Suara.com - Negosiasi dasar aturan main Paris Agreement dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB (Conference of Parties) ke-23 di Bonn, Jerman belum rampung. Ini menyebabkan implementasi kesepakatan tersebut terancam mundur dari 2020.
Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nur Masripatin menjelaskan Dasar aturan main Paris Agreement belum terbentuk. Padahal tahun depan (2018) harus adopsi.
"Belum ada aturan jelas atau petunjuk jelas untuk elemen-elemen yang disepakati di Paris akan dijalankan pada 2020," kata Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nur Masripatin di Jakarta, Rabu (6/12/2017).
Sejauh ini untuk pedoman dokumen kontribusi nasional penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang telah ditetapkan (Nationally Determined Contributions/NDC) hanya garis besarnya bahwa harus ambisius, jelas dan transparan.
"Tapi kan setiap negara menerjemahkan itu masing-masing. Yang ingin kita atur itu misalnya untuk membuat NDC maka `feature apa saja yang harus ada, kalau punya kita sekarang detil sekali," ujar Masripatin.
NDC Indonesia pertama sangat detil dengan memasukkan national contexts, langkah-langkah mitigasi, langkah-langkah adaptasi, komitmen internasional, informasi untuk memfasilitasi clarity and transparency, termasuk sistem nasional dan akuntingnya untuk penurunan emisi.
"Feature-feature ini yang kita ingin bisa disepakati. Kalau tidak ada pedoman ini bagaimana kita bisa menghitung stok karbonnya di 2020," ujar dia.
Ini salah satu beban berat yang harus kembali dinegosiasikan di COP-24, Polandia, pada 2018, selain juga soal pembahasan forum koordinasi implementasi Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation/REDD+) yang tidak diinginkan oleh negara-negara maju.
"Kalau hasil CMA-1 (the first session of the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Paris Agreement) jadi diadopsi di Polandia berarti selanjutnya harus negosiasi lagi untuk detil pedomannya dan akan lama. Takutnya pada 2020, `Paris Agreement belum bisa berjalan," ujar dia.
Baca Juga: PBB Minta Donald Trump Berikan Solusi Atasi Perubahan Iklim
Untuk metodologi pengukuran emisi GRK, sepanjang sesuai dengan pedoman International Panel on Climate Change (IPCC), menurut dia, setiap negara bisa menggunakan cara yang berbeda-beda. Namun tentu harus disepakati dulu konversi internasionalnya mengingat 170 dari 196 negara yang meratifikasi Paris Agreement memiliki NDC berbeda-beda.
Negosiasi terhambat Sebanyak 196 negara menandatangani Paris Agreement yang merupakan hasil dari KTT Perubahan Iklim PBB pada COP-21 di Paris. Namun dalam perundingan negara-negara para pihak membuat grup-grup yang dianggap mewakili kepentingan mereka masing-masing dalam sejumlah perundingan iklim.
Pada pelaksanaan COP-23 Fiji di Bonn, Jerman, pada 6 hingga 17 November 2017, menurut Masripatin, the Like Minded Group of Countries (LMCs), yang menjadi perwakilan koalisi lebih dari 60 negara dari tiga grup berbeda yakni grup Afrika, grup Asia Pasifik dan grup Amerika Latin dan Karibia, yang dimotori oleh China, India dan negara-negara Arab ingin memiliki agenda sendiri untuk pemisahan pedoman penetapan mitigasi dalam NDC untuk negara maju dengan negara berkembang.
Usulan pembedaan pedoman penetapan mitigasi dalam pembentukan NDC ini yang membuat negosiasi pembentukan dasar aturan main Paris Agreement yang ditargetkan berjalan di 2020 sampai dengan 2030 menjadi panjang sehingga belum membuahkan hasil.
Kejadian ini menjadi sama saat negosiasi Paris Agreement terjadi di COP-21, di mana bekal negara-negara para pihak untuk mencapai kesepakatan sangat kecil, sehingga negosiasi berjalan panjang dan alot saat itu.
Karenanya, negosiasi pada COP-24 di Polandia, ia mengatakan menjadi tantangan berat bagi seluruh negara para pihak mengendalikan peningkatan suhu bumi di bawah dua derajat celsius pada 2030. (Antara)
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Mobil Bekas Keluarga 3 Baris Rp50 Jutaan Paling Dicari, Terbaik Sepanjang Masa
- JK Kritik Keras Hilirisasi Nikel: Keuntungan Dibawa Keluar, Lingkungan Rusak!
- Nikmati Belanja Hemat F&B dan Home Living, Potongan Harga s/d Rp1,3 Juta Rayakan HUT ke-130 BRI
- 5 Sepatu Running Lokal Selevel Asics Original, Kualitas Juara Harga Aman di Dompet
- Nikmati Segarnya Re.juve Spesial HUT ke-130 BRI: Harga Istimewa Mulai Rp13 Ribu
Pilihan
-
Jadwal dan Link Streaming Nonton Rizky Ridho Bakal Raih Puskas Award 2025 Malam Ini
-
5 HP RAM 6 GB Paling Murah untuk Multitasking Lancar bagi Pengguna Umum
-
Viral Atlet Indonesia Lagi Hamil 4 Bulan Tetap Bertanding di SEA Games 2025, Eh Dapat Emas
-
6 HP Snapdragon RAM 8 GB Termurah: Terbaik untuk Daily Driver Gaming dan Multitasking
-
Analisis: Taktik Jitu Andoni Iraola Obrak Abrik Jantung Pertahanan Manchester United
Terkini
-
Antrean Panjang di Stasiun, Kenapa Kereta Api Selalu Jadi Primadona di Periode Libur Panjang?
-
Kasus Deforestasi PT Mayawana, Kepala Adat Dayak Penjaga Hutan di Kalbar Dijadikan Tersangka
-
Eks Pejabat KPI Tepis Tudingan Jaksa Atur Penyewaan Kapal dan Ekspor Minyak
-
Diperiksa KPK Soal Korupsi Haji, Gus Yaqut Pilih Irit Bicara: Tanya Penyidik
-
Buka-bukaan Kerry Riza di Sidang: Terminal OTM Hentikan Ketergantungan Pasokan BBM dari Singapura
-
MBG Dinilai Efektif sebagai Instrumen Pengendali Harga
-
Ultimatum Keras Prabowo: Pejabat Tak Setia ke Rakyat Silakan Berhenti, Kita Copot!
-
Legislator DPR: YouTuber Ferry Irwandi Layak Diapresiasi Negara Lewat BPIP
-
Racun Sianida Akhiri Pertemanan, Mahasiswa di Jambi Divonis 17 Tahun Penjara
-
Ramai Narasi Perpol Lawan Putusan MK, Dinilai Tendensius dan Tak Berdasar