Suara.com - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia menilai rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membangun simpang susun Semanggi hanya akan memicu dan melahirkan kemacetan baru bila tidak diikuti dengan kebijakan untuk mengurangi jumlah kendaraan di jalan raya.
"Pembangunan 'fly over' dan 'underpass' akan selalu terbentur dengan rasio luas jalan dan rasio pertumbuhan penggunaan kendaraan bermotor pribadi tidak seimbang," kata Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi melalui surat elektronik di Jakarta, Sabtu.
Dalam jangka pendek, kata Tulus, simpang susun Semanggi akan berhasil mengurai kemacetan di sekitar kawasan tersebut, terutama dari arah Gatot Subroto, Slipi, dan Sudirman. Namun, dia menilai hal itu tidak akan lebih dari 1 tahun.
Menurut Tulus, pembangunan jalan layang, "underpass" dan jalan baru lebih merupakan "karpet merah" bagi warga Jakarta untuk memiliki dan menggunakan kendaraan bermotor pribadi untuk menunjang mobilitasnya.
"Warga Jakarta menjadi malas menggunakan angkutan umum. Apalagi, angkutan umum di Jakarta sampai detik ini masih amburadul, sekalipun Transjakarta," tuturnya.
Oleh karena itu, Tulus menilai pembangunan simpang susun Semanggi merupakan hal yang kontraproduktif bagi lalu lintas di Jakarta. Apalagi, dari sisi tata-ruang, simpang susun Semanggi akan memperburuk tata ruang di sekitar Semanggi.
"Seharusnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hanya membangun simpang susun atau 'underpass' untuk lokasi yang beririsan dengan rel kereta api atau lintasan sebidang," katanya.
Tulus menyarankan agar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lebih menggunakan pendekatan disinsentif bagi pengguna kendaraan pribadi, seperti pemberlakuan jalan berbayar elektronik (ERP) untuk mengatasi kemacetan.
Menurut Tulus, pembangunan simpang susun Semangi justru akan memberikan "insentif" bagi pengguna kendaraan pribadi agar makin nyaman menggunakan kendaraannya.
"Implikasinya, apalagi kalau bukan kemacetan. Jadi, alasan membangun simpang susun Semanggi untuk mengatasi kemacetan adalah alasan dan paradigma yang sesat pikir," tuturnya.
Namun, Tulus mengingatkan pemberian disinsentif bagi pengguna kendaraan pribadi harus dibarengi dengan fasilitas transportasi umum yang manusiawi, terintegrasi, dan terjangkau agar kebijakan untuk mengurangi kemacetan di Jakarta bisa optimal dan adil. (Antara)
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- Terungkap! Kronologi Perampokan dan Penculikan Istri Pegawai Pajak, Pelaku Pakai HP Korban
- Promo Superindo Hari Ini 10-13 November 2025: Diskon Besar Awal Pekan!
- 5 Rekomendasi Motor yang Bisa Bawa Galon untuk Hidup Mandiri Sehari-hari
- 5 Bedak Padat yang Bagus dan Tahan Lama, Cocok untuk Kulit Berminyak
- 5 Parfum Aroma Sabun Mandi untuk Pekerja Kantoran, Beri Kesan Segar dan Bersih yang Tahan Lama
Pilihan
-
Tekad Besar Putu Panji Usai Timnas Indonesia Tersingkir di Piala Dunia U-17 2025
-
Cek Fakta: Viral Isu Rektor UGM Akui Jokowi Suap Rp100 Miliar untuk Ijazah Palsu, Ini Faktanya
-
Heimir Hallgrimsson 11 12 dengan Patrick Kluivert, PSSI Yakin Rekrut?
-
Pelatih Islandia di Piala Dunia 2018 Masuk Radar PSSI Sebagai Calon Nahkoda Timnas Indonesia
-
6 HP RAM 8 GB Paling Murah dengan Spesifikasi Gaming, Mulai Rp1 Jutaan
Terkini
-
Siap Diperiksa Kasus Ijazah Jokowi, Roy Suryo Cs Yakin Tak Ditahan: Silfester Saja Masih Bebas!
-
Pulihkan Nama Baik, Presiden Prabowo Beri Rehabilitasi Dua Guru Korban Kriminalisasi Asal Luwu Utara
-
Pesan Pengacara PT WKM untuk Presiden Prabowo: Datanglah ke Tambang Kami, Ada 1,2 Km Illegal Mining
-
Misteri Penculikan Bilqis: Pengacara Duga Suku Anak Dalam Hanya 'Kambing Hitam' Sindikat Besar
-
Babak Baru Korupsi Petral: Kejagung Buka Penyidikan Periode 2008-2015, Puluhan Saksi Diperiksa
-
Aliansi Laki-Laki Baru: Lelaki Korban Kekerasan Seksual Harus Berani Bicara
-
Ahli BRIN Ungkap Operasi Tersembunyi di Balik Jalan Tambang PT Position di Halmahera Timur
-
Jeritan Sunyi di Balik Tembok Maskulinitas: Mengapa Lelaki Korban Kekerasan Seksual Bungkam?
-
Mendagri Tito Dapat Gelar Kehormatan "Petua Panglima Hukom" dari Lembaga Wali Nanggroe Aceh
-
'Mereka Mengaku Polisi', Bagaimana Pekerja di Tebet Dikeroyok dan Diancam Tembak?