Suara.com - Donya menangis terisak di dalam mobilnya di jalanan sibuk ibu kota Tehran yang dipadati mobil dan riuh suara klakson.
Ia takut kalau dirinya suatu hari ini akan dibunuh.
Donya adalah salah satu dari puluhan warga Iran yang memblokir jalanan dengan mobil di tengah berlangsungnya unjuk rasa melawan pemerintah.
Kelompok tersebut mengorbankan keselamatan hidup mereka demi menutup akses aparat keamanan agar tak bisa menghampiri para pengunjuk rasa di kawasan dekat sebuah universitas.
"Mereka membunuh mahasiswa kami," kata Donya sambil menangis dalam rekaman suaranya yang dikirimkan kepada ABC.
"Saya telah mengemudi ke sana dan jalan raya dipenuhi mobil, semuanya menekan klakson, berusaha menghentikan mobil polisi."
"Saya tidak tahu ... kita hanya ingin menolong tapi mereka terus membunuh."
Membicarakan kejadian ini kepada media asing sangatlah berbahaya bagi Donya, yang minta namanya disamarkan.
Warga Iran yang pernah bicara ke media sebelumnya ada yang ditahan, dihukum, atau dibunuh oleh aparat militer pemerintah.
Baca Juga: Buntut Kematian Mahsa Amini, Aktris Iran Lepas Hijab hingga Tampil Telanjang untuk Beri Dukungan
Selama beberapa bulan terakhir, ribuan warga Iran, yang kebanyakan perempuan, sudah melakukan unjuk rasa dengan meneriakkan slogan anti-pemerintah dalam pemberontakan yang disebut terparah yang pernah terjadi di sana.
Aksi ini dimulai pada 16 September lalu, setelah perempuan Iran Mahsa Amini yang berusia 22 tahun meninggal dunia, usai ditangkap polisi karena tidak memenuhi standar berhijab.
Para perempuan sudah berunjuk rasa dengan melepaskan jilbab mereka dan merekam diri sendiri memotong rambutnya.
Unjuk rasa yang terus terjadi ini mendorong pemerintah untuk memperkuat aparat keamanannya.
Tapi perempuan seperti Donya mengatakan tidak akan berhenti melakukan unjuk rasa hingga negaranya sudah berubah atau revolusi terjadi.
Darah sebagai harga sebuah kebebasan
"Revolusi feminisme" yang disebutkan Donya memberinya rasa percayaan diri untuk mengunjungi kafe tanpa harus mengenakan jilbab.
Tapi ia pun sadar jika dirinya dihadapkan dengan risiko kematian setiap kali keluar rumah.
"Saya takut dengan nasib saya dan setiap kali keluar rumah tidak pernah tahu apakah akan kembali dengan selamat atau tidak," kata Donya.
"Harga kebebasan adalah darah kita sendiri."
Gahst-e-Ershad, istilah untuk polisi moralitas di Iran, bertugas untuk mengawasi aturan berpakaian yang ketat. Para perempuan di Iran di atas usia pubertas harus mengenakan penutup kepala dan pakaian longgar di depan umum.
Setiap kali keluar rumah, Donya harus mengendap-ngendap sehingga tidak ditangkap mereka.
"Rasanya seperti berada di zona perang. Kita tidak tahu kapan unjuk rasa akan terjadi dan jika pun kita ikut-ikutan, tetap harus siap dengan apapun yang akan terjadi," katanya.
"Saya membawa baju tambahan di dalam tas karena mereka [penjaga] menggunakan bola cat saat unjuk rasa, sehingga mereka bisa menandai dan menangkap kita."
Ia juga selalu berhati-hati dan tidak membawa ponselnya saat meninggalkan rumah.
"Kalau mereka menangkap kita, dan melihat ponsel kita, mereka akan menggeledah isinya untuk melihat apakah kita pernah mengunggah hal buruk tentang mereka," katanya.
"Mereka bisa menembak kita kalau memakai ponsel saat unjuk rasa."
Pernah ditangkap
Pada pukul 21:00 setiap harinya, warga di sekitar rumah Donya akan mematikan lampu rumah mereka dan meneriakan "matilah ditaktor" atau "perempuan, hidup, kebebasan."
"Mereka berdiri di belakang jendela yang terbuka sehingga kita bisa mendengar mereka dari luar rumah," kata Donya.
"Tapi mereka mematikan lampu sehingga tidak ada yang tahu suara itu datang dari rumah yang mana."
Teriakan itu menggelegar di sepanjang jalan dan menjadi simbol solidaritas feminisme.
"Ini menciptakan perasaan jika kita tidak sendiri dan [rezim] ini harus membayar atas apa yang sudah mereka lakukan pada negara ini."
Seperti Mahsa Amini, banyak perempuan lainnya di Iran, termasuk Donya pernah ditangkap polisi moralitas karena tidak mengenakan pakaian "layak".
ABC tidak mendeskripsikan detail dari kasus tersebut untuk melindungi identitas Donya.
"Mereka melemparkan saya dalam van, ini sangat menakutkan, kita bisa saja terbunuh dengan mudahnya," katanya.
"Waktu saya ditangkap, semua orang berteriak dan menangis. Kadang saya masih mimpi soal itu."
Donya hanya bisa meminta maaf saat ditangkap, namun tetap menerima pertanyaan 'apa motif Anda?'
"Pilihan jawabannya banyak, salah satunya 'Saya dibodohi agen berita di luar negara Iran'," katanya.
Komite yang melindungi wartawan di Iran mengatakan setidaknya 35 wartawan sudah ditangkap karena meliput unjuk rasa tersebut.
Iran 'hidup dengan harapan dan mimpi'
Kepala Negara Iran Ayatollah Ali Khamenei melarang apa yang disebutnya sebagai "pemberontakan" dan menuding Amerika dan Israel sebagai perencana di baliknya.
Ia mengatakan mereka yang menggelar unjuk rasa untuk "menyabotir" negara pantas mendapatkan "hukuman berat".
Donya sudah beberapa kali menangis ketika diwawancara ABC, tapi ia berharap akan ada revolusi di negaranya.
"Warga sudah tidak mau menaati lagi, orang-orang bukanlah 'warga negara baik' kalau sudah di dalam kediktatoran," katanya.
"Kita hidup dengan harapan dan mimpi."
"Kalau kita menang, kemenangan itu menjadi milik semua perempuan."
Diproduksi dan dirangkum oleh Natasya Salim dari laporan dalam bahasa Inggris
Terpopuler
- Pecah Bisu Setelah Satu Dekade, Ayu Ting Ting Bongkar Hubungannya dengan Enji Baskoro
- Profil dan Rekam Jejak Alimin Ribut Sujono, Pernah Vonis Mati Sambo dan Kini Gagal Jadi Hakim Agung
- Core Indonesia Sebut Kebijakan Menkeu Purbaya Suntik Rp200 Triliun Dinilai Salah Diagnosis
- Ditunjuk Prabowo Reformasi Polri: Sosok Ahmad Dofiri Jenderal Rp7 Miliar Berani Pecat Ferdy Sambo!
- Sosok Kompol Anggraini, Polwan Diduga Jadi 'Badai' di Karier Irjen Krishna Murti, Siapa Dia?
Pilihan
-
3 Catatan Menarik Liverpool Tumbangkan Everton: Start Sempurna The Reds
-
Dari Baper Sampai Teriak Bareng: 10+ Tontonan Netflix Buat Quality Time Makin Lengket
-
Menkeu Purbaya Janji Lindungi Industri Rokok Lokal, Mau Evaluasi Cukai Hingga Berantas Rokok China
-
Usai Dicopot dari Kepala PCO, Danantara Tunjuk Hasan Nasbi jadi Komisaris Pertamina
-
4 Rekomendasi HP Murah Rp 2 Jutaan Baterai Besar Minimal 6000 mAh, Terbaik September 2025
Terkini
-
Agus Suparmanto Dinilai Bisa Jadi Kunci Perubahan PPP, Dukungan Keluarga Mbah Moen Jadi Modal
-
Longsor Freeport: 2 Pekerja Berhasil Ditemukan , 5 Orang Masih dalam Pencarian
-
Hitung-hitungan Jelang Muktamar X PPP: Mardiono Disebut Masih Kuat dari Agus Suparmanto
-
Jokowi Beri Arahan 'Prabowo-Gibran 2 Periode', Relawan Prabowo: Tergantung Masyarakat Memilih
-
DPR Desak Penghentian Sementara PSN Kebun Tebu Merauke: Hak Adat Tak Boleh Dikorbankan
-
Usai Pecat Anggota DPRD Gorontalo, PDIP Beri Pesan: Jangan Cederai Hati Rakyat!
-
Mahasiswa Green Leadership Academy Tanam Semangat Baru di Tabung Harmoni Hijau
-
Profil Alvin Akawijaya Putra, Bupati Buton Kontroversial yang Hilang Sebulan saat Dicari Mahasiswa
-
Mendagri Tito Sebut Bakal Ada 806 SPPG Baru: Lahannya Sudah Siap
-
'Warga Peduli Warga', 98 Resolution Network Bagikan Seribu Sembako untuk Ojol Jakarta