Suara.com - Sebuah survei global terbaru memperlihatkan kecemasan tinggi yang dialami kaum muda tentang perubahan iklim. Dalam survei berbeda, 89 persen warga Indonesia mengakui sangat khawatir terhadap nasib generasi mendatang.
Nyaris 60 persen anak muda yang disurvei berkata mereka merasa khawatir atau sangat khawatir.
Lebih dari 45 persen dari responden juga mengatakan perasaan tentang keadaan iklim ini memengaruhi kehidupan sehari-hari mereka.
Tiga per empat dari seluruh responden mengaku masa depan tampak menakutkan. Lebih dari separuh (56 persen) mengatakan umat manusia tengah menghadapi kehancuran.
Dua per tiga dilaporkan merasa sedih, takut, dan cemas. Banyak yang merasa khawatir, marah, putus asa, sedih, dan malu — namun juga penuh harap.
Seorang responden berusia 16 tahun berkata: "Ini berbeda untuk anak-anak muda — bagi kami, kerusakan planet adalah hal yang personal."
Survei yang melibatkan 10 negara ini dipimpin oleh Universitas Bath dan bekerjasama dengan lima universitas lain.
Penelitian didanai oleh kelompok kampanye dan riset Avaaz. Survei ini disebut-sebut sebagai yang terbesar, dengan responden sebanyak 10.000 orang di usia antara 16-25 tahun.
Sebagian besar responden mangaku mereka merasa tak punya masa depan, umat manusia di ambang kehancuran, dan pemerintah gagal merespons ancaman iklim dengan baik.
Baca Juga: Solusi Perubahan Iklim Bersama Mobil Listrik, KBRI Seoul Andalkan Hyundai IONIQ 5
Banyak pula yang merasa dikhianati, diabaikan, dan tidak dipedulikan oleh para politisi dan orang dewasa.
Para penulis survei mengatakan anak-anak muda ini merasa bingung dengan kegagalan tindakan para pemerintah. Mereka berkata, ketakutan atas lingkungan "memengaruhi banyak sekali anak muda".
Stress kronis karena perubahan iklim, menurut mereka, meningkatkan risiko permasalahan mental dan fisik.
Dan jika keadaan cuaca semakin memburuk, dampak terhadap kesehatan mental akan mengikuti.
"Saya cemas, takut rumah kebanjiran"
Dalam survei berbeda yang diadakan di Indonesia, sebanyak 89 persen responden mengatakan sangat khawatir akan dampak perubahan iklim.
Ada 85 persen orang yang mengatakan bahwa isu iklim penting bagi kehidupan mereka, dan bisa memberi dampak buruk secara langsung pada diri mereka sendiri (66 persen) dan generasi mendatang (74 persen).
Mereka yang merasa khawatir rata-rata tinggal di area yang rawan akan bencana alam, seperti Jakarta, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan.
Meski begitu, hanya 23 persen yang meyakini manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas perubahan iklim.
Sisanya percaya bahwa hal-hal lain memberi pengaruh pada terjadinya bencana alam, seperti 'hukuman dari Tuhan' (44 persen), 'peringatan Tuhan' (24 persen), dan penggunaan bahan bakar fosil di Indonesia (21 persen).
Serupa dengan survei global Avaaz, mereka yang berada di Indonesia juga mengaku perubahan iklim dan bencana alam telah memberi dampak negatif pada kehidupan.
Sebanyak 54 persen mengatakan perubahan iklim memengaruhi kesehatan fisik, dan 41 persen menuturkan adanya tekanan emosional dan kecemasan akan nasib diri dan keluarga.
"Saat hujan, saya merasa sangat cemas, takut kalau rumah akan kebanjiran," kata seorang responden.
Hanya 76 persen mengatakan pemerintah Indonesia harus bertindak untuk membuat perubahan.
Survei Indonesians & Climate Change ini diadakan oleh Purpose Climate Lab, dengan 2.073 responden dari 27 wilayah perkotaan dan pedesaan di Indonesia secara daring dan luring.
Survei global ini juga menyebut bahwa anak-anak muda merasa sangat terdampak akan ketakutan soal iklim secara psikologis, sosial, dan fisik.
Penulis utama survei ini, Caroline Hickman dari Universitas Bath, berkata kepada Roger Harrabin dari BBC News: "Ini menunjukkan bahwa kecemasan akan alam bukan hanya karena kerusakan lingkungan saja.
"Tapi tak bisa dihindari, sangat berkaitan dengan ketiadaan tindakan para pemerintah tentang perubahan iklim.
"Anak-anak muda merasa diabaikan dan tidak dipedulikan oleh pemerintah.
"Kami tidak hanya mengukur bagaimana perasaan mereka, namun apa pemikiran mereka. Empat dari 10 orang merasa ragu untuk memiliki anak.
"Para pemerintah harus mendengarkan ilmu pengetahun dan tidak mengabaikan suara anak-anak muda yang merasa cemas."
Para penulis laporan yang akan diterbitkan di jurnal Lancet Planetary Health ini mengatakan, tingkat kecemasan terlihat lebih tinggi di negara-negara dengan pemerintahan yang membuat aturan lemah tentang perubahan iklim.
Kekhawatiran paling besar berasal dari belahan Bumi di bagian selatan. Negara terkaya dengan responden yang memiliki tingkat kecemasan tertinggi adalah Portugal, yang beberapa tahun terakhir mengalami beberapa kali kebakaran hutan.
Tom Burke dari lembaga pemikir e3g berkata kepada BBC News: "Sangat rasional bagi anak-anak muda untuk merasa khawatir.
"Mereka tidak hanya membaca tentang perubahan iklim melalui media — namun merasakannya terjadi di depan mata."
Para penulis laporan juga meyakini bahwa kegagalan para pemerintah dalam merespon perubahan iklim bisa disebut sebagai kejahatan di bawah peraturan tentang hak asasi manusia.
Enam anak muda di Portugal telah menyeret pemerintah mereka ke pengadilan dengan tuntutan pelanggaran HAM.
Survei ini dilakukan oleh lembaga analisis data Kantar di Inggris, Finlandia, Prancis, AS, Australia, Portugal, Brasil, India, Filipina, dan Nigeria.
Saat ini, penelitian tersebut sedang dalam tinjauan sejawat dengan akses yang terbuka.
Para peneliti juga mengaku merasa terkejut dengan skala kecemasan para responden.
Salah seorang di antaranya, misalnya, berkata, "Saya tidak ingin mati, tapi saya juga tidak ingin hidup di dunia yang tidak peduli pada anak-anak dan hewan."
Anda mungkin tertarik menonton video ini:
Tag
Berita Terkait
-
Solusi Perubahan Iklim Bersama Mobil Listrik, KBRI Seoul Andalkan Hyundai IONIQ 5
-
Perubahan Iklim Kian Serius, Gus Muhaimin Kampanyekan Politik Hijau
-
Tim Medis Coba Ungkap Misteri Kematian Massal Burung Pipit di Balai Kota Cirebon
-
Sri Mulyani Usul Ada Tarif Pajak Karbon Rp 75 per Kilogram
-
Perubahan Iklim: Bencana terkait Cuaca Naik Tajam dalam 5 Dekade Terakhir
Terpopuler
- Feri Amsari Singgung Pendidikan Gibran di Australia: Ijazah atau Cuma Sertifikat Bimbel?
- 7 Mobil Kecil Matic Murah untuk Keluarga Baru, Irit dan Perawatan Mudah
- Gugat Cerai Hamish Daud? 6 Fakta Mengejutkan di Kabar Perceraian Raisa
- 21 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 22 Oktober 2025, Dapatkan 1.500 Gems dan Player 110-113 Sekarang
- Pria Protes Beli Mie Instan Sekardus Tak Ada Bumbu Cabai, Respons Indomie Bikin Ngakak!
Pilihan
-
Superkomputer Prediksi Arsenal Juara Liga Champions 2025, Siapa Lawan di Final?
-
Bayar Hacker untuk Tes Sistem Pajak Coretax, Menkeu Purbaya: Programmer-nya Baru Lulus SMA
-
Perbandingan Spesifikasi HONOR Pad X7 vs Redmi Pad SE 8.7, Duel Tablet Murah Rp 1 Jutaan
-
Di GJAW 2025 Toyota Akan Luncurkan Mobil Hybrid Paling Ditunggu, Veloz?
-
Heboh Kasus Ponpes Ditagih PBB hingga Diancam Garis Polisi, Menkeu Purbaya Bakal Lakukan Ini
Terkini
-
Jejak Korupsi Riza Chalid Sampai ke Bankir, Kejagung Periksa 7 Saksi Maraton
-
'Tidak Dikunci, tapi Juga Tidak Dipermudah,' Dilema MPR Sikapi Wacana Amandemen UUD 1945
-
Lisa Mariana Sumringah Tak Ditahan Polisi Usai Diperiksa Sebagai Tersangka: Aku Bisa Beraktivitas!
-
Menhut Klaim Karhutla Turun Signifikan di Tahun Pertama Pemerintahan Prabowo, Ini Kuncinya
-
'Apa Hebatnya Soeharto?' Sentilan Keras Politisi PDIP Soal Pemberian Gelar Pahlawan
-
Efek Jera Tak Mempan, DKI Jakarta Pilih 'Malu-maluin' Pembakar Sampah di Medsos
-
Menas Erwin Diduga 'Sunat' Uang Suap, Dipakai untuk Beli Rumah Pembalap Faryd Sungkar
-
RDF Plant Rorotan, Solusi Pengelolaan Sampah Ramah Lingkungan
-
KPK Cecar Eks Dirjen Perkebunan Kementan Soal Pengadaan Asam Semut
-
Buka Lahan Ilegal di Kawasan Konservasi Hutan, Wanita Ini Terancam 11 Tahun Bui