Suara.com - Pemerintah di berbagai negara berlomba mempercepat adopsi kendaraan listrik (electric vehicle/EV) sebagai bagian dari strategi menurunkan emisi karbon.
Di tengah upaya ini, studi terbaru dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur pengisian daya ternyata lebih efektif dalam memperluas pasar kendaraan listrik dibandingkan pemberian insentif pajak.
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Marketing Science ini dilakukan oleh Cheng Chou, peneliti independen, dan Tim Derdenger, Associate Professor di Tepper School of Business, Carnegie Mellon University.
Studi berjudul "CCP Estimation of Dynamic Discrete Choice Demand Models with Segment Level Data and Continuous Unobserved Heterogeneity: Rethinking EV Subsidies vs. Infrastructure" ini mengkaji pola adopsi EV di negara bagian Washington selama periode 2016–2019.
Melalui analisis terhadap keputusan konsumen dalam memilih antara kendaraan listrik dan kendaraan berbahan bakar bensin, peneliti menemukan bahwa peningkatan jaringan pengisian daya, khususnya stasiun pengisian cepat Level 3, mampu mendorong adopsi EV secara signifikan.
Jika subsidi pajak dialihkan seluruhnya ke pembangunan infrastruktur pengisian daya, adopsi kendaraan listrik bisa meningkat hampir 26 persen, sementara emisi karbon dapat ditekan hingga 51 persen.
“Kontribusi utama studi kami adalah menunjukkan bahwa kebijakan infrastruktur dapat lebih berdampak daripada subsidi fiskal, khususnya dalam mendorong pasar kendaraan ramah lingkungan,” jelas Derdenger melansir EurekAlert!, Kamis (19/6/2025).
Mengubah Strategi Insentif
Saat ini, kebijakan insentif di AS berupa kredit pajak diberikan berdasarkan ukuran baterai kendaraan. Namun, studi tersebut menunjukkan bahwa insentif akan lebih efektif jika dikaitkan dengan jangkauan kendaraan, yakni seberapa jauh EV bisa menempuh perjalanan dalam sekali pengisian daya.
Baca Juga: 5 Mobil Listrik Indonesia 2025: Fast Charging, Kabin Ergonomis!
Dengan pendekatan ini, model simulasi para peneliti memproyeksikan bahwa penjualan EV bisa meningkat 1,5 persen di tiga wilayah metropolitan terbesar negara bagian Washington, sekaligus menurunkan emisi hingga 11 persen, tanpa menambah beban biaya pemerintah.
Relevansi untuk Indonesia
Temuan ini penting tidak hanya bagi Amerika Serikat, tetapi juga relevan untuk Indonesia yang tengah mendorong percepatan kendaraan listrik nasional. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai, pemerintah telah memberikan sejumlah insentif fiskal dan nonfiskal kepada produsen dan konsumen kendaraan listrik.
Namun, infrastruktur pengisian daya masih menjadi tantangan besar. Hingga awal 2024, data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan jumlah Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) di Indonesia baru mencapai sekitar 1.200 unit, jauh dari target pemerintah untuk membangun 3.000 SPKLU pada 2025.
Tak hanya dari sisi kebijakan, studi ini juga memperkenalkan metode analisis baru dalam estimasi permintaan konsumen. Metode yang disebut Conditional Choice Probability (CCP) ini memungkinkan pemodelan keputusan konsumen dengan mempertimbangkan perbedaan preferensi yang tidak teramati dan karakteristik produk yang beragam.
“Metode ini dapat diterapkan di berbagai sektor lain, tidak hanya kendaraan listrik, terutama dalam pasar dengan banyak pilihan produk yang kompleks,” ujar Cheng Chou, salah satu penulis studi.
Seiring meningkatnya kesadaran terhadap pentingnya menurunkan emisi gas rumah kaca, hasil penelitian ini memberikan arah baru bagi pembuat kebijakan. Membangun ekosistem kendaraan listrik tidak bisa hanya mengandalkan potongan pajak.
Infrastruktur yang andal, dapat diakses, dan tersebar luas justru menjadi kunci dalam mendorong perubahan perilaku konsumen menuju moda transportasi yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Berita Terkait
Terpopuler
- Pecah Bisu Setelah Satu Dekade, Ayu Ting Ting Bongkar Hubungannya dengan Enji Baskoro
- Profil dan Rekam Jejak Alimin Ribut Sujono, Pernah Vonis Mati Sambo dan Kini Gagal Jadi Hakim Agung
- Core Indonesia Sebut Kebijakan Menkeu Purbaya Suntik Rp200 Triliun Dinilai Salah Diagnosis
- Ditunjuk Prabowo Reformasi Polri: Sosok Ahmad Dofiri Jenderal Rp7 Miliar Berani Pecat Ferdy Sambo!
- Sosok Kompol Anggraini, Polwan Diduga Jadi 'Badai' di Karier Irjen Krishna Murti, Siapa Dia?
Pilihan
-
3 Catatan Menarik Liverpool Tumbangkan Everton: Start Sempurna The Reds
-
Dari Baper Sampai Teriak Bareng: 10+ Tontonan Netflix Buat Quality Time Makin Lengket
-
Menkeu Purbaya Janji Lindungi Industri Rokok Lokal, Mau Evaluasi Cukai Hingga Berantas Rokok China
-
Usai Dicopot dari Kepala PCO, Danantara Tunjuk Hasan Nasbi jadi Komisaris Pertamina
-
4 Rekomendasi HP Murah Rp 2 Jutaan Baterai Besar Minimal 6000 mAh, Terbaik September 2025
Terkini
-
Tragedi Freeport: 2 Pekerja Ditemukan Tewas, 5 Hilang di Tambang Maut Grasberg
-
Hitung-hitungan Jelang Muktamar X PPP: Mardiono Disebut Masih Kuat dari Agus Suparmanto
-
Jokowi Beri Arahan 'Prabowo-Gibran 2 Periode', Relawan Prabowo: Tergantung Masyarakat Memilih
-
DPR Desak Penghentian Sementara PSN Kebun Tebu Merauke: Hak Adat Tak Boleh Dikorbankan
-
Usai Pecat Anggota DPRD Gorontalo, PDIP Beri Pesan: Jangan Cederai Hati Rakyat!
-
Mahasiswa Green Leadership Academy Tanam Semangat Baru di Tabung Harmoni Hijau
-
Profil Alvin Akawijaya Putra, Bupati Buton Kontroversial yang Hilang Sebulan saat Dicari Mahasiswa
-
Mendagri Tito Sebut Bakal Ada 806 SPPG Baru: Lahannya Sudah Siap
-
'Warga Peduli Warga', 98 Resolution Network Bagikan Seribu Sembako untuk Ojol Jakarta
-
Perlindungan Pekerja: Menaker Ingatkan Pengemudi ODOL Pentingnya BPJS Ketenagakerjaan