Sejumlah wartawan melakukan demonstrasi di Bundaran Hotel Indonesia,Jakarta, Jumat (14/11). [suara.com/Kurniawan Mas'ud]
Kejadian ini dialami jurnalis perempuan media nasional suara.com, Wita Ayodyaputri. Bermula saat Wita meliput kegiatan peluncuran program listrik nasional 35 ribu megawatt di Pantai Goa Cemara, Desa Gadingsari, Sanden, Bantul, yang dihadiri Presiden Joko Widodo, Senin (4/5/2015).
Selain meliput peluncuran program listrik 35.000 MW, Wita hendak meminta tanggapan Jokowi tentang aksi bakar diri seorang buruh di Jakarta saat momentum Hari Buruh Internasional (Mayday) Jumat 1 Mei 2015. Pada waktu itu, wawancara langsung dengan Presiden hanya memungkinkan dengan doorstop, mengingat ketika itu Presiden hendak meninggalkan lokasi.
Pada saat wawancara doorstop, posisi korban berada di bagian belakang kerumunan awak media yang tengah mewawancarai Presiden tentang isu lainnya. Paspampres kemudian memberikan akses agar Wita bisa lebih dekat dengan Presiden sehingga dapat leluasa wawancara.
Wita baru sempat berkata "Pak" (belum direspon Presiden), tiba-tiba dari belakang (belakang sebelah samping kanan korban) seorang lelaki sontak mengatakan, "Mau tanya apa?"
Wita menjawab, "Mau tanya soal kasus buruh di Jakarta kemarin."
Lelaki itu mengatakan lagi: "Ngapain kok tanya-tanya soal buruh, tanya aja soal program ini."
Tidak hanya berkata kasar, lelaki itu juga menjewer kuping Wita sebanyak dua kali dan berkata: "Awas ya kalau tanya-tanya soal buruh, tanya aja soal program ini."
Tidak berhenti di situ saja, lelaki itu juga memegang pinggang korban dan berkata, "Awas ya tak cubit kalau sampai tanya soal buruh."
Pinggang korban dipegang hingga wawancara doorstop selesai.
Saat itu korban hanya bisa diam, bingung dan merasa tertekan serta terintimidasi dengan perlakuan lelaki berkemeja putih tersebut.
Korban merasa syok saat dijewer di depan umum, padahal korban merasa tidak melakukan kesalahan. Wita juga menggunakan kartu pengenal dan membawa buku bertuliskan Aliansi Jurnalis Independen saat liputan tersebut, sehingga membuktikan bahwa korban seorang wartawan. Korban merasa dilecehkan dan diintimidasi dengan sikap pelaku tersebut.
Akibat sikap pelaku, korban merasa dihalang-halangi saat melakukan tugas peliputan, karena tangannya berada di pinggang korban dan siap untuk mencubit korban.
"Saat itu, saya hanya bisa diam mengikuti perintah karena sebelumnya sudah dijewer, lumayan sakit dan memalukan di depan umum," kata Wita.
Korban tidak terima, namun saat itu tidak dapat berbuat banyak karena terintimidasi.
Malam harinya saat korban sudah merasa lebih tenang dan sudah menyelesaikan kewajiban liputan, ia bertanya pada teman, salah satu wartawan yang bertugas di Istana Kepresidenan, untuk mencari tahu siapa lelaki yang melakukan intimidasi tadi.
Korban menyebutkan ciri-ciri pelaku, berbadan sedikit pendek, agak gemuk dan berkulit gelap. Teman korban lalu mengirimkan sebuah foto apakah pelaku adalah orang yang dimaksud. Ternyata benar adanya, korban mengakui orang di foto itu adalah lelaki yang sama yang telah menghalangi peliputannya. Lelaki itu ternyata orang Biro Pers Istana.
Ketua AJI Yogyakarta Hendrawan Setiawan mengatakan atas kejadian itu, AJI Yogyakarta menyatakan sikap.
Pertama, kerja jurnalis tidak boleh ada penyensoran dan intimidasi dari siapapun. Sikap yang dilakukan pelaku telah melanggar melanggar ketentuan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers pada Pasal 4 ayat 1, 2 dan 3. Bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Kedua, kata Hendrawan, dalam ketentuan pidana UU Pers Pasal 18 disebutkan setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.
"AJI menilai perbuatan pelaku adalah salah satu bentuk ancaman terhadap kebebasan pers," kata Hendrawan.
Ketiga, pelecehan yang dilakukan adalah pelecehan terhadap profesi dan pribadi korban. Sebagai pekerja perempuan maka pelaku telah melanggar haknya yakni bebas dari teror, bebas intimidasi, mendapatkan perlindungan dan keamanan.
Keempat, AJI Yogyakarta meminta Biro Pers Istana meminta maaf. Dan kelima, AJI juga meminta Presiden Jokowi menempatkan orang yang memahami UU Pers di Biro Pers Istana.
"Kami mengimbau agar semua pihak termasuk para pejabat untuk memahami UU Pers agar tidak ada pemberangusan terhadap pers seperti zaman orde baru," kata Hendrawan.
Selain meliput peluncuran program listrik 35.000 MW, Wita hendak meminta tanggapan Jokowi tentang aksi bakar diri seorang buruh di Jakarta saat momentum Hari Buruh Internasional (Mayday) Jumat 1 Mei 2015. Pada waktu itu, wawancara langsung dengan Presiden hanya memungkinkan dengan doorstop, mengingat ketika itu Presiden hendak meninggalkan lokasi.
Pada saat wawancara doorstop, posisi korban berada di bagian belakang kerumunan awak media yang tengah mewawancarai Presiden tentang isu lainnya. Paspampres kemudian memberikan akses agar Wita bisa lebih dekat dengan Presiden sehingga dapat leluasa wawancara.
Wita baru sempat berkata "Pak" (belum direspon Presiden), tiba-tiba dari belakang (belakang sebelah samping kanan korban) seorang lelaki sontak mengatakan, "Mau tanya apa?"
Wita menjawab, "Mau tanya soal kasus buruh di Jakarta kemarin."
Lelaki itu mengatakan lagi: "Ngapain kok tanya-tanya soal buruh, tanya aja soal program ini."
Tidak hanya berkata kasar, lelaki itu juga menjewer kuping Wita sebanyak dua kali dan berkata: "Awas ya kalau tanya-tanya soal buruh, tanya aja soal program ini."
Tidak berhenti di situ saja, lelaki itu juga memegang pinggang korban dan berkata, "Awas ya tak cubit kalau sampai tanya soal buruh."
Pinggang korban dipegang hingga wawancara doorstop selesai.
Saat itu korban hanya bisa diam, bingung dan merasa tertekan serta terintimidasi dengan perlakuan lelaki berkemeja putih tersebut.
Korban merasa syok saat dijewer di depan umum, padahal korban merasa tidak melakukan kesalahan. Wita juga menggunakan kartu pengenal dan membawa buku bertuliskan Aliansi Jurnalis Independen saat liputan tersebut, sehingga membuktikan bahwa korban seorang wartawan. Korban merasa dilecehkan dan diintimidasi dengan sikap pelaku tersebut.
Akibat sikap pelaku, korban merasa dihalang-halangi saat melakukan tugas peliputan, karena tangannya berada di pinggang korban dan siap untuk mencubit korban.
"Saat itu, saya hanya bisa diam mengikuti perintah karena sebelumnya sudah dijewer, lumayan sakit dan memalukan di depan umum," kata Wita.
Korban tidak terima, namun saat itu tidak dapat berbuat banyak karena terintimidasi.
Malam harinya saat korban sudah merasa lebih tenang dan sudah menyelesaikan kewajiban liputan, ia bertanya pada teman, salah satu wartawan yang bertugas di Istana Kepresidenan, untuk mencari tahu siapa lelaki yang melakukan intimidasi tadi.
Korban menyebutkan ciri-ciri pelaku, berbadan sedikit pendek, agak gemuk dan berkulit gelap. Teman korban lalu mengirimkan sebuah foto apakah pelaku adalah orang yang dimaksud. Ternyata benar adanya, korban mengakui orang di foto itu adalah lelaki yang sama yang telah menghalangi peliputannya. Lelaki itu ternyata orang Biro Pers Istana.
Ketua AJI Yogyakarta Hendrawan Setiawan mengatakan atas kejadian itu, AJI Yogyakarta menyatakan sikap.
Pertama, kerja jurnalis tidak boleh ada penyensoran dan intimidasi dari siapapun. Sikap yang dilakukan pelaku telah melanggar melanggar ketentuan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers pada Pasal 4 ayat 1, 2 dan 3. Bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Kedua, kata Hendrawan, dalam ketentuan pidana UU Pers Pasal 18 disebutkan setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.
"AJI menilai perbuatan pelaku adalah salah satu bentuk ancaman terhadap kebebasan pers," kata Hendrawan.
Ketiga, pelecehan yang dilakukan adalah pelecehan terhadap profesi dan pribadi korban. Sebagai pekerja perempuan maka pelaku telah melanggar haknya yakni bebas dari teror, bebas intimidasi, mendapatkan perlindungan dan keamanan.
Keempat, AJI Yogyakarta meminta Biro Pers Istana meminta maaf. Dan kelima, AJI juga meminta Presiden Jokowi menempatkan orang yang memahami UU Pers di Biro Pers Istana.
"Kami mengimbau agar semua pihak termasuk para pejabat untuk memahami UU Pers agar tidak ada pemberangusan terhadap pers seperti zaman orde baru," kata Hendrawan.
Komentar
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Serum Vitamin C yang Bisa Hilangkan Flek Hitam, Cocok untuk Usia 40 Tahun
- Sunscreen untuk Usia 50-an Sebaiknya SPF Berapa? Cek 5 Rekomendasi yang Layak Dicoba
- 5 Mobil Diesel Bekas Mulai 50 Jutaan Selain Isuzu Panther, Keren dan Tangguh!
- Harta Kekayaan Abdul Wahid, Gubernur Riau yang Ikut Ditangkap KPK
- 5 Mobil Eropa Bekas Mulai 50 Jutaan, Warisan Mewah dan Berkelas
Pilihan
-
Jusuf Kalla Peringatkan Lippo: Jangan Main-Main di Makassar!
-
Korban PHK Masih Sumbang Ratusan Ribu Pengangguran! Industri Pengolahan Paling Parah
-
Cuma Mampu Kurangi Pengangguran 4.000 Orang, BPS Rilis Data yang Bikin Kening Prabowo Berkerut
-
Rugi Triliunan! Emiten Grup Djarum, Blibli PHK 270 Karyawan
-
Angka Pengangguran Indonesia Tembus 7,46 Juta, Cuma Turun 4.000 Orang Setahun!
Terkini
-
Gubernur Riau Jadi Tersangka KPK! Kemendagri Siapkan Pengganti Sementara
-
Pramono Anung Rombak Birokrasi DKI: 1.842 Pejabat Baru, Janji Pelayanan Publik Lebih Baik
-
Gubernur Riau Jadi Tersangka, PKB Proses Status Kader Abdul Wahid Secara Internal
-
Raperda KTR DKI Disahkan! Ini Titik-Titik yang Dilarang untuk Merokok dan Jual Rokok
-
BNN Gerebek Kampung Bahari, 18 Orang Ditangkap di Tengah Perlawanan Sengit Jaringan Narkoba
-
KPK Kejar Korupsi Whoosh! Prabowo Tanggung Utang, Penyelidikan Jalan Terus?
-
Ahli Hukum Nilai Hak Terdakwa Dilanggar dalam Sidang Sengketa Tambang Nikel Halmahera Timur
-
Cak Imin Instruksikan BGN Gunakan Alat dan Bahan Pangan Lokal untuk MBG
-
MRT Siapkan TOD Medan Satria, Bakal Ubah Wajah Timur Jakarta
-
Masih Nunggak, Kejagung Sita Aset Musim Mas dan Permata Hijau Group