Lifestyle / Komunitas
Senin, 06 Oktober 2025 | 15:08 WIB
Ilustrasi konflik Yai Mim dan Sahara. [bidikan layar YouTube Curhat Bang Denny Sumargo]

Di tengah gempuran tuduhan, Sahara memberi klarifikasi bahwa tuduhan Yai Mim terkait tanah wakaf adalah keliru. Ia menyebut bahwa Yai Mim baru pindah ke lingkungan tersebut sekitar 2025, sehingga tidak mungkin memiliki hak untuk mewakafkan lahan yang dia tinggal kemudian.

Ia juga menyatakan bahwa dirinya memiliki bukti dan kesaksian pemilik tanah yang menyatakan bahwa lahan itu bukan milik Yai Mim dan bukan tanah wakaf.

Sementara itu, netizen sempat menunjukkan dukungan kepada Sahara ketika video tuduhan viral. Namun ada pula gelombang dukungan berbalik kepada Yai Mim, yang kemudian dianggap sebagai korban fitnah yang perlu pembelaan matang.

Kasus ini memunculkan beberapa pertanyaan penting bagi masyarakat, misalnya bagaimana batas antara konflik pribadi dan publik ketika media sosial menjadi alat amplifikasi tuduhan?

Sejauh mana klaim hak atas lahan, wakaf, dan status kependudukan harus diverifikasi melalui dokumen resmi (sertifikat, BPN, akta wakaf) sebelum menjadi dasar tuntutan publik

Apakah mediasi lokal (RT/RW, tokoh agama) cukup efektif menyelesaikan konflik seperti ini, atau justru memperkeruh suasana ketika belum ada kejelasan hukum? Sahara sebagai mahasiswa doktor dan Yai Mim sebagai dosen ikut diseret nama institusi pendidikan mereka.

Sekali lagi, konflik antara Yai Mim dan Sahara tidak lagi sekadar kisah tetangga bertikai. Di balik tuduhan dan pembelaan, terdapat isu lahan, etika profesi, kekuasaan sosial lokal, dan peran publik media sosial. Anda disarankan melihat seluruh informasi sebagai potongan yang sedang diuji di ranah hukum, bukan hanya narasi satu pihak.

Kontributor : Hillary Sekar Pawestri

Load More