Suara.com - Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta kembali menggelar sidang gugatan pemutusan internet Papua yang dilakukan oleh pemerintah pada Agustus-September 2019. Sidang yang digelar pada Rabu (11/3/2020) ini dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli.
Gugatan ini diajukan oleh Tim Pembela Kebebasan Pers yang terdiri dari penggugat Aliansi Jurnalis Independen, SAFEnet, YLBHI, LBH Pers, Elsam, ICJR dan KontraS. Sementara pihak tergugat yakni Kominfo sebagai tergugat 1 dan Presiden Jokowi sebagai tergugat 2.
Tim Pembela Kebebasan Pers mendatangkan dua saksi ahli yakni ahli HAM dan kebebasan pers Herlambang P. Witraman dan saksi ahli administrasi negara Oce Madril.
Herlambang menilai pelambatan atau pemadaman internet melanggar HAM yang diatur dalam U.N. Report Declares Internet Access a Human Right.
“Memutuskan sambungan orang dari internet adalah pelanggaran hak asasi manusia dan melawan hukum internasional," kata Herlambang di PTUN, Jakarta, Rabu (11/3/2020).
Sementara, Oce Madril menilai perbuatan yang dilakukan pemerintah melawan hukum.
Selain itu ia menyebut sikap diam presiden Jokowi atas tindakan menteri komunikasi dan informatika kala itu Rudiantara sama saja dengan tindakan pemerintah.
"Sesuai pasal 40 UU ITE, memang pemerintah mempunyai kewenangan. Hanya saja kewenangan itu terbatas, yaitu memutus akses terhadap muatan yang melanggar hukum. Memutus akses pada muatan, bukan berarti memutus akses internet," ucap Oce Madril.
Objek gugatan yang diajukan dalam sidang ini adalah tindakan pemutusan jaringan internet yang dilakukan pada 19 hingga 20 Agustus 2019, tindakan pemutusan akses internet sejak 21 Agustus sampai 4 September 2019, dan lanjutan pemutusan akses internet sejak 4 sampai 11 September 2019.
Baca Juga: KKB Disebut Mau Ganggu PON XX di Papua, Mahfud: Pemerintah Sudah Antisipasi
Tim menganggap tindakan pemerintah ini telah melanggar UU 40/1999 tentang Pers dan UU 12/2005 yang mengatur kebebasan mencari, menerima, serta memberi informasi.
Para penggugat menilai hakim perlu menyatakan keputusan pemerintah tersebut 'melawan hukum' agar tidak menjadi preseden buruk bagi demokrasi saat ini.
Berita Terkait
Terpopuler
- 31 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 18 Desember: Ada Gems dan Paket Penutup 112-115
- Kebutuhan Mendesak? Atasi Saja dengan BRI Multiguna, Proses Cepat dan Mudah
- 5 Skincare untuk Usia 60 Tahun ke Atas, Lembut dan Efektif Rawat Kulit Matang
- 5 Mobil Keluarga Bekas Senyaman Innova, Pas untuk Perjalanan Liburan Panjang
- Kuasa Hukum Eks Bupati Sleman: Dana Hibah Pariwisata Terserap, Bukan Uang Negara Hilang
Pilihan
-
UMP Sumsel 2026 Hampir Rp 4 Juta, Pasar Tenaga Kerja Masuk Fase Penyesuaian
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
-
Samsung PD Pasar Tablet 2026 Tetap Tumbuh, Harga Dipastikan Aman
Terkini
-
Mendiktisaintek: Riset Kampus Harus Bermanfaat Bagi Masyarakat, Tak Boleh Berhenti di Laboratorium
-
Dengarkan Keluhan Warga Soal Air Bersih di Wilayah Longsor, Bobby Nasution Akan Bangunkan Sumur Bor
-
Di Balik OTT Bupati Bekasi: Terkuak Peran Sentral Sang Ayah, HM Kunang Palak Proyek Atas Nama Anak
-
Warga Bener Meriah di Aceh Alami Trauma Hujan Pascabanjir Bandang
-
Mutasi Polri: Jenderal Polwan Jadi Wakapolda, 34 Srikandi Lain Pimpin Direktorat dan Polres
-
Tinjau Lokasi Bencana Aceh, Ketum PBNU Gus Yahya Puji Kinerja Pemerintah
-
Risma Apresiasi Sopir Ambulans dan Relawan Bencana: Bekerja Tanpa Libur, Tanpa Pamrih
-
Aktivitas Tambang Emas Ilegal di Gunung Guruh Bogor Kian Masif, Isu Dugaan Beking Aparat Mencuat
-
Sidang Ditunda! Nadiem Makarim Sakit Usai Operasi, Kuasa Hukum Bantah Tegas Dakwaan Cuan Rp809 M
-
Hujan Deras, Luapan Kali Krukut Rendam Jalan di Cilandak Barat