Suara.com - Asma masih menjadi salah satu penyakit pernapasan yang paling umum di dunia, termasuk di Indonesia.
Meski terdengar sederhana karena “hanya” gangguan napas, asma sebenarnya adalah penyakit kronis yang jika tidak ditangani dengan tepat dapat berujung pada penurunan kualitas hidup hingga risiko kematian.
Karena itulah penanganan asma tidak cukup hanya meredakan gejala sesaat, tapi juga harus fokus pada penyebab utamanya, yaitu peradangan di saluran pernapasan.
Selama bertahun-tahun, banyak penderita asma mengandalkan obat semprot atau inhaler pelega (SABA) sebagai solusi pertama ketika serangan kambuh.
Namun, kini para ahli menyadari bahwa pendekatan lama ini tidak cukup efektif untuk jangka panjang.
Berdasarkan pedoman terbaru dari Global Initiative for Asthma (GINA) 2025, ada perubahan besar dalam cara penanganan asma yang lebih aman dan direkomendasikan.
Kenapa Terapi Asma Lama Dianggap Kurang Tepat?
Terapi lama menggunakan inhaler SABA (Short-Acting Beta Agonist) memang bisa membantu meredakan gejala sesak napas dengan cepat.
Namun, menurut berbagai penelitian, penggunaan SABA tunggal secara rutin justru dapat meningkatkan risiko serangan asma yang lebih berat bahkan kematian.
Baca Juga: Jangan Panik! Ini 5 Cara Efektif Atasi Sesak Napas karena Alergi
Kenapa? Karena obat ini hanya mengatasi gejala sesaat tanpa menyentuh akar masalahnya, yaitu peradangan kronis di saluran napas.
Masalahnya, banyak pasien asma — terutama di Indonesia — masih menganggap inhaler pelega sebagai “obat utama” dan menggunakannya berlebihan.
Padahal jika dipakai terlalu sering, SABA bisa menurunkan efektivitas pengobatan jangka panjang dan membuat saluran napas makin sensitif terhadap pemicu serangan.
Rekomendasi Terbaru: Terapi Kombinasi Anti-Inflamasi
Mengikuti pedoman GINA 2025, kini para ahli merekomendasikan terapi berbasis inhaler kombinasi antara ICS (Inhaled Corticosteroid) dan formoterol. Inilah perubahan besar dalam penanganan asma yang kini diadopsi secara global, termasuk di Indonesia.
Kombinasi ICS-formoterol tidak hanya bekerja sebagai pelega gejala, tetapi juga mengatasi peradangan di saluran napas secara langsung.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Bekas Punya Sunroof Mulai 30 Jutaan, Gaya Sultan Budget Kos-kosan
- 3 Pilihan Cruiser Ganteng ala Harley-Davidson: Lebih Murah dari Yamaha NMAX, Cocok untuk Pemula
- 5 HP Murah Terbaik dengan Baterai 7000 mAh, Buat Streaming dan Multitasking
- 4 Mobil Bekas 7 Seater Harga 70 Jutaan, Tangguh dan Nyaman untuk Jalan Jauh
- 5 Rekomendasi Mobil Keluarga Bekas Tahan Banjir, Mesin Gagah Bertenaga
Pilihan
-
HUT ke 68 Bank Sumsel Babel, Jajan Cuma Rp68 Pakai QRIS BSB Mobile
-
6 Rekomendasi HP Snapdragon Paling Murah untuk Kebutuhan Sehari-hari, Mulai dari Rp 1 Jutaan
-
7 Mobil Sedan Bekas Mulai 15 Jutaan, Performa Legenda untuk Harian
-
Nova Arianto Ungkap Biang Kerok Kekalahan Timnas Indonesia U-17 dari Zambia
-
Tragedi Pilu dari Kendal: Ibu Meninggal, Dua Gadis Bertahan Hidup dalam Kelaparan
Terkini
-
Indonesia di Ambang Krisis Dengue: Bisakah Zero Kematian Tercapai di 2030?
-
Sakit dan Trauma Akibat Infus Gagal? USG Jadi Solusi Aman Akses Pembuluh Darah!
-
Dokter Ungkap Fakta Mengejutkan soal Infertilitas Pria dan Solusinya
-
Mitos atau Fakta: Biopsi Bisa Bikin Kanker Payudara Menyebar? Ini Kata Ahli
-
Stroke Mengintai, Kenali FAST yang Bisa Selamatkan Nyawa dalam 4,5 Jam!
-
Dari Laboratorium ITB, Lahir Teknologi Inovatif untuk Menjaga Kelembapan dan Kesehatan Kulit Bayi
-
Manfaatkan Musik dan Lagu, Enervon Gold Bantu Penyintas Stroke Temukan Cara Baru Berkomunikasi
-
Gerakan Peduli Kanker Payudara, YKPI Ajak Perempuan Cintai Diri Lewat Hidup Sehat
-
Krisis Iklim Kian Mengancam Kesehatan Dunia: Ribuan Nyawa Melayang, Triliunan Dolar Hilang
-
Pertama di Indonesia: Terobosan Berbasis AI untuk Tingkatkan Akurasi Diagnosis Kanker Payudara