Suara.com - Suasana nyaman di kafe atau restoran langganan Anda mungkin akan segera berubah menjadi lebih hening.
Akar masalahnya adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021, yang mewajibkan pembayaran royalti untuk setiap pemutaran lagu yang digunakan untuk kepentingan komersial.
Bagi para pengusaha, terutama di bidang kuliner, musik bukanlah sekadar hiasan, melainkan elemen strategis untuk menarik dan mempertahankan pelanggan.
Kini, strategi itu datang dengan biaya tambahan yang menimbulkan kekhawatiran.
Bahkan, diskusi mengenai aturan ini meluas hingga mencakup pemutaran suara alam seperti rekaman kicau burung yang juga disebut-sebut dapat dikenakan kewajiban serupa.
Akibatnya, para pemilik usaha kini berada di persimpangan jalan: menanggung biaya tambahan untuk royalti, susah payah mencari musik bebas lisensi, atau mengambil risiko kehilangan daya tarik dengan membiarkan ruang usaha mereka senyap.
Salah satu pemilik café di Nostalgic di Kota Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Hj. Ridha Andi Patiroi mengatakan meski sudah ada aturan tersebut ia masih tetap memutar lagu-lagu Indonesia.
Karena playlist tersebut juga sangat membantu meningkatkan jumlah pengunjung.
“Kalau soal pemutaran lagu-lagu masih sama sampai hari ini. Kita putar play list yang sudah ada,” katanya Rabu (6/8/2025) pagi.
Baca Juga: Anji Manji Luruskan Masalah Royalti Musik: Semua Gara-gara Ahmad Dhani
Tidak hanya café yang dikelola, pemutaran juga Indonesia juga masih dilakukan di sejumlah tempat nongkrong lainnya di Kota Mataram.
Apalagi saat ini, usaha café atau tempat nongkrong sedang menggeliat di Kota Mataram.
“Café-café yang lain di Kota Mataram yang masih memutar lagu-lagu Indonesia,” katanya.
Di kota-kota besar lainnya, sudah mulai tidak memutar lagu karena takut dimintakan royati.
Bahkan beberapa menggantinya dengan suara alam seperti suara burung dan lainnya.
Namun kembali ada aturan baru, dimana suara burung juga aka dikenakan royalty.
“Mereka kan takut putar lagu karena takut dikenakan royalty,” katanya.
Diakuinya, aturan pengaturan royalty ini belum diketahui secara pasti.
Ketidaktahuan ini menjadi salah satunya alasan masih tetap memutar lagu-lagu tersebut.
“Nanti kalau tahu aturannya ya pasti kita akan ikut pada aturan yang ada,” tegasnya.
Ia mengharapkan ada sosialisasi terkait aturan tersebut dari lembaga yang memang memiliki kewenangan.
Karena dirinya juga khawatir, jika tiba-tiba ada royalty yang harus dibayar.
“Kan takutnya juga tiba-tiba ada royalty yang harus dibayar,” katanya.
Aturan ini sambungnya dinilai cukup merugikan usaha miliknya.
Karena para pelanggan datang tidak hanya nyaman dan suka tempatnya, melainkan juga karena suka dengan playlist music-musik yang diputar.
“Ini nantinya bisa mengubah pasar juga. Kalau café saya kan lebih ke familiy dan anak-anak duduk ngopi dan makan sekalian dengar playlist yang kami putar,” ungkap Hj. Ridha.
Sementara untuk mengalihkan ke suara burung atau suara alam lainnya, sejauh ini belum terpikirkan.
Tapi dengan adanya aturan ini, akan dipikirkan kearah tersebut.
“Belum terpikirkan, tapi bisa jadi nanti kea rah sana,” katanya.
Menurutnya, playlist yang diputar di café-café ada keuntungan kepada pemilik atau pencipta lagu.
Pasalnya, dengan pemutaran lagu ini bisa menjadi ajang untuk mempromosikan lagu ciptaannya.
“Harusnya mereka juga senang. Kan tidak perlu repot-repot promo. Karena kita bantu promosi gratis,” katanya.
Peluang Musisi Lokal
Sementara itu, salah seorang pengunjung Adi mengatakan aturan royalti yang dikenakan ini menjadi peluang bagi musisi lokal.
Artinya, pemutaran lagu di cafe yang sebelumnya dari musisi nasional bisa beralih ke lokal atau daerah.
"Itu peluang bagi musisi lokal. Banyak musisi lokal yang terkenal dan bisa perkenalkan lagi lagu-lagunya," katanya.
Jika lagu-lagu daerah terbatas, maka bisa mencari alternatif lain yaitu dari musisi yang tidak menarik royalti.
"Kalau kendalanya ke musik daerah terbatas ya cari yang tidak ada royalti," ungkapnya.
Kunjungan ke cafe sambung Adi karena makanan dan tempatnya. Namun playlist musik di cafe itu juga menjadi salah satu pilihan.
"Yang jadi pilihan juga itu ada playlist musiknya. Musik-musik buat nyaman," tutupnya.
Kontributor : Buniamin
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Sedan Bekas yang Jarang Rewel untuk Orang Tua
- 8 Promo Makanan Spesial Hari Ibu 2025, dari Hidangan Jepang hingga Kue
- 5 Sepatu Lari Hoka Diskon 50% di Sports Station, Akhir Tahun Makin Hemat
- 5 Rekomendasi Sepatu Lokal Senyaman Skechers Buat Jalan-Jalan, Cocok Buat Traveling dan Harian
- 6 Mobil Bekas untuk Pemula atau Pasangan Muda, Praktis dan Serba Hemat
Pilihan
-
Bencana Sumatera 2025 Tekan Ekonomi Nasional, Biaya Pemulihan Melonjak Puluhan Triliun Rupiah
-
John Herdman Dikontrak PSSI 4 Tahun
-
Bukan Sekadar Tenda: Menanti Ruang Aman bagi Perempuan di Pengungsian
-
4 Rekomendasi HP Xiaomi Murah, RAM Besar Memori Jumbo untuk Pengguna Aktif
-
Cek di Sini Jadwal Lengkap Pengumuman BI-Rate Tahun 2026
Terkini
-
Pesan Natal Uskup Agung: Rawat Alam, Jangan Biarkan Rakyat Jadi Korban
-
UMP Jakarta 2026 Kalah dari Bekasi dan Karawang, Said Iqbal: Tidak Mungkin Ibu Kota Lebih Rendah!
-
Libur Natal Kawasan Monas 'Diserbu' Ribuan Pengunjung, Wisatawan China hingga Brasil Ikut Meramaikan
-
Dekorasi Natal Katedral Jakarta Tampil Sederhana, Gunakan Bahan Daur Ulang dan Wastra Nusantara
-
Mendagri dan sejumlah menteri pantau kesiapan ibadah Malam Natal 2025 di Jakarta.
-
Said Iqbal Tolak Kenaikan UMP Jakarta 2026 Rp5,73 Juta, Nilai Tak Cukupi Kebutuhan Hidup Layak
-
Magis Natal di Jantung Jakarta: Kala Bundaran HI Bersolek dalam Lautan Cahaya
-
Agenda Natal di Katedral Jakarta: Misa Pontifikal hingga Misa Lansia
-
Sampah Jadi Listrik Dinilai Menjanjikan, Akademisi IPB Tekankan Peran Pemilahan di Masyarakat
-
Wapres Gibran ke Jawa Tengah, Hadiri Perayaan Natal dan Pantau Arus Mudik Akhir Tahun