Suara.com - Indonesia pernah berusaha memperkenalkan pendekatan Islam moderat kepada Taliban, sebelum kelompok fundamentalis tersebut kembali menguasai Afganistan serta memicu ketakutan terhadap represifitas pemerintah.
Karenanya, sejumlah analis menilai upaya 'ekspor' Islam moderat dari ormas-ormas Islam Indonesia kepada Taliban dinilai hanya memiliki keberhasilan yang tidak signifikan.
Dalam tiga tahun terakhir, Indonesia melalui organisasi kemasyarakatan Islam dan Majelis Ulama Indonesia secara aktif terlibat dalam proses bina damai (peace-building) di Afghanistan, walaupun bukan sebagai aktor utama.
Salah satu bentuk upaya tersebut adalah mengundang perwakilan Taliban dan pemerintah Afghanistan ke Jakarta pada 2019.
Dalam pertemuan itu, perwakilan Taliban, Mullah Abdul Ghanis Baradar berdiskusi dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, pimpinan Nahdlatul Ulama (NU), dan Majelis Ulama Indonesia tentang moderasi beragama.
Sekjen PBNU, Helmy Faishal Zaini menceritakan bagaimana waktu itu ketua NU Said Aqil Siradj memaparkan Indonesia sebagai contoh masyarakat Muslim yang tidak menghadap-hadapkan agama dengan negara, agama dengan budaya.
"Nilai agama melebur menjadi spirit kebangsaan, kemudian terjadi akulturasi budaya antara agama dengan budaya lokal, melahirkan suatu tradisi dan kearifan-kearifan lokal," kata Helmy kepada BBC News Indonesia.
Helmy mengatakan bahwa NU, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, terus berusaha melakukan diplomasi politik luar negeri untuk mengajak semua pihak di Afghanistan membangun spirit moderasi dalam beragama.
Usaha diplomasi tersebut bertujuan mencegah kekerasan dalam praktik pemerintahan di Afghanistan serta memastikan perlindungan terhadap hak asasi manusia, terutama pada perempuan dan anak-anak.
Baca Juga: Taliban Kembali Berkuasa, Akankah Afganistan Jadi Ladang Teroris?
"Itulah prinsip Islam wasathiyyah di mana menjadikan nilai agama sebagai sumber kebaikan untuk senantiasa, pertama membangun perdamaian, kedua membangun ta'awun atau kerja sama untuk tolong-menolong, dan ketiga membangun peradaban yang unggul."
Helmy menjelaskan bahwa terdapat organisasi NU di Afghanistan, yang didirikan oleh orang asli sana. Melalui jalur itulah para ulama NU akan menyampaikan pesan kepada tokoh-tokoh kunci Taliban bahwa mereka bisa menjadi musuh bersama dunia jika membangun pemerintahan yang otoriter dan brutal.
Kontribusi lain Indonesia untuk menyelesaikan konflik di Afghanistan adalah menjadi tuan rumah konferensi trilateral ulama Indonesia, Afghanistan, dan Pakistan pada 2018.
Konferensi yang diadakan di Istana Kepresidenan Bogor itu menghasilkan "Deklarasi Bogor" yang berisi sejumlah poin penting untuk perdamaian dan resolusi konflik di Afghanistan dan negara-negara Islam lainnya. Namun, konferensi tersebut tidak dihadiri perwakilan Taliban.
Pemerintah Indonesia juga pernah mengundang puluhan anak muda Afghanistan untuk menetap di salah satu pesantren di Jawa Tengah.
Wachid Ridwan, pengurus Lembaga Luar Negeri Pengurus Pusat Muhamadiyyah, berpendapat bahwa walaupun berbagai upaya diplomasi tersebut patut diapresiasi, dampaknya tidak signifikan dalam mendorong Taliban untuk menjadi lebih moderat.
Ia mempertanyakan sejauh mana perwakilan Taliban dapat kembali ke Afghanistan dan menerapkan gagasan tentang Islam wasathiyah, toleransi, dan kebhinekaan.
"Dampaknya mungkin hanya pada satu-dua orang saja kali, dan itu mungkin tidak betul-betul mengakar ke sebuah sistem," kata Wachid kepada BBC News Indonesia.
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Islam Internasional Indonesia, Syafiq Hakim, juga pesimis bahwa Indonesia dapat memberikan sumbangan pada penyelesaian masalah Afghanistan terutama setelah negara itu kembali dikuasai oleh Taliban.
Menurut Syafiq, meskipun selama ini ormas Islam seperti NU menjalin kontak dengan Taliban, namun sokongan Indonesia lebih kepada pemerintahan Afghanistan yang berkuasa saat itu.
"Karena itu, ketika Taliban ini berkuasa kembali, apakah kita bisa berbicara dengan dia sementara kita dulu lebih mendukung kepada pemerintahan yang digantikan oleh Taliban ini. Ini persoalan yang krusial bagi kita," kata Syafiq.
Selain itu fakta bahwa pemerintah Indonesia mengevakuasi seluruh diplomatnya dari Afghanistan merupakan pertanda bahwa posisi Indonesia tidak dipertimbangkan, menurut Syafiq. "Kalau kita punya posisi kan seharusnya kita diminta pemerintah Taliban untuk tinggal di sana."
Syafiq berpendapat, hambatan lain dalam diplomasi dengan Taliban ialah perbedaan budaya dan tidak adanya tokoh ulama Indonesia yang dihormati oleh kelompok itu.
"Kelompok-kelompok yang bisa berperan adalah, selain di Pakistan, juga negara-negara kaya di Timur Tengah seperti Qatar dan Arab Saudi," kata Syafiq.
Tunjukkan sisi lain Islam
Pengamat Timur Tengah dari Universitas Katolik Parahyangan, Kishino Bawono, saat ini jalur yang bisa ditempuh Indonesia untuk membantu menyelesaikan konflik di Afghanistan ialah berupaya menjembatani perdamaian antara Taliban dengan kelompok-kelompok non-Taliban.
Namun, hal itu bergantung pada sejauh mana keinginan pemerintah Indonesia saat ini maupun yang akan datang. Menurut Kishino, pemerintah Indonesia masih punya PR yang cukup banyak terkait proses deradikalisasi kelompok-kelompok fundamentalis di Indonesia.
Ketika usaha dialog dengan Taliban menemui keberhasilan terbatas, hal yang dapat dilakukan Indonesia adalah menunjukkan "wajah Islam yang lain" kepada dunia, kata pakar hubungan internasional dari Universitas Katolik Parahyangan Kishino Bawono.
"Jika Taliban dianggap sebagai gerakan radikal, fundamentalis di dalam Islam, maka Indonesia dapat menunjukkan sisi Islam yang lebih moderat dan progresif sehingga tidak ada dominasi narasi bahwa Islam sama dengan Taliban," ujarnya kepada BBC News Indonesia.
Berita Terkait
-
Taliban Kembali Berkuasa, Akankah Afganistan Jadi Ladang Teroris?
-
Viral Video Diduga Gadis Afghanistan Sesenggukan Meminta Tolong ke Tentara Amerika
-
Demo Imigran Afghanistan di Jakarta Dibubarkan Polisi, 10 Anak Diamankan
-
Demo di UNHCR Dibubarkan Paksa, 3 Imigran Afghanistan Diseret ke Mobil Polisi
-
Fadli Zon Puji Wawancara Petinggi Taliban: Intelek, Sangat Terukur dan Beradab
Terpopuler
- Terungkap! Kronologi Perampokan dan Penculikan Istri Pegawai Pajak, Pelaku Pakai HP Korban
- 5 Rekomendasi Motor yang Bisa Bawa Galon untuk Hidup Mandiri Sehari-hari
- 5 Bedak Padat yang Bagus dan Tahan Lama, Cocok untuk Kulit Berminyak
- 5 Parfum Aroma Sabun Mandi untuk Pekerja Kantoran, Beri Kesan Segar dan Bersih yang Tahan Lama
- 7 Pilihan Sepatu Lokal Selevel Hoka untuk Lari dan Bergaya, Mulai Rp300 Ribuan
Pilihan
-
Jenderal TNI Muncul di Tengah Konflik Lahan Jusuf Kalla vs GMTD, Apa Perannya?
-
Geger Keraton Solo: Putra PB XIII Dinobatkan Mendadak Jadi PB XIV, Berujung Walkout dan Keributan
-
Cetak 33 Gol dari 26 Laga, Pemain Keturunan Indonesia Ini Siap Bela Garuda
-
Jawaban GoTo Usai Beredar Usul Patrick Walujo Diganti
-
Waduh, Rupiah Jadi Paling Lemah di Asia Lawan Dolar Amerika Serikat
Terkini
-
Usai Protes Pedagang dan Mediasi Gubernur DKI, Tarif Kios Pasar Pramuka Resmi Diturunkan
-
Hadiri Rakornas DTSEN Bareng Kemensos, Seskab Teddy Bawa Pesan Ini dari Presiden Prabowo
-
DPRD DKI Usul Kembangkan Transportasi Laut, Impikan Kepulauan Seribu Jadi Maldives-nya Jakarta
-
Tak Ditahan Usai Diperiksa 9 Jam, Roy Suryo Pekik Takbir di Polda Metro Jaya
-
Pakar Hukum Bivitri Susanti Sebut Penetapan Pahlawan Soeharto Cacat Prosedur
-
Usut Korupsi Dana CSR BI, KPK Periksa Istri Polisi untuk Lancak Aset Tersangka Anggota DPR
-
Demi Generasi Digital Sehat: Fraksi Nasdem Dukung Penuh RUU Perlindungan Siber, Apa Isinya?
-
Kasus TBC di Jakarta Capai 49 Ribu, Wamenkes: Kematian Akibat TBC Lebih Tinggi dari Covid-19
-
Mensesneg Klarifikasi: Game Online Tidak Akan Dilarang Total, Ini Faktanya!
-
Berantas TBC Lintas Sektor, Pemerintah Libatkan TNI-Polri Lewat Revisi Perpres