Suara.com - Dari balik jendela kaca, mata saya menangkap beberapa orang sedang berkutat dengan beberapa mesin di bangunan berlantai tiga di bilangan Barito, Jakarta Selatan.
Pipiltin Cocoa Factory & Cafe begitu plang nama yang dipasang di depan pintunya. Rasa ingin tahu saya pun langsung muncul, barang apa yang dijual tempat ini. Begitu masuk, saya langsung disambut oleh sebuah tangga mengantar ke lantai dua. Di balik tangga itu terlihat sejumlah orang sibuk di balik sejumlah mesin.
Tiba di lantai dua, saya langsung dikejutkan dengan deretan cokelat berpenampilan cantik. Sejumlah pengunjung tampak duduk di kursi kayu, sedang menunggu pesanan.
Ya, ternyata Pipiltin Cocoa Factory & Cafe adalah sebuah tempat yang memanjakan warga Jakarta yang menyukai cokelat maupun makanan penutup lainnya. Sementara tempat penuh mesin yang saya lihat di lantai satu adalah sebuah pabrik pembuatan cokelatnya.
Dari lantai dua, para pengunjung bisa langsung melihat proses pembuatan cokelat, dari mulai proses roasting (pembakaran untuk mengeluarkan rasa pada biji kakao), winnowing (memisahkan cangkang dengan inti biji cokelat), grinding (menggiling biji dengan batu menjadi cairan cokelat), mixing (mencampur dengan bahan lain seperti gula dan susu), conching (mengaduk cokelat dalam waktu lama untuk menguapkan sebagian rasa asam), tempering lewat kaca-kaca transparan hingga diproses menjadi hidangan yang cantik lagi lezat.
Saat itu, Pipiltin Cocoa Factory & Cafe di Barito, sedang dalam proses renovasi. Tapi sang pemilik, Tissa Aunilla, memberitahu saya masih ada Pipiltin Cocoa Boutique & Cafe di bilangan Senopati, Jakarta Selatan.
"Di Barito konsepnya lebih ke dinning experience cokelat, untuk resto dan pabrik pembuatan cokelat. Kalau di Senopati, lebih menjual retail. Makanya namanya cokelat butik, buat orang belanja cokelat," ujarnya.
Tissa menjelaskan, usahanya berawal dari keprihatinannya, melihat banyak orang mengasosiasikan cokelat dengan negara Eropa seperti Belgia, Prancis, dan Swiss.
"Saya lihat butik cokelat di Swiss yang menjual beragam cokelat bar. Cokelat-cokelat terbaik yang dipajang di etalase di bawah lampu mewah itu ternyata berasal dari Bali dan Jember. Saya jadi gemes banget liatnya," cerita perempuan penggemar cokelat ini.
Setelah mengambil gelar Master Chocolatier di Felchlin, Swiss, Tissa memutuskan untuk mengolah dan memperkenalkan cokelat-cokelat asli Indonesia pada masyarakat Indonesia. Ia membuka pabrik cokelat, lengkap dengan resto dan cafenya.
Sejak berdiri tanggal 7 Maret 2013, Pipiltin Cocoa, telah mengolah beragam biji cokelat asli Indonesia, yakni dari Tabanan, Bali, Pidie Jaya, Aceh hingga Banyuwangi. Meski dalam skala kecil, Pipiltin Cocoa, membeli biji kakao yang sudah difermentasi langsung oleh petani di daerah-daerah tersebut dengan harga bersaing. Hal ini, kata Tissa, dilakukan agar petani mau menjalin kerjasama dengan Pipiltin Cocoa.
"Kita mau buat cokelat terbaik yang tarafnya bisa disamakan dengan cokelat Belgia dan Swiss, karena mereka juga ambil cokelat dari Indonesia," kata Tissa.
Setelah diolah di pabrik cokelat tersebut, tahap selanjutnya adalah membuat cokelat menjadi coklat bar. Dari situ, jelas Tissa, bisa dihasilkan ratusan turunannya.
Dari cokelat bar ada cokelat valin, yakni cokelat dengan beragam isi seperti caramel, kacang-kacangan hingga greentea. Ada juga berbagai hidangan cokelat, baik cakes maupun macaroons.
Saya berkesempatan mencoba dua menu di Pipitlin, yakni Another egg no dan Dark chocolate waffle.
Another egg no adalah makanan penutup yang bentuknya mirip dengan telur rebus setengah matang. Tapi ternyata itu adalah white chocolate panacotta dengan sirup mangga yang menyerupai kuning telur. Rasanya manis dan sedikit asam, terasa segar! Di pinggirnya terdapat chocolate chilli soil, seperti namanya, cokelat ini terasa agak pedas.
Sementara, Dark chocolate waffle memiliki rasa cokelat yang cukup kental. Namun, rasa ini dinetralisir dengan es krim vanilla di atasnya, sehingga menjadi lebih ringan. Hazelnut soil dan dark chocolate membuat waffle ini semakin cocok di lidah saya.
"Kita memang ingin memperkenalkan dessert dulu, karena Indonesia bukan Negara pemakan cokelat, jadi kalo langsung cokelat bar takutnya orang susah nerimanya," ujar Tissa lebih lanjut.
Hidangan penuh cokelat yang lezat ini, dihargai dengan kisaran antara Rp13 ribu hingga Rp65 ribu. Tertarik menikmati cokelat asli Indonesia? Di sini tempatnya!
Berita Terkait
Terpopuler
- Pecah Bisu Setelah Satu Dekade, Ayu Ting Ting Bongkar Hubungannya dengan Enji Baskoro
- Ditunjuk Prabowo Reformasi Polri: Sosok Ahmad Dofiri Jenderal Rp7 Miliar Berani Pecat Ferdy Sambo!
- Sosok Kompol Anggraini, Polwan Diduga Jadi 'Badai' di Karier Irjen Krishna Murti, Siapa Dia?
- Nasib Aiptu Rajamuddin Usai Anaknya Pukuli Guru, Diperiksa Propam: Kau Bikin Malu Saya!
- Profil dan Rekam Jejak Alimin Ribut Sujono, Pernah Vonis Mati Sambo dan Kini Gagal Jadi Hakim Agung
Pilihan
-
Usai Dicopot dari Kepala PCO, Danantara Tunjuk Hasan Nasbi jadi Komisaris Pertamina
-
4 Rekomendasi HP Murah Rp 2 Jutaan Baterai Besar Minimal 6000 mAh, Terbaik September 2025
-
Menkeu Purbaya Tak Mau Naikkan Tarif Listrik Meski Subsidi Berkurang
-
Ratu Tisha Lengser: Apa yang Sebenarnya Terjadi di Balik Layar PSSI?
-
Istana Tanggapi Gerakan 'Stop Tot Tot Wuk Wuk' di Media Sosial: Presiden Aja Ikut Macet-macetan!
Terkini
-
5 Rekomendasi Bedak Wardah Sesuai Jenis Kulit, Mana yang Paling Cocok Untukmu?
-
Apa Itu Penyakit Lyme? Kondisi yang Dialami Bella Hadid Sejak Usia 16 Tahun
-
Apakah Alat Makan Terkontaminasi Babi Harus Dihancurkan? Ini Faktanya
-
Ramalan Zodiak Hari Ini: Leo Waspada Pasangan Emosi, Cancer Selesaikan Masalah Keluarga
-
Unik Banget! 10 Kuliner Indonesia Ini Namanya Jorok, tapi Rasanya Bikin Nagih
-
5 Sepatu Lari di Bawah Rp500 Ribu yang Awet Meski Dipakai Tiap Hari
-
Kreatif dan Luwes, Ini 5 Pekerjaan yang Paling Cocok untuk Zodiak Gemini
-
Baim Wong Menyesal ke Paula Verhoeven, Ini Azab dan Hukum Mengumbar Aib Istri Menurut Islam
-
Dikabarkan Bangkrut, Ini 7 Deretan Bisnis Baim Wong
-
Kumpulan Prompt Gemini AI untuk Foto Pemandangan Pantai, Auto Jadi dalam Hitungan Detik