Ilustrasi garis polisi [suara.com/Nur Habibie]
Pernyataan tertulis yang ditandangani tiga pengurus Pondok Pesantren Ibnu Mas'ud untuk membubarkan pesantren yang terletak di Desa Sukajaya, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, dinilai cacat hukum.
"Pertama, perjanjian dibuat dengan paksaan. Kedua, ketiga pengurus yang menandatangani perjanjian bukanlah subyek hukum yang sah untuk membubarkan pesantren atau yayasan," kata Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid di gedung HDI Hive, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (14/9/2017).
Amnesty International Indonesia, Pusat Bantuan Hukum Dompet Dhuafa, Social Movement Institute, dan LBH Jakarta merupakan tim advokasi Pondok Pesantren Ibnu Mas'ud.
Pesantren Ibnu Mas'ud akan dibubarkan oleh pemerintah daerah karena dianggap mengajarkan terorisme.
Kasus tersebut berawal dari dugaan pengurus pondok membakar umbul-umbul warna merah putih sehari menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke 72.
Aksi tersebut kemudian memicu reaksi warga. Selain melakukan aksi, warga juga mendesak kecamatan setempat untuk membubarkan pesantren. Atas dasar desakan warga dan hasil musyawarah pimpinan kecamatan, tiga pengurus pesantren membuat pernyataan tertulis yang intinya setuju pondok dibubarkan dalam waktu satu bulan pasca pernyataan dibuat pada tanggal 17 Agustus 2017.
Menurut Usman upaya pembubaran ponsok pensantren tersebut bertentangan dengan hasil Kovenan Internasional hak-hak sipil dan politik, dimana negara-negara yang tergabung di dalam Kovenan, termasuk Indonesia berkewajiban menghormati dan melindungi hak-hak tiap orang untuk berekspresi, berserikat, dan berfikir, berkeyakinan, serta beragama.
"Hak-hak ini telah pula diratifikasi dan dijamin Konstitusi Indonesia," ujar Usman.
Usman mengatakan belakangan ini, pengurus pondok pesantren berkali-kali didatangi polisi, tentara, perwakilan Kementerian Agama, dan perwakilan pemerintah daerah untuk mengingatkan tentang pembubaran pondok.
Litbang Kementerian Agama pernah melakukan survei yang menurut Usman mengarah kepada kesimpulan pesantren Ibnu Mas'ud merupakan tempat mengajarkan ajaran radikalisme.
"Selain itu terdapat juga intimidasi yang berusaha memancing tindakan emosional dari penghuni pesantren. Terdapat pula ancaman pengerahan massa kembali untuk pembubaran Ibnu Mas'ud tanggal 17 September 2017 nanti," tutur Usman.
Lima poin
Dalam konferensi pers, Usman membacakan sikap tim advokasi Pondok Pesantren Ibnu Mas'ud.
"Pertama, menghentikan upaya pembubaran pondok pesantren Ibnu Mas’ud karena surat pernyataan yang ditandatangani oleh orang yang tidak berwenang dan dibuat atas dasar paksaan tidak bisa dijadikan dasar pembubaran. Pembubaran tidak pernah ada," ujar Usman.
Kedua, mendesak muspida dan muspika menghindari cara-cara kekerasan, pemaksaan, dan pengerahan aparat ataupun ormas dalam menuntut pembubaran Pondok Pesantren Ibnu Mas’ud.
"Penutupan suatu pondok pesantren ataupun sebuah badan hukum haruslah berdasarkan hukum dan tunduk pada prinsip hak asasi manusia," tutur Usman.
Ketiga, tim advokasi juga meminta Polres Kabupaten Bogor dan Polda Jawa Barat untuk memberikan perlindungan hukum terhadap Pondok Pesantren Ibnu Mas’ud, terutama jika terdapat tekanan massa untuk pembubaran.
Keempat, pemerintah harus bisa memfasilitasi pondok pesantren yang memiliki kekhususan dan memberikan bantuan sarana untuk perkembangan pesantren.
"Pembubaran pondok pesantren secara paksa tidak akan menyelesaikan masalah dan hanya akan menimbulkan trauma yang mendalam kepada anak-anak yang menjadi peserta didik," kata Usman.
"Kelima, jika terdapat orang-orang yang di pondok pesantren yang diduga terkait dengan kegiatan terorisme, maka tindakan yang tepat adalah memproses secara hukum, bukan membubarkan pesantren secara keseluruhan," Usman menambahkan.
"Pertama, perjanjian dibuat dengan paksaan. Kedua, ketiga pengurus yang menandatangani perjanjian bukanlah subyek hukum yang sah untuk membubarkan pesantren atau yayasan," kata Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid di gedung HDI Hive, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (14/9/2017).
Amnesty International Indonesia, Pusat Bantuan Hukum Dompet Dhuafa, Social Movement Institute, dan LBH Jakarta merupakan tim advokasi Pondok Pesantren Ibnu Mas'ud.
Pesantren Ibnu Mas'ud akan dibubarkan oleh pemerintah daerah karena dianggap mengajarkan terorisme.
Kasus tersebut berawal dari dugaan pengurus pondok membakar umbul-umbul warna merah putih sehari menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke 72.
Aksi tersebut kemudian memicu reaksi warga. Selain melakukan aksi, warga juga mendesak kecamatan setempat untuk membubarkan pesantren. Atas dasar desakan warga dan hasil musyawarah pimpinan kecamatan, tiga pengurus pesantren membuat pernyataan tertulis yang intinya setuju pondok dibubarkan dalam waktu satu bulan pasca pernyataan dibuat pada tanggal 17 Agustus 2017.
Menurut Usman upaya pembubaran ponsok pensantren tersebut bertentangan dengan hasil Kovenan Internasional hak-hak sipil dan politik, dimana negara-negara yang tergabung di dalam Kovenan, termasuk Indonesia berkewajiban menghormati dan melindungi hak-hak tiap orang untuk berekspresi, berserikat, dan berfikir, berkeyakinan, serta beragama.
"Hak-hak ini telah pula diratifikasi dan dijamin Konstitusi Indonesia," ujar Usman.
Usman mengatakan belakangan ini, pengurus pondok pesantren berkali-kali didatangi polisi, tentara, perwakilan Kementerian Agama, dan perwakilan pemerintah daerah untuk mengingatkan tentang pembubaran pondok.
Litbang Kementerian Agama pernah melakukan survei yang menurut Usman mengarah kepada kesimpulan pesantren Ibnu Mas'ud merupakan tempat mengajarkan ajaran radikalisme.
"Selain itu terdapat juga intimidasi yang berusaha memancing tindakan emosional dari penghuni pesantren. Terdapat pula ancaman pengerahan massa kembali untuk pembubaran Ibnu Mas'ud tanggal 17 September 2017 nanti," tutur Usman.
Lima poin
Dalam konferensi pers, Usman membacakan sikap tim advokasi Pondok Pesantren Ibnu Mas'ud.
"Pertama, menghentikan upaya pembubaran pondok pesantren Ibnu Mas’ud karena surat pernyataan yang ditandatangani oleh orang yang tidak berwenang dan dibuat atas dasar paksaan tidak bisa dijadikan dasar pembubaran. Pembubaran tidak pernah ada," ujar Usman.
Kedua, mendesak muspida dan muspika menghindari cara-cara kekerasan, pemaksaan, dan pengerahan aparat ataupun ormas dalam menuntut pembubaran Pondok Pesantren Ibnu Mas’ud.
"Penutupan suatu pondok pesantren ataupun sebuah badan hukum haruslah berdasarkan hukum dan tunduk pada prinsip hak asasi manusia," tutur Usman.
Ketiga, tim advokasi juga meminta Polres Kabupaten Bogor dan Polda Jawa Barat untuk memberikan perlindungan hukum terhadap Pondok Pesantren Ibnu Mas’ud, terutama jika terdapat tekanan massa untuk pembubaran.
Keempat, pemerintah harus bisa memfasilitasi pondok pesantren yang memiliki kekhususan dan memberikan bantuan sarana untuk perkembangan pesantren.
"Pembubaran pondok pesantren secara paksa tidak akan menyelesaikan masalah dan hanya akan menimbulkan trauma yang mendalam kepada anak-anak yang menjadi peserta didik," kata Usman.
"Kelima, jika terdapat orang-orang yang di pondok pesantren yang diduga terkait dengan kegiatan terorisme, maka tindakan yang tepat adalah memproses secara hukum, bukan membubarkan pesantren secara keseluruhan," Usman menambahkan.
Komentar
Berita Terkait
-
Amnesty Tanggapi Pencabutan Kartu Identitas Liputan Istana: Contoh Praktik Otoriter
-
Aliansi Ibu Indonesia: Ibu Pertiwi Berduka Akibat Kebijakan Elit dan Kekerasan Negara
-
Usut Kericuhan Demo, Negara Harus Lakukan Investigasi Independen Libatkan Tokoh Berintegritas
-
Korban Jiwa Tembus 10 Orang, Amnesty Internasional Desak Penyelidikan ProJustitia
-
Demo Berdarah 25 Agustus hingga 1 September: 9 Nyawa Melayang, 1.821 Orang Ditangkap Polisi
Terpopuler
- 4 Link DANA Kaget Khusus Jumat Berkah: Klaim Saldo Gratis Langsung Cuan Rp 345 Ribu
- 7 Rekomendasi Parfum Terbaik untuk Pelari, Semakin Berkeringat Semakin Wangi
- Unggahan Putri Anne di Tengah Momen Pernikahan Amanda Manopo-Kenny Austin Curi Perhatian
- 8 Moisturizer Lokal Terbaik untuk Usia 50 Tahun ke Atas, Solusi Flek Hitam
- 15 Kode Redeem FC Mobile Aktif 10 Oktober 2025: Segera Dapatkan Golden Goals & Asian Qualifier!
Pilihan
-
Grand Mall Bekasi Tutup, Netizen Cerita Kenangan Lawas: dari Beli Mainan Sampai Main di Aladdin
-
Jay Idzes Ngeluh, Kok Bisa-bisanya Diajak Podcast Jelang Timnas Indonesia vs Irak?
-
278 Hari Berlalu, Peringatan Media Asing Soal Borok Patrick Kluivert Mulai Jadi Kenyataan
-
10 HP dengan Kamera Terbaik Oktober 2025, Nomor Satu Bukan iPhone 17 Pro
-
Timnas Indonesia 57 Tahun Tanpa Kemenangan Lawan Irak, Saatnya Garuda Patahkan Kutukan?
Terkini
-
Tiga Notaris Jadi Saksi Kunci, KPK 'Kuliti' Skema Mafia Tanah Tol Sumatera
-
Tragedi Ponpes Al Khoziny: Identifikasi Korban Terus Berlanjut, 53 Jenazah Teridentifikasi!
-
Nobel Perdamaian 2025 Penuh Duri: Jejak Digital Pro-Israel Penerima Penghargaan Jadi Bumerang
-
Birokrasi Jadi Penghambat Ambisi Ekonomi Hijau Indonesia? MPR Usul Langkah Berani
-
Jejak Korupsi SPBU Ditelusuri, KPK dan BPK Periksa Eks Petinggi Pertamina
-
'Tsunami' Darat di Meksiko: 42 Tewas, Puluhan Hilang Ditelan Banjir Bandang Mengerikan
-
Prajurit TNI Gagalkan Aksi Begal dan Tabrak Lari di Tol Kebon Jeruk, 3 Motor Curian Diamankan
-
Di The Top Tourism Leaders Forum, Wamendagri Bima Bicara Pentingnya Diferensiasi Ekonomi Kreatif
-
KPK Bongkar Akal Bulus Korupsi Tol Trans Sumatera: Lahan 'Digoreng' Dulu, Negara Tekor Rp205 M
-
Buntut Tragedi Ponpes Al Khoziny, Golkar Desak Pesantren Dapat Jatah 20 Persen APBN