Suara.com - Setyo Eko Pratolo, korban Keraton Agung Sejagat (KAS) membeberkan berbagai kerugian yang dialaminya. Bahkan ia mengaku istrinya marah dan membuatnya malas untuk pulang ke rumah.
Hal ini disampaikan Eko saat hadir dalam acara ILC TV One yang bertajuk "Siapa di Balik Raja-raja Baru" yang tayang pada Selasa (21/1/2020) malam.
Awalnya Eko menjelaskan bahwa ada sejumlah biaya yang harus dikeluarkan masing-masing anggota KAS. Mulai dari biaya mendaftar hingga mendapat jabatan.
Ia juga membeberkan bahwa ada kaitan antara KAS dengan Sunda Empire.
"Saya membayar Rp 15 ribu sebagai kartu anggota. Setelah adanya Sunda Empire itu baru lumayan mengeluarkan uang. Waktu di Sunda Empire untuk baju seragam Rp 3 juta," tutur Eko.
Eko mengungkapkan bahwa biaya-biaya ini belum termasuk untuk mendapatkan jabatan tertentu di kerajaan fiksi tersebut.
"Itu belum termasuk untuk jabatan. Ini jabatan tingkat dunia, jadi dengan adanya jabatan itu berbeda-beda tarifnya," katanya.
Saat terbentuk Sunda Empire permainan tarif untuk mendapatkan jabatan tertentu juga dilakukan. Alasannya adalah untuk memenuhi struktur jabatan.
"Menjelang adanya Keraton Agung Sejagat ini juga bisa merasakan gedenya uang juga. Tadi kaitan dengan jabatan, satu bintang itu juga harganya lumayan." kata Eko
Baca Juga: Ilmuwan Ciptakan Embrio Ketiga Badak Putih Utara Buatan
Menurut pengakuannya, untuk memperoleh satu bintang di KAS, Eko harus membayar sebesar Rp 800 ribu.
"Bintang tiga (letnan jendral) itu harga baju Rp 2.054.000," ujar Eko yang mengaku mengeluarkan biaya untuk membayar itu semua dari tabungan dan pinjaman.
Karni Ilyas, pembawa acara ILC bertanya, "Istri enggak marah?"
"Waduh, kok istri enggak marah. Dengan adanya ini (KAS) saya malas pulang, pak Karni. Bikin kopi sendiri, tapi kemarin pas saya mau berangkat ke ILC istri nyuci, saya kasih uang," jawab Eko.
Ia tertarik ikut KAS karena alasan ekonomi. Ia mengaku bayaran sebagai perangkat desa tidak besar.
"Waktu saya menjabat perangkat desa dulu awalnya untuk honornya minim sekali," kata Eko.
Berita Terkait
-
Soal Kerajaan Fiktif, Guru Besar Psikologi UGM: Ke Depan Akan Tetap Ada
-
Ternyata Raja Keraton Agung Sejagat Punya Rekening Rp 1,4 Miliar
-
Petinggi Sunda Empire dan Satu Staf Kampus UPI Diperiksa Polda Jabar
-
Raja KAS Minta Maaf, Akui Kerajaan dan Janji kepada Pengikutnya Bohongan
-
Ratusan Orang Diduga Tertipu Keraton Agung Sejagat, Sultan Angkat Bicara
Terpopuler
- Erick Thohir Umumkan Calon Pelatih Baru Timnas Indonesia
- 4 Daftar Mobil Kecil Toyota Bekas Dikenal Ekonomis dan Bandel buat Harian
- 5 Lipstik Transferproof untuk Kondangan, Tidak Luntur Dipakai Makan dan Minum
- 5 Rekomendasi Sepatu Running Selevel Adidas Adizero Versi Lokal, Lentur dan Kuat Tahan Beban
- 8 City Car yang Kuat Nanjak dan Tak Manja Dibawa Perjalanan Jauh
Pilihan
-
Indonesia jadi Raja Sasaran Penipuan Lowongan Kerja di Asia Pasifik
-
Kisah Kematian Dosen Untag yang Penuh Misteri: Hubungan Gelap dengan Polisi Jadi Sorotan
-
Kisi-Kisi Pelatih Timnas Indonesia Akhirnya Dibocorkan Sumardji
-
Hasil Drawing Play Off Piala Dunia 2026: Timnas Italia Ditantang Irlandia Utara!
-
Pengungsi Gunung Semeru "Dihantui" Gangguan Kesehatan, Stok Obat Menipis!
Terkini
-
Prabowo dan Dasco Bertemu di Istana: Bahas Kesejahteraan Ojol hingga Reforma Agraria
-
Bobby Nasution Tak Kunjung Diperiksa Kasus Korupsi Jalan, ICW Curiga KPK Masuk Angin
-
Kontroversi 41 Dapur MBG Milik Anak Pejabat di Makassar, Begini Respons Pimpinan BGN
-
Buntut Putusan MK, Polri Tarik Irjen Argo Yuwono dari Kementerian UMKM, Ratusan Pati Lain Menyusul?
-
Halim Kalla Diperiksa 9 Jam Terkait Korupsi PLTU Mangkrak Rp1,35 Triliun
-
Cegah Lonjakan Harga Jelang Nataru, Prabowo Minta Ganti Menu MBG dengan Daging dan Telur Puyuh
-
Cegah Inflasi Akibat MBG, Pemerintah Rencanakan Pembangunan Peternakan dan Lahan Pertanian Baru
-
Remaja Perempuan Usia 15-24 Tahun Paling Rentan Jadi Korban Kekerasan Digital, Kenapa?
-
Vonis Tiga Mantan Bos, Hakim Nyatakan Kerugian Kasus Korupsi ASDP Rp1,25 Triliun
-
Selain Chromebook, KPK Sebut Nadiem Makarim dan Stafsusnya Calon Tersangka Kasus Google Cloud