Suara.com - GKR Bendara atau Gusti Raden Ajeng Nurastuti Wijareni menjadi sorotan saat berbaur dengan masyarakat. Ia pun seringkali tak terlihat sebagai putri seoran sultan atau raja.
Berpendidikan tinggi, lincah berorganisasi, gigih berbisnis, cermat mengelola kegiatan keraton, dan sepenuh kasih mengurus keluarga. Demikianlah karakter putri keraton pada era milenial ini.
Diketahui Kelima putri Sri Sultan Hamengku Buwono X memiliki banyak sekali urusan di dalam dan di luar tembok keraton. GKR Bendara, sang putri bungsu tak terkecuali.
Setelah menikah dengan Achmad Ubaidillah (kini bergelar Kanjeng Pangeran Haryo Yudanegara) pada tahun 2011, ia secara resmi menjabat sebagai Penghageng Nityabudaya, divisi keraton yang berwenang atas museum dan kearsipan.
Menyadur dari situs resmi kratonjogja.id, GKR Bendara mengaku bandel semasa kanak-kanak dan nilai rapornya pun ‘berwarna-warni’.
Menjadi anggota keluarga terkecil, ia suka mengadu kepada orangtua bila diisengi kakak-kakaknya. Namun sebenarnya hubungan mereka sangat erat.
“(Sebagai anak bungsu) enaknya saya tidak perlu nyetir mobil, saya tidak perlu mengeluarkan ongkos makan karena saya punya kakak-kakak yang nraktir saya. Tidak enaknya, kebanyakan acara yang tidak diinginkan (oleh para kakak) jatuh ke saya, yang pintar basa-basi katanya,” katanya dalam keterangan tertulis yang dikutip pada Kamis (1/2/2024).
Aktivitas Putri Keraton
Di luar keraton, jabatannya cukup banyak, salah satunya adalah Wakil Ketua 3 KONI. Ia juga mengurusi usaha kecil menengah di bawah BKKBN serta usaha menengah-besar di bawah ICSB. Selain itu ia mengetuai PUTRI (Perhimpunan Pengusaha Taman Rekreasi Indonesia) dan duduk dalam Dewan Pertimbangan Tourism Board.
Baca Juga: Putri Bungsu Sultan Hamengkubuwono X Naik Becak, Benar-Benar Definisi 'The Real Sultan'
Pariwisata memang menarik hatinya sejak mula. Setelah menamatkan pendidikan menengah di Singapura, ia memutuskan kuliah di jurusan International Hospitality and Tourism Management di IMI Switzerland.
Ia memang meminati bidang-bidang praktis. Seperti mahasiswa lain, ia diwajibkan magang di dapur, restoran, dan hotel. Ia mengupas berkarung-karung kentang dan wortel. Saat bekerja di hotel, ia harus bangun jam empat pagi, lalu membersihkan kamar mandi hingga menyiapkan sarapan. Namun, ia menikmatinya.
“Saya bawa enjoy karena saya paham dengan itu saya memiliki pengalaman. Saya sadar tidak mungkin ada orang yang mau memperkerjakan saya seperti itu di Indonesia dengan status saya.”
Ia mematahkan anggapan bahwa putri keraton ‘tinggal duduk manis’. “Nggak, sejak berusia 17 tahun saya sudah kerja.” Demikian tutur putri Raja Yogyakarta yang pernah bekerja paruh waktu di perusahaan retail di Singapura semasa menamatkan bangku SMA.
Kuliah pascasarjana ia ambil di Edinburgh, Skotlandia, dengan konsentrasi warisan budaya. Padahal ia mengaku dulunya tak begitu menyukai pelajaran yang mengharuskan banyak membaca, termasuk sejarah.
“Tapi saat S2, saya terjerumus di (jurusan) heritage tourism.”
Tak pernah pula terlintas ia akan menyukai museum. “Mungkin karena sejarah ini berkaitan dengan saya, saya sangat berminat ke situ. Sekarang saya dituntut untuk membaca tentang sejarah saya, leluhur saya.”
Ia menganggapnya sebagai kisah lucu dalam hidup, “Tidak terpikirkan, tapi ternyata terarah.”
Tertempa Pengalaman
Pengalaman membuahkan kegigihan pada sosok ibu dua anak ini, seperti terlihat pada upayanya merevitalisasi museum keraton. “Yang pasti lebih mudah membangun perusahaan dari nol daripada memajukan sesuatu yang sudah berjalan tiga puluh tahun. Sangat susah mengubah cara orang bekerja dan mindset-nya.” Namun menurutnya yang terpenting adalah memberi contoh hingga mereka paham.
Sesuai keinginan Ngarsa Dalem, museum keraton diharapkan menjangkau kaum milenial dan pelajar sehingga mereka tertarik belajar sejarah.
“Jadi saya mengimplementasikan teknologi di dalam museum.”
Ia mengakui ini membutuhkan waktu karena harus mengubah kebiasaan lama.
Buah lainnya adalah keuletan dalam mengelola bisnis. Bidang wirausaha ia pilih secara sadar karena sebagai anggota keluarga keraton waktunya dituntut fleksibel untuk menghadiri upacara-upacara keraton.
Sama seperti pengusaha pada umumnya, Gusti Bendara mengawali bisnis dari nol, mulai dari berjualan batik dari pameran ke pameran. Ia mengalami jatuh bangun dan beberapa usaha yang dibangunnya gagal.
Namun, kini ia memetik sukses dari bisnis di bidang skincare, tempat wisata, dan merchandise.
Manajemen yang baik harus ia terapkan agar ia bisa membagi waktu antara keraton, keluarga, bisnis, dan organisasi. Apalagi karena ia lebih banyak berada di Jakarta bersama suaminya yang bekerja sebagai ASN di kota tersebut.
“Ada beberapa usaha saya yang hanya saya pantau, saya plotkan orang kepercayaan saya di situ, saya memantau secara berkala.”
Bila ada sisa waktu ia lebih suka menghabiskannya di rumah, bermain bersama anak-anak. Ia mengaku lebih condong sebagai orang rumahan.
Rumah Kebudayaan
Hidup lekat dengan tradisi sejak belia, GKR Bendara tak serta merta menyadari keistimewaan yang dimilikinya.
“Saya melihat itu sebagai acara keluarga biasa saja.”
Baru setelah memulai sekolah di luar negeri, ia merindukan suasana khas itu, seperti upacara sungkeman dan pertunjukan tari.
“Mulai kuliah saya benar-benar memahami kehidupan saya berbeda. Saya beruntung memiliki rumah yang dekat dengan kebudayaan jadi saya berusaha mengenalkannya pada anak-anak.”
Keistimewaan selalu datang dengan konsekuensi. GKR Bendara mengakui ada ketidaknyamanan ketika orang-orang berekspetasi terlalu tinggi.
Ia seolah dituntut untuk selalu tampil sempurna dan terus menerus ramah. Ia kadang dicegat warga untuk diminta berfoto meski sedang capek dan bila menolak, warga akan mengecapnya sombong.
Namun ia berusaha memegang pesan Ngarsa Dalem, sayangilah orang yang sayang padamu dan cintailah musuhmu. “Gampang diucapkan, susah dijalankan, tapi harus dicoba,” tuturnya.
Cita-cita untuk Museum Keraton
Kini visi terbesar GKR Bendara untuk keraton adalah merevitalisasi museum dengan standar tinggi. Selain itu ia ingin berbuat lebih untuk pariwisata Indonesia, termasuk mengembangkan pariwisata kebudayaan.
“Dimulai dari keraton. Semoga menasional.” Untuk generasi muda, ia berpesan, “Pelajari, dalami, resapi, dan ketahuilah lebih lanjut budayamu.”
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Motor Matic Paling Nyaman & Kuat Nanjak untuk Liburan Naik Gunung Berboncengan
- 4 Rekomendasi Cushion dengan Hasil Akhir Dewy, Diperkaya Skincare Infused
- 5 HP RAM 8 GB Memori 256 GB Harga Rp1 Jutaan, Terbaik untuk Pelajar dan Pekerja
- Diminta Selawat di Depan Jamaah Majelis Rasulullah, Ruben Onsu: Kaki Saya Gemetar
- Daftar Promo Alfamart Akhir Tahun 2025, Banyak yang Beli 2 Gratis 1
Pilihan
-
Cerita 1.000 UMKM Banyuasin: Dapat Modal, Kini Usaha Naik Kelas Berkat Bank Sumsel Babel
-
Seni Perang Unai Emery: Mengupas Transformasi Radikal Aston Villa
-
Senjakala di Molineux: Nestapa Wolves yang Menulis Ulang Rekor Terburuk Liga Inggris
-
Live Sore Ini! Sriwijaya FC vs PSMS Medan di Jakabaring
-
Strategi Ngawur atau Pasar yang Lesu? Mengurai Misteri Rp2.509 Triliun Kredit Nganggur
Terkini
-
Setuju Bantuan Asing Masuk, Hasto: Kemanusiaan Bersifat Universal
-
Rakernas PDIP Januari 2026, Hasto: Lingkungan dan Moratorium Hutan Akan Dibahas
-
Kasus Izin Tambang Nikel Konawe Utara Dihentikan, Ini Penjelasan KPK
-
John Kenedy Apresiasi Normalisasi Sungai di Wilayah Bencana, Pemulihan Bisa Lebih Cepat
-
Presiden Buruh: Tidak Masuk Akal Jika Biaya Hidup di Jakarta Lebih Rendah dari Kabupaten Bekasi
-
Kronologi dan 6 Fakta Tenggelamnya Kapal KM Putri Sakinah di Labuan Bajo yang Menjadi Sorotan Dunia
-
KPK Panggil Eks Sekdis Kabupaten Bekasi yang Sempat Diamankan Saat OTT
-
Pramono Anung: Kenaikan UMP Jakarta Tertinggi, Meski Nominalnya Kalah dari UMK Bekasi
-
Polri Kerahkan Tambahan 1.500 Personel, Perkuat Penanganan Bencana Sumatra
-
Cekcok Ponsel Berujung KDRT Brutal di Sawangan, Polisi Langsung Amankan Pelaku!