Suara.com - Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Salah satu aturan di PP tersebut adalah soal larangan penjualan produk tembakau dan rokok elektronik secara eceran.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), AB Widyanta menyoroti soal kebijakan tersebut. Dia menilai peraturan tentang kontrol atas peredaran produksi hasil tembakau ini tidak terlalu strategis.
"Kalau dari saya sendiri ada peta besar yang sebetulnya jauh lebih strategis untuk dilakukan oleh pemerintah ketimbang itu. Tapi pemerintah sepertinya hanya mau berpikir pendeknya saja, pengen berpikir instannya saja," kata AB saat dihubungi SuaraJogja.id, Rabu (31/7/2024).
Menurutnya kebijakan tersebut akan menemui rintangan ketika diterapkan. Pasalnya hal itu terlalu remeh temeh ketika kemudian dibuatkan kebijakan semacam Peraturan Pemerintah (PP).
"Tentang eceran rokok itu, bagaimana mungkin itu bisa dilakukan. Susah untuk implementasi, monitoring evaluasinya apalagi. Jadi bagaimana mungkin ketika rokok itu bisa dibuka packagingnya ya pasti batang-batang rokok itu pasti akan keluar dan pasti akan diecer terutama oleh si retailer atau bahkan oleh warung-warung kecil," ungkapnya.
Dia menilai peraturan itu tidak akan berdampak signifikan di masyarakat. Termasuk kaitannya dengan upaya pembatasan jumlah perokok di Indonesia.
"Itu kan sesuatu yang sangat kecil sekali, tidak akan punya signifikansi kalau berkaitan dengan pembatasan jumlah perokok di Indonesia, kan yang mau dites soal itu, tapi apakah itu akan bisa menjawab, ya enggak akan efektif," ujarnya.
Tidak dimungkiri memang PP tersebut bagian dari upaya pemerintah untuk membatasi jumlah perokok yang semakin bertambah besar di Indonesia. Namun, langkah itu dinilai tidak akan berjalan terlalu efektif.
Baca Juga: Tembakau Alternatif Jadi Jurus Pemerintah Jepang Turunkan Konsumsi Rokok
"Kita tidak bisa menjadikan PP ini sebagai sebuah pembahasan yang strategis, karena sebetulnya ini sangat kecil, bisa jadi juga sangat tidak signifikan untuk menghasilkan apa yang dibahas oleh pemerintah itu. Karena praktiknya ya susah sekali untuk kemudian tidak mengecer rokok itu," terangnya.
Dia mengambil contoh praktik penjualan rokok eceran di warung-warung kecil. Maupun kemudian untuk konteks Yogyakarta berkaitan erat dengan angkringan.
Kondisi ini tidak bisa dilepaskan pula dari daya beli konsumen atau masyarakat itu sendiri terhadap rokok eceran. Tidak semua warga kemudian mampu atau mau membeli satu bungkus rokok sekaligus.
"Sebetulnya itu malah tidak eksesif malahan, karena desain disesuaikan dengan daya beli. Kalau harus membeli lebih banyak ya itu pemborosan untuk konsumen sendiri kan. Jadi dia sudah membatasi sendiri untuk tidak mengonsumsi satu pack, tapi hanya ingin mengicip sebagian kecil disesuaikan dengan daya beli," ungkapnya.
Mengecer rokok, kata AB justru merupakan pilihan yang lebih pas dan praktis melihat dari dasar rasionalitas daya beli masyarakat. Sehingga memang keinginan pemerintah yang dituangkan dalam PP tersebut tidak cocok dengan realitas yang ada.
"Nanti kesulitan bagi Satpol PP, bea cukai, untuk melacak praktik semacam itu. Itu nanti kemudian kalau ada pelanggaran, ada hukumnya atau tidak. Kalau kemudian itu ada sanksi hukumnya, akan penuh penjara itu nanti, kan jadi tidak strategis kan, itu yang sebetulnya tidak paradigmatik. Jadi planningnya apa sesungguhnya enggak jelas," tandasnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Motor Matic Paling Nyaman Buat Touring di 2026: Badan Anti Pegal, Pas Buat Bapak-bapak
- Ingin Miliki Rumah Baru di Tahun Baru? Yuk, Cek BRI dengan KPR Suku Bunga Spesial 1,30%
- Sambut HUT ke-130 BRI: Nikmati Promo Hemat Hingga Rp1,3 Juta untuk Upgrade Gaya dan Hobi Cerdas Anda
- Meskipun Pensiun, Bisa Tetap Cuan dan Tenang Bersama BRIFINE
- 3 Pilihan Mobil Bekas Rp60 Jutaan: Irit BBM, Nyaman untuk Perjalanan Luar Kota
Pilihan
-
UPDATE Klasemen SEA Games 2025: Indonesia Selangkah Lagi Kunci Runner-up
-
6 Mobil Bekas Paling Cocok untuk Wanita: Lincah, Irit, dan Punya Bagasi Cukup
-
OJK Awasi Ketat Pembayaran Pinjol Dana Syariah Indonesia yang Gagal Bayar
-
Jejak Emas Rakyat Aceh Bagi RI: Patungan Beli Pesawat, Penghasil Devisa & Lahirnya Garuda Indonesia
-
Pabrik Toba Pulp Lestari Tutup Operasional dan Reaksi Keras Luhut Binsar Pandjaitan
Terkini
-
LPSK Ungkap Banyak Tantangan dalam Pelaksanaan Restitusi bagi Korban Tindak Pidana
-
Kick Off Program Quick Win Presiden Prabowo, Menteri Mukhtarudin Lepas 1.035 Pekerja Migran Terampil
-
Kejati Jakarta Tetapkan RAS Tersangka Kasus Klaim Fiktif BPJS Ketenagakerjaan Rp 21,73 Miliar
-
Said Didu Sebut Luhut Lebih Percaya Xi Jinping Ketimbang Prabowo, Sinyal Bahaya bagi Kedaulatan?
-
IACN Endus Bau Tak Sedap di Balik Pinjaman Bupati Nias Utara Rp75 Miliar ke Bank Sumut
-
Sesuai Arahan Prabowo, Ini Gebrakan Menteri Mukhtarudin di Puncak Perayaan Hari Migran Internasional
-
Usai OTT Jaksa di Banten yang Sudah Jadi Tersangka, KPK Serahkan Perkara ke Kejagung
-
Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang Terjaring OTT KPK, Langsung Dibawa ke Gedung Merah Putih
-
KPK Amankan 10 Orang saat Lakukan OTT di Bekasi, Siapa Saja?
-
Stop Tahan Ijazah! Ombudsman Paksa Sekolah di Sumbar Serahkan 3.327 Ijazah Siswa