington.
Temuan penelitian ini sejalan dengan penelitian lain tentang orang yang sedang menstruasi di Inggris dan Belanda, dan menguatkan anekdot.
Baca Juga: Masuk Kepulauan Riau Wajib Vaksin Booster
Lee dan rekannya berhipotesis penyebab perubahan ini adalah karena vaksin dapat mengacaukan jalur inflamasi tubuh, daripada mengubah jalur hormon ovarium.
Langkah selanjutnya, Lee akan menganalisis kembali kumpulan data lengkap dari survei pertama, untuk melihat apakah temuan itu benar dalam sampel yang lebih besar dan dari waktu ke waktu.
Dalam studi kedua, Lee juga akan mempelajari pengalaman pengobatan di masa lalu peserta studi.
"Kami berharap kami dapat lebih memahami bagaimana pengalaman perawatan kesehatan memengaruhi sentimen vaksin," tandas rekan peneliti Kate Clancy dari University of Illinois di Urbana-Champaign.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Mobil Bekas Murah untuk Aktivitas Harian Pemula, Biaya Operasional Rendah
- 51 Kode Redeem FF Terbaru 8 Desember 2025, Klaim Skin Langka Winterlands dan Snowboard
- Shio Paling Hoki pada 8-14 Desember 2025, Berkah Melimpah di Pekan Kedua!
- 7 Rekomendasi Bedak Padat Anti Dempul, Makeup Auto Flawless dan Anti Cakey
- Sambut HUT BRI, Nikmati Diskon Gadget Baru dan Groceries Hingga Rp1,3 Juta
Pilihan
-
Rekomendasi 7 Laptop Desain Grafis Biar Nugas Lancar Jaya, Anak DKV Wajib Tahu!
-
Harga Pangan Nasional Hari Ini: Cabai Sentuh Rp70 Ribu
-
Shell hingga Vivo sudah Ajukan Kuota Impor 2026 ke ESDM: Berapa Angkanya?
-
Kekhawatiran Pasokan Rusia dan Surplus Global, Picu Kenaikan Harga Minyak
-
Survei: Kebijakan Menkeu Purbaya Dongkrak Optimisme Konsumen, tapi Frugal Spending Masih Menguat
Terkini
-
Pemeriksaan Hormon Sering Gagal? Kenali Teknologi Multiomics yang Lebih Akurat
-
Di Balik Prestasi Atlet, Ada Peran Layanan Kesehatan yang Makin Krusial
-
Terobosan Baru Pengobatan Diabetes di Indonesia: Insulin 'Ajaib' yang Minim Risiko Gula Darah Rendah
-
Di Balik Krisis Penyakit Kronis: Mengapa Deteksi Dini Melalui Inovasi Diagnostik Jadi Benteng Utama?
-
Cara Mencegah Stroke Sejak Dini dengan Langkah Sederhana, Yuk Pelajari!
-
12 Gejala Penyakit ISPA yang Wajib Diwaspadai, Serang Korban Banjir Sumatra
-
Stop Gerakan Tutup Mulut! 3 Metode Ampuh Bikin Anak Lahap MPASI di Usia Emas
-
Bukan Hanya Estetika: Ini Terobosan Stem Cell Terkini yang Dikembangkan Ilmuwan Indonesia
-
Kolesterol Jahat Masih Tinggi, 80 Persen Pasien Jantung Gagal Capai Target LDL-C
-
Waspada Ancaman di Tanah Suci: Mengapa Meningitis Jadi Momok Jemaah Haji dan Umrah Indonesia?