Suara.com - Sidang uji materi Undang-Undang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (3/5/2018). Ini adalah sidang lanjutan 7 perkara dalam UU MD3.
"MK menggelar sidang pleno lanjutan uji UU MD3," kata Juru Bicara MK Fajar Laksono.
Dalam sidang kali ini mendengar keterangan ahli pemohon. Uji materi tujuh perkara ini diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI), Presidium Rakyat Menggugat, dan warga negara secara perseorangan.
Mereka menggugat ketentuan dalam Pasal 73 ayat (3), Pasal 73 ayat (4) huruf a dan c, Pasal 73 ayat (5), Pasal 122 huruf k, dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3.
Berdasarkan berkas perkara, para pemohon mengatakan pasal-pasal dalam UU MD3 itu telah menimbulkan ketidakpastian hukum, perlakuan tidak adil di hadapan hukum bagi masyarakat. Bahkan melanggar hak asasi manusia.
Pasal 73 ayat (3), ayat (4) huruf a dan c, dan ayat (5) menyatakan DPR berhak memanggil paksa lewat polisi, bila ada pejabat, badan hukum, atau warga negara yang tidak hadir setelah dipanggil tiga kali berturut-turut oleh DPR.
Sementara Pasal 73 ayat (5) menyebutkan bahwa dalam menjalankan panggilan paksa, polisi boleh menahan setiap orang paling lama 30 hari.
Menurut pemohon, Pasal 122 huruf k telah bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia karena dalam pasal tersebut memuat ketentuan bahwa DPR akan melakukan langkah hukum bagi siapa saja yang merendahkan martabat dan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Hal ini dinilai para pemohon sebagai upaya pembungkaman suara rakyat dalam mengkritik legislatif, dan bertentangan dengan prinsip HAM dan demokrasi.
Baca Juga: Empat Serikat Buruh Gugat UU MD3 karena Dinilai Ancam Demokrasi
Sedangkan Pasal 245 ayat (1) memuat bahwa setiap anggota DPR memiliki hak impunitas secara luas. Sehingga mengancam kepastian hukum yang adil dan diskriminatif.
Empat dari tujuh permohonan uji materi ini diajukan kepada MK hanya berselang beberapa hari setelah DPR mengesahkan menjadi undang-undang.
Sebelumnya, Rabu (2/5) lalu sejumlah organisasi buruh juga menggugat pasal-pasal pemanggilan paksa oleh DPR. Sehingga menambah jumlah perkara pengujian materi UU MD3 di MK.
Sekarang sudah dua ahli memberikan pendapat. Diantaranya pakar hukum tata negara Margarito Kamis dan akademisi sekaligus praktisi hukum Bvitri Susanti.
Sidang dipimpin oleh hakim konstitusi Aswanto. Dengan hakim anggota, yakni Saldi Isra Wahiduddin Adams, Anwar Usman dan Suhartoyo.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Sepatu New Balance Diskon 70% Jelang Natal di Sports Station
- Analisis Roy Suryo Soal Ijazah Jokowi: Pasfoto Terlalu Baru dan Logo UGM Tidak Lazim
- Ingin Miliki Rumah Baru di Tahun Baru? Yuk, Cek BRI dengan KPR Suku Bunga Spesial 1,30%
- Meskipun Pensiun, Bisa Tetap Cuan dan Tenang Bersama BRIFINE
- Kebutuhan Mendesak? Atasi Saja dengan BRI Multiguna, Proses Cepat dan Mudah
Pilihan
-
UMP Sumsel 2026 Hampir Rp 4 Juta, Pasar Tenaga Kerja Masuk Fase Penyesuaian
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
-
Samsung PD Pasar Tablet 2026 Tetap Tumbuh, Harga Dipastikan Aman
Terkini
-
Pramono Anung Beberkan PR Jakarta: Monorel Rasuna, Kali Jodo, hingga RS Sumber Waras
-
Hujan Ringan Guyur Hampir Seluruh Jakarta Akhir Pekan Ini
-
Jelang Nataru, Penumpang Terminal Pulo Gebang Diprediksi Naik Hingga 100 Persen
-
KPK Beberkan Peran Ayah Bupati Bekasi dalam Kasus Suap Ijon Proyek
-
Usai Jadi Tersangka Kasus Suap Ijon Proyek, Bupati Bekasi Minta Maaf kepada Warganya
-
KPK Tahan Bupati Bekasi dan Ayahnya, Suap Ijon Proyek Tembus Rp 14,2 Miliar
-
Kasidatun Kejari HSU Kabur Saat OTT, KPK Ultimatum Segera Menyerahkan Diri
-
Pengalihan Rute Transjakarta Lebak Bulus - Pasar Baru Dampak Penebangan Pohon
-
Diduga Lakukan Pemerasan hingga Ratusan Juta, Kajari dan Kasi Intel Kejaksaan Negeri HSU Ditahan KPK
-
Boni Hargens: 5 Logical Fallacies di Argumentasi Komite Reformasi Polri Terkait Perpol 10/2025