Suara.com - Kapolri Jenderal Badrodin Haiti enggan menanggapi sikap Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu yang menolak pilihan permintaan maaf dari negara kepada korban pelanggaran hak asasi manusia masa lalu. Itu terjadi di kurun waktu 1965-1966 setelah gerakan 30 September 1965 (G30S).
"Itu terserah penilaian masing-masing," kata Badrodin kepada suara.com di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (21/8/2015).
Sebelumnya, Ryamizard mengatakan pemerintah mewakili negara tak perlu meminta maaf kepada korban G30S 1965.
"Pakai logika saja, yang memberontak (saat G30S) itu siapa. Masa mereka yang berontak, negara yang harus meminta maaf?" ujar Ryamizard dalam acara Silaturahmi Menteri Pertahanan RI dengan Media Massa di kantor Kemhan, Jakarta, Rabu (19/8/2015) kemarin.
Ryamizard Ryacudu meyakini bahwa yang melakukan pemberontakan saat G30S adalah Partai Komunis Indonesia, yang menurutnya, telah melakukan pemberontakan dengan membunuh para jenderal TNI. Ryamizard pun berjanji akan menyampaikan pendapatnya tersebut kepada Presiden Joko Widodo.
"Saya akan sampaikan kepada Presiden," kata dia.
Jalan keluar yang terbaik terkait persoalan tersebut, lanjut Kepala Staf Angkatan Darat periode 2002-2005 ini, adalah dengan rekonsiliasi atau pemulihan hubungan antara pemerintah dan korban.
"Buang jauh-jauh masa lalu. Mari kita bersatu untuk mengatasi tantangan-tantangan ke depan," tutur dia.
Pemerintah saat ini sedang menggodok kebijakan untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang terjadi di masa lalu, termasuk pelanggaran HAM tahun 1965-1966 yang menimpa orang-orang yang terkait ataupun terduga anggota Partai Komunis Indonesia. Salah satu cara yang dipertimbangkan adalah rekonsiliasi.
Hal ini sempat diungkapkan oleh Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, namun menurutnya kebijakan itu perlu sosialisasi mendalam.
"Tentu itu suatu niat yang baik tapi proses itu harus disosialisasikan ke seluruh jajaran dan masyarakat, jangan sampai salah interpretasi apa yang dimaksud rekonsiliasi dan bagaimana konsepnya, tentu semuanya harus memahami," kata Badrodin.
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sendiri memiliki komitmen untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia.
Hal tersebut terdapat dalam visi misi dan program aksi berjudul Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian, yang berisi penjabaran dari Nawa Cita.
Dalam naskah tersebut tertulis, "Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang hingga kini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia, seperti Kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965".
Komnas HAM sendiri sejak tahun 2008 telah melakukan penyelidikan tentang kejadian tahun 1965-1966 pascaperistiwa Gerakan 30 September yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa warga Indonesia yang terkait maupun terduga anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan afiliasinya, sementara sejumlah orang lainnya diasingkan dan dipenjara.
Berita Terkait
-
Dukung Menhan, DPR Juga Ogah Minta Maaf ke Korban Peristiwa 65
-
Keluarga Minta Menkum HAM Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM Berat
-
Menhan Tolak Opsi Minta Maaf ke Korban HAM Peristiwa 1965
-
Jaksa Agung: Solusi Masalah HAM Berat Mulai Temui Titik Terang
-
Politisi PDI Perjuangan: Pelanggaran HAM Berat Harus Diadili
Terpopuler
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Bukan Denpasar, Kota Ini Sebenarnya Yang Disiapkan Jadi Ibu Kota Provinsi Bali
- Profil Djamari Chaniago: Jenderal yang Dulu Pecat Prabowo, Kini Jadi Kandidat Kuat Menko Polkam
- Tinggi Badan Mauro Zijlstra, Pemain Keturunan Baru Timnas Indonesia Disorot Aneh Media Eropa
Pilihan
-
6 Stadion Paling Angker: Tempat Eksekusi, Sosok Neti hingga Suara Misterius
-
Shell, Vivo Hingga AKR Bungkam Usai 'Dipaksa' Beli BBM dari Pertamina
-
Drama Stok BBM SPBU Swasta Teratasi! Shell, Vivo & BP Sepakat 'Titip' Impor ke Pertamina
-
Gelombang Keracunan MBG, Negara ke Mana?
-
BUMN Tekstil SBAT Pasrah Menuju Kebangkrutan, Padahal Baru IPO 4 Tahun Lalu
Terkini
-
Tak Ada Tawar Menawar! Analis Sebut Reformasi Polri Mustahil Tanpa Ganti Kapolri
-
Menjelajahi Jantung Maluku: "Buru Expedition" Wanadri Ungkap Kekayaan Tersembunyi Pulau Buru
-
Polemik Ijazah Gibran Tak Substansial tapi Jadi Gaduh Politik
-
Klarifikasi Ijazah Gibran Penting agar Tidak Ulangi Kasus Jokowi
-
Menkeu Purbaya Ultimatum ke Pengelolaan Program Makan Gratis: Nggak Jalan, Kita Ambil Duitnya!
-
Eks Kapolri Tegaskan Polri di Bawah Presiden: Perspektif Historis dan Konstitusional
-
J Trust Bank Desak Crowde Lebih Kooperatif dan Selesaikan Kewajiban
-
KPK: Penyidikan Korupsi Haji Tidak Mengarah ke PBNU
-
Ancol Rencanakan Reklamasi 65 Hektare, Pastikan Tak Gunakan Dana APBD
-
Dirut PAM Jaya Jamin Investor Tak Bisa Paksa Naikkan Tarif Air Pasca-IPO