Suara.com - Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Taiwan menanggapi kabar tentang mahasiswa Indonesia yang diduga menjadi korban kerja paksa di Taiwan. PPI menilai tidak ada kerja paksa mahasiswa di Taiwan.
Hanya saja, memang ada beberapa mahasiswa yang mengeluh lelah karena jam kerja yang lebih panjang dari waktu kerja yang telah ditentukan, yakni 20 jam per minggu untuk pelajar. Namun, ada juga beberapa mahasiswa yang tetap menikmati hal tersebut.
"Setelah kami mengonfirmasi ke beberapa mahasiswa di universitas yang disebut dalam pemberitaan, memang ada kelebihan jam kerja dari yang telah ditentukan. Seluruh jam kerja yang dilakukan tetap diberikan gaji dan kata 'kerja paksa' sebenarnya kurang tepat untuk hal ini," kata pernyataan dari PPI di Taiwan yang diterima di Jakarta, Jumat (4/1/2019).
PPI menilai bahwa permasalahan mahasiswa Indonesia yang diduga mengalami kerja paksa di Taiwan muncul karena sejumlah pihak melakukan perekrutan dan pengiriman mahasiswa magang secara masif. Sementara kedua belah pihak belum menyepakati detail pengelolaannya melalui suatu pengaturan teknis (technical arrangement).
Lebih lanjut pihak PPI di Taiwan menjelaskan bahwa program kuliah sambil kerja (magang) adalah salah satu program legal di bawah kebijakan New Southbound Policy (NSP) dengan nama Industrial Academia Collaboration. Ada 69 universitas dan sekitar enam sampai 10 universitas yang fokus dengan pelajar dari Indonesia.
Selain itu, kegiatan pelajar yang mengikuti program kuliah sambil harus bekerja adalah suatu hal yang legal di Taiwan.
"Teman-teman mahasiswa memang harus bekerja (magang) untuk memenuhi biaya sekolah dan hidupnya karena tidak ada beasiswa. Ada beberapa universitas hanya memberikan beasiswa enam bulan sampa satu tahun saja," demikian pernyataan PPI di Taiwan.
Namun, kasus kuliah sambil magang memang sudah lama menjadi perhatian PPI. Organisasi PPI bersama dengan rekan-rekan PPI di kampus telah mengidentifikasi berbagai masalah dalam program double track tersebut dan telah melaporkan kepada perwakilan Indonesia di Taiwa, yaitu Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taipei (KDEI Taipei) untuk mencari penyelesaian masalah.
Untuk itu, PPI menilai bahwa kasus double track itu memang memerlukan perhatian segera pemerintah Indonesia untuk turut menangani dan mengawasi langsung implementasi program kuliah magang tersebut, termasuk di dalamnya sejauh mana peran dan juga keterlibatan agen dengan permasalahannya.
Baca Juga: Kerja Paksa Mahasiswa di Taiwan, Menristek Pastikan Tetap Kirim Pelajar
"Dengan jumlah mahasiswa yang semakin bertambah, saat ini ada lebih dari 6.000 pelajar di Taiwan, dengan berbagai dinamika permasalahan yang dihadapi, sudah selayaknya dipertimbangkan untuk adanya staf pendidikan yang setara dengan Atase untuk membantu pemerintah mengelola, mengawasi, dan mengevaluasi program-program kerjasama yang ditawarkan antara Indonesia dan Taiwan," kata pernyataan PPI di Taiwan.
PPI Taiwan dan Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei hingga saat ini sedang melakukan pendalaman terhadap informasi yang berkembang mengenai program kuliah magang itu. Selanjutnya, untuk mencegah dampak negatif lebih jauh, Pemerintah Indonesia melalui KDEI Taipei sedang berkoordinasi dengan otoritas terkait di Taiwan untuk menyepakati solusi bersama. (Antara)
Berita Terkait
-
Kerja Paksa Mahasiswa di Taiwan, Menristek Pastikan Tetap Kirim Pelajar
-
6 Destinasi Wisata di Taiwan yang Wajib Dieksplorasi
-
Kisah Mahasiswa Undip Diterjang Tsunami: Pulau Legundi Porak Poranda
-
Heboh Penjual Ikan Cantik di Pasar, Terungkap Ini Sosok Aslinya
-
Karena Mural Ini, Seluruh Desa Batal Digusur
Terpopuler
- 2 Cara Menyembunyikan Foto Profil WhatsApp dari Orang Lain
- Selamat Datang Mees Hilgers Akhirnya Kembali Jelang Timnas Indonesia vs Arab Saudi
- Omongan Menkeu Purbaya Terbukti? Kilang Pertamina di Dumai Langsung Terbakar
- Selamat Tinggal Timnas Indonesia Gagal Lolos Piala Dunia 2026, Itu Jadi Kenyataan Kalau Ini Terjadi
- Sampaikan Laporan Kinerja, Puan Maharani ke Masyarakat: Mohon Maaf atas Kinerja DPR Belum Sempurna
Pilihan
-
165 Kursi Komisaris BUMN Dikuasai Politisi, Anak Buah Prabowo Merajai
-
5 Rekomendasi HP 2 Jutaan Memori 256 GB, Pilihan Terbaik Oktober 2025
-
Geger Shutdown AS, Menko Airlangga: Perundingan Dagang RI Berhenti Dulu!
-
Seruan 'Cancel' Elon Musk Bikin Netflix Kehilangan Rp250 Triliun dalam Sehari!
-
Proyek Ponpes Al Khoziny dari Tahun 2015-2024 Terekam, Tiang Penyangga Terlalu Kecil?
Terkini
-
Dolar Diramal Tembus Rp20.000, Ekonom Blak-blakan Kritik Kebijakan 'Bakar Uang' Menkeu
-
'Spill' Sikap NasDem: Swasembada Pangan Harga Mati, Siap Kawal dari Parlemen
-
Rocky Gerung 'Spill' Agenda Tersembunyi di Balik Pertemuan Jokowi dengan Abu Bakar Ba'asyir
-
Kriminalisasi Masyarakat Adat Penentang Tambang Ilegal PT Position, Jatam Ajukan Amicus Curiae
-
Drama PPP Belum Usai: Jateng Tolak SK Mardiono, 'Spill' Fakta Sebenarnya di Muktamar X
-
Horor MBG Terulang Lagi! Dinas KPKP Bongkar 'Dosa' Dapur Umum: SOP Diabaikan!
-
Jalani Kebijakan 'Koplaknomics', Ekonom Prediksi Indonesia Hadapi Ancaman Resesi dan Gejolak Sosial
-
Mensos Gus Ipul Bebas Tugaskan Staf Ahli yang Jadi Tersangka Korupsi Bansos di KPK
-
Detik-detik Bus DAMRI Ludes Terbakar di Tol Cikampek, Semua Penumpang Selamat
-
Titik Didih Krisis Puncak! Penutupan Belasan Tempat Wisata KLH Picu PHK Massal, Mulyadi Geram