Suara.com - Istilah gangguan mental tak asing lagi di telinga masyarakat. Namun kesadaran untuk memahaminya masih relatif rendah, karena gangguan mental tidak dianggap sebagai "penyakit fisik".
Benarkah begitu?
Mengutip survei nasional Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) tahun 2022, Psikolog Andini Iskayanti Putri, M. Psi menyebut, sekitar 34,9% remaja mengalami masalah kesehatan mental, dan 5,5% diantaranya memenuhi kriteria gangguan mental menurut DSM-5.
Gangguan mental yang paling banyak dijumpai adalah gangguan kecemasan (3,7%), khususnya social anxiety dan generalized anxiety disorder, diikuti oleh depresi mayor (1,0%), gangguan perilaku (0,9%), PTSD (0,5%), dan ADHD (0,5%). Namun berdasarkan pengalaman praktik, umumnya Andini banyak mengatasi permasalahan kecemasan dan depresi pada remaja.
Secara umum, gangguan mental sering disebut sebagai "mental illness" atau "penyakit jiwa", yaitu kondisi kesehatan yang memengaruhi cara seseorang berpikir, merasa, berperilaku, dan berinteraksi dengan dunia di sekitarnya. Hal ini bisa terjadi dalam waktu singkat atau berlangsung lama, sehingga dapat mengganggu aktivitas sehari-hari.
Masih terkait penelitian tersebut, gangguan mental yang paling banyak diderita remaja adalah gangguan kecemasan, yang merupakan gabungan antara fobia sosial dan gangguan cemas menyeluruh sebesar 3,7%, kemudian gangguan depresi mayor (1,0%), gangguan perilaku (0,9%), serta gangguan stres pasca-trauma (PTSD) dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) masing-masing sebesar 0,5%.
Kenali Gejala dan Skrining Awal yang Bisa Dilakukan
Gejala awal gangguan mental pada remaja dapat dikenali melalui beberapa tanda yang muncul, yaitu perubahan pola perilaku, suasana hati, dan fungsi sehari-hari. Tanda-tanda yang umum antara lain, perasaan sedih atau cemas yang berkepanjangan, penarikan diri dari lingkungan sosial, gangguan tidur atau makan, kehilangan minat pada aktivitas yang biasanya disenangi, serta munculnya perilaku impulsif atau agresif.
“Penting untuk membedakan antara gejala yang bersifat sementara akibat stres dan gejala yang menetap dan mengganggu fungsi kehidupan remaja. Jika gejala berlangsung lebih dari dua minggu dan mempengaruhi hubungan sosial, prestasi akademik, atau kehidupan keluarga, maka sebaiknya dilakukan penilaian oleh tenaga kesehatan jiwa profesional," ujar Andini.
Baca Juga: Penderita ADHD Tak Bisa Sembuh? Gangguan Mental yang Diduga Diidap Fuji dan Aaliyah Massaid
Namun sebelum bertemu dengan kesehatan jiwa profesional, Andini menekankan pentingnya peran keluarga sebagai sistem dukungan utama, terutama dalam memberikan kenyamanan emosional, membangun komunikasi terbuka, dan membantu menciptakan rutinitas sehat.
Psikolog klinis anak, remaja, dan keluarga dari Universitas Padjadjaran ini mengatakan, apabila gangguan mental pada remaja berlangsung terus-menerus, maka diperlukan pendekatan multidisipliner, berupa psikoterapi seperti terapi kognitif perilaku (CBT). Terapi ini merupakan salah satu intervensi yang paling banyak direkomendasikan, terutama untuk kasus kecemasan dan depresi.
"Obat-obatan dapat diberikan oleh psikiater dalam kasus gangguan sedang hingga berat," tambah Andini.
Gangguan Mental Bisa Berujung Penyakit Fisik
Menurut Andini, sudah banyak dibuktikan dalam penelitian bahwa gangguan mental berkepanjangan dapat berdampak langsung terhadap kondisi fisik seseorang. Saat remaja mengalami stres kronis, tubuh mereka berada dalam keadaan “fight or flight”, yaitu respons evolusioner otak (khususnya amigdala dan sistem limbik) terhadap bahaya.
"Meskipun berguna dalam situasi darurat, respons ini akan memicu produksi hormon stres seperti kortisol dan adrenalin secara terus-menerus jika tidak diatasi. Ini disebut chronic survival mode, di mana sistem saraf simpatis selalu aktif dan tubuh tidak sempat masuk ke fase pemulihan (relaksasi). Akibatnya, tubuh mengalami kelelahan fisiologis dan mulai menunjukkan gejala fisik seperti sakit kepala, gangguan tidur, masalah pencernaan, tekanan darah tinggi, hingga risiko penyakit jantung," katanya.
Berita Terkait
-
Emosi Remaja Suka Berubah-Ubah, Normal atau Adanya Gangguan Mental?
-
Fenomena Klithih di Jogja: Masalah dan Solusi dari Perspektif Generasi Muda
-
Kasus Kenakalan Remaja Merajalela, Alasan Pemprov Jabar Kirim Pelajar ke Barak Militer
-
5 Teknik Psikoterapi untuk Menangani Gangguan Mental, Ciptakan Coping Mechanism Sehat
-
Konsumsi Gula Berlebih Picu Depresi hingga Gangguan Mental, Ini Faktanya!
Terpopuler
- 6 Ramalan Shio Paling Beruntung di Akhir Pekan 4-5 Oktober 2025
- DANA Kaget Jumat Berkah: Klaim Saldo Gratis Langsung Cair Rp 255 Ribu
- Fakta-Fakta Korupsi Bupati HSS Kalsel, Diduga Minta Dana Proyek Puluhan Miliar
- 20 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 4 Oktober 2025, Klaim Ballon d'Or dan 16.000 Gems
- 18 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 3 Oktober: Klaim Ballon d'Or 112 dan Gems
Pilihan
-
Formasi Bocor! Begini Susunan Pemain Arab Saudi Lawan Timnas Indonesia
-
Getol Jualan Genteng Plastik, Pria Ini Masuk 10 Besar Orang Terkaya RI
-
BREAKING NEWS! Maverick Vinales Mundur dari MotoGP Indonesia, Ini Penyebabnya
-
Harga Emas Terus Meroket, Kini 50 Gram Dihargai Rp109 Juta
-
Bursa Saham 'Pestapora" di Awal Oktober: IHSG Naik, Transaksi Pecahkan Rekor
Terkini
-
Di Balik Rak Obat dan Layar Digital: Ini Peran Baru Apoteker di Era Kesehatan Modern
-
Kesibukan Kerja Kerap Tunda Pemeriksaan Mata, Layanan Ini Jadi Jawaban
-
Langkah Tepat Pengobatan Kanker Ovarium: Masa Remisi Lebih Panjang Hingga Tahunan
-
Katarak yang Tidak Dioperasi Berisiko Meninggal Dunia Lebih Awal, Ini Alasannya
-
Pemantauan Aktif Vaksinasi Dengue di DKI Jakarta: Kolaborasi Menuju Nol Kematian 2030
-
Atasi Pembesaran Prostat Tanpa Operasi Besar? Kenali Rezum, Terapi Uap Air yang Jadi Harapan Baru
-
Dukungan untuk Anak Pejuang Kanker, Apa Saja yang Bisa Dilakukan?
-
Anak Sering Mengeluh Mata Lelah? Awas, Mata Minus Mengintai! Ini Cara Mencegahnya
-
Dokter dan Klinik Indonesia Raih Penghargaan di Cynosure Lutronic APAC Summit 2025
-
Stop Ruam Popok! 5 Tips Ampuh Pilih Popok Terbaik untuk Kulit Bayi Sensitif