Suara.com - Penjualan barang-barang bekas dengan merek berkelas atau kerap dikenal dengan sebutan secondhand, saat ini sedang digemari banyak orang. Namun, desainer label ternama enggan merangkul tren ini.
"Selalu ada sensasi menemukan sesuatu yang sangat keren, sesuatu yang selalu Anda inginkan, tetapi tidak pernah mampu membelinya. Tiba-tiba, hal itu (barang secondhand) muncul di layar Anda," kata Antonia Barthel kepada DW.
Wanita berusia 27 tahun dari Muenchen ini membaca dengan teliti platform yang menjual kembali barang-barang bekas bermerek.
Pelanggan seperti Barthel menjadi penyebab sejumlah label fesyen mempertimbangkan pendirian mereka terkait ide menjual kembali barang-barang bekas pakai.
Pada awal bulan ini, Kering, perusahaan raksasa yang menjual barang-barang bermerek seperti Gucci, Alexander McQueen, dan Balenciaga, mengakuisisi 5% saham di platform penjualan kembali kelas atas Prancis, Vestiaire Collective.
Tren menjual kembali barang-barang bekas bermerek atau juga dikenal dengan istilah preloved, sebelumnya tidak dilirik oleh rumah mode mewah, yang sangat waspada dalam hal kendali distribusi barang, harga, dan persepsi barang mereka.
Francois-Henri Pinault, Ketua dan CEO Kering, mengatakan dalam sebuah pernyataan: "Kemewahan yang dimiliki sebelumnya, sekarang menjadi tren yang nyata dan mengakar kuat."
Tidak selalu baru Preloved adalah moto baru bagi banyak pecinta fesyen. "Aku tidak pernah peduli bahwa pakaian itu pernah dipakai sebelumnya. Itu terasa baru bagiku," kata Barthel.
Fakta bahwa kesan "mengkilap" tidak lagi berarti baru, adalah "hanya pendekatan kontemporer untuk perancang busana," kata Max Schönemann, CEO dari platform penjualan kembali fesyen mewah Jerman, Rebelle, kepada DW.
Baca Juga: Akuarium Karya Pria Klaten: Hiasan Istana Merdeka dan Dipesan Raffi Ahmad
Tren yang sedang naik daun
Sementara industri fesyen diproyeksikan mengalami keterpurukan finansial terbesar selama pandemi COVID-19, industri penjualan kembali justru berkembang pesat.
Melalui platform penjualan kembali seperti Vestiaire Collective dan Rebelle, konsumen dapat menjual pakaian yang tidak diinginkan dan bisa dilihat langsung oleh konsumen lainnya secara online.
Vestiaire Collective mengalami kemajuan pesat lebih dari 100% dibanding tahun lalu, 140 ribu item baru diunggah ke platform setiap harinya.
"Beberapa bulan terakhir adalah yang terbaik dalam sejarah bisnis kami," kata Schönemann dari Rebelle kepada DW.
Platform penjualan kembali sangat populer di kalangan milenial dan Gen Z, yang lebih hemat dan fokus pada keberlanjutan hidup.
Dengan mengabaikan industri barang bekas, merek-merek fesyen mewah telah kehilangan kesempatan untuk menarik pasar yang besar.
Kemewahan yang terjangkau Harga yang terjangkau adalah alasan utama maraknya penjualan barang mewah bekas.
"Saya tidak akan membeli tas tangan Chloé di toko, tapi baru-baru ini saya membeli tas tangan bekas secara online," kata Barthel.
Dengan bermitra dengan konsumen penjualan kembali, merek-merek mewah seperti Alexander Mcqueen, Gucci, dan Burberry perlahan-lahan berusaha membangun loyalitas dengan pelanggan yang lebih muda di tengah kelesuan pertumbuhan ekonomi.
"Merek-merek mewah ingin mempertahankan dialog yang konstan dengan klien, baik melalui saluran langsung maupun pada platform alternatif," kata Chauvet.
Dalam upaya menjangkau penggemar barang-barang preloved dan mencegah pemalsuan, Alexander McQueen bermitra dengan layanan "Brand Approved" baru dari Vestiaire Collective.
Dalam kolaborasi pertama, McQueen mengumpulkan barang bekas dari pelanggan lama dengan imbalan kredit toko.
Barang-barang tersebut kemudian diautentikasi oleh rumah mode, dikirim ke Vestiaire Collective, dan dijual secara online dengan catatan persetujuan khusus.
Memperhatikan isu lingkungan
"Keberlanjutan memainkan peran terpenting bagi saya. Saya biasanya tidak terlalu peduli dengan merek," kata Barthel.
Jumlah kaum milenial dan gen Z yang mendukung produk berkelanjutan meningkat lebih dari dua kali lipat di tahun 2019 dan 2020, menurut Pricewaterhouse Cooper (PwC).
"Tren keberlanjutan telah berkembang lebih pesat selama pandemi," kata Erika Andreetta dari PwC kepada DW.
Chanel dan Hermès memetakan jalur lain
Rumah mode seperti Hermès dan Chanel masih menentang bahkan tetap menjual barang-barang kulit paling ikonik mereka secara online.
Chanel saat ini terlibat dalam pertarungan panjang di persidangan dengan platform penjualan kembali The RealReal, dengan tuduhan iklan palsu dan penjualan tas palsu.
Rumah mode ikonik tersebut mengklaim bahwa tokonya adalah satu-satunya tempat yang memenuhi syarat untuk menjual Chanel asli.
"Produsen barang-barang mewah yang mungkin lebih enggan menerima keberadaan pasar jual kembali, memposisikan diri mereka sangat eksklusif dan melakukan kontrol ketat atas distribusi dan harga," kata Chauvet.
Namun, Chauvet berharap mereka tidak akan mampu bertahan lebih lama.
"Saya pikir tren itu akan cukup kuat menarik banyak orang," katanya. (ha/vlz)
Berita Terkait
-
Barang Bekas Kini Bisa Jadi Saldo e-Wallet, Begini Caranya
-
KKN Unila dan Siswa SDN 1 Tunggal Warga Sulap Ember Bekas Jadi Karya Apik
-
Dewi Fortuna Menyapa, Kisah Penjual Barang Bekas Kebayoran Lama Raih Keuntungan Tak Terduga
-
10 Ide Kreatif Hiasan Pohon Natal dari Barang Bekas
-
Kampanyekan Gapapa Pakai Bekas, Bersaling Silang Ramaikan Pasar Wiguna
Terpopuler
- Erick Thohir Umumkan Calon Pelatih Baru Timnas Indonesia
- 4 Daftar Mobil Kecil Toyota Bekas Dikenal Ekonomis dan Bandel buat Harian
- 5 Lipstik Transferproof untuk Kondangan, Tidak Luntur Dipakai Makan dan Minum
- 5 Rekomendasi Sepatu Running Selevel Adidas Adizero Versi Lokal, Lentur dan Kuat Tahan Beban
- 5 Rekomendasi Bedak Tabur untuk Usia 50-an, Bikin Kulit Halus dan Segar
Pilihan
-
Pengungsi Gunung Semeru "Dihantui" Gangguan Kesehatan, Stok Obat Menipis!
-
Menkeu Purbaya Lagi Gacor, Tapi APBN Tekor
-
realme C85 Series Pecahkan Rekor Dunia Berkat Teknologi IP69 Pro: 280 Orang Tenggelamkan Ponsel
-
5 Rekomendasi HP Murah Rp 1 Jutaan RAM 8 GB Terbaik November 2025, Cocok Buat PUBG Mobile
-
Ratusan Hewan Ternak Warga Mati Disapu Awan Panas Gunung Semeru, Dampak Erupsi Makin Meluas
Terkini
-
Jalani Sidang dengan Tatapan Kosong, Ortu Terdakwa Demo Agustus: Mentalnya Gak Kuat, Tiga Kali Jatuh
-
Pohon Tumbang Lumpuhkan MRT, PSI Desak Pemprov DKI Identifikasi Pohon Lapuk: Tolong Lebih Gercep!
-
Merasa Terbantu Ada Polisi Aktif Jabat di ESDM, Bagaimana Respons Bahlil soal Putusan MK?
-
Terbongkar! Sindikat Pinjol Dompet Selebriti: Teror Korban Pakai Foto Porno, Aset Rp14 Miliar Disita
-
Usut Kasus Korupsi Haji di BPKH, KPK Mengaku Miris: Makanan-Tempat Istirahat Jemaah jadi Bancakan?
-
Jember Kota Cerutu Indonesia: Warisan yang Menembus Pasar Global
-
Dissenting Opinion, Hakim Ketua Sebut Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi Harusnya Divonis Lepas
-
Komisi III 'Spill' Revisi UU Polri yang Bakal Dibahas: Akan Atur Perpanjangan Batas Usia Pensiun
-
Jadi Pondasi Ekonomi Daerah, Pemprov Jateng Beri Perhatian Penuh pada UMKM
-
Buntut Demo Agustus Ricuh, 21 Aktivis Didakwa Hina Presiden dan Lawan Aparat