News / Nasional
Kamis, 07 Agustus 2025 | 18:19 WIB
Ilustrasi rumah kumuh di bantaran kali Manggarai. [Suara.com/Angga Budhiyanto]

Suara.com - The Prakarsa, lembaga penelitian dan advokasi kebijakan mengkritisi laporan hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan angka kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan.

Dijelaskan bahwa ukuran kemiskinan bukan hanya soal pengeluaran, namun terdapat faktor lainnya.

Data angka kemiskinan BPS didasarkan pada hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025. Hasilnya mencatatkan kemiskinan turun menjadi 8,47 persen atau 23,85 juta, turun dari 8,57 persen dari hasil Susenas September 2024.

Peneliti kebijakan sosial The Prakarsa, Pierre Bernando Ballo, menjelaskan bahwa ketika seseorang dikategorikan sebagai tidak miskin berdasarkan Susenas, bukan berarti mereka tidak hidup di dalam kemiskinan.

Sebab menurutnya, BPS masih menggunakan metode lama berbasis moneter yang mengukur garis kemiskinan makanan (GKM) dan non-makanan (GNKM), atau dikenal dengan metode Cost of Basic Needs (CBN).

"Metode ini cukup oudated dan belum diubah sejak hampir tiga dekade lalu. Padahal, pola konsumsi masyarakat, deprivasi, dan faktor-faktor penyebab kemiskinan lainnya sudah berubah," kata Pierre lewat keterangannya kepada Suara.com, Kamis (7/8/2025).

BPS harus merevisi metodologi penghitungan garis kemiskinan yang digunakan.

BPS menurutnya bisa mempertimbangkan, Indikator Kemiskinan Multidimensi (IKM). Dengan begitu, faktor-faktor non-moneter juga bisa diperhitungkan.

Dia mengungkap, The Prakarsa sejak 2011 telah mengukur dan mengadvokasi Angka Kemiskinan Multidimensi (AKM). Terakhir pada 2022, terdapat sekitar 14 juta masyarakat miskin multidimensi.

Baca Juga: Racikan Kabinet Prabowo 'Tokcer' di Kuartal II 2025, BPS Blak-blakan Soal Data Ekonomi

Dalam kajian itu, mereka mengukur kemiskinan bukan hanya berdasarkan pengeluaran, tapi faktor lain seperti ketiadaan air minum bersih, kondisi rumah, dan kondisi kesehatan atau penyakit.

"Sebagai contoh, ketika seseorang tinggal di rumah tidak layak huni, dia bisa dikatakan miskin. Tetapi karena indikator itu tidak bisa diubah menjadi pengeluaran, maka dia dikategorikan tidak miskin berdasar perhitungan BPS," jelas Pierre.

Untuk itu dia mendorong, pemerintah jangan hanya menaikkan garis kemiskinan, tapi harus melebarkan indikatornya.

"Khususnya, untuk menyoroti faktor-faktor kemiskinan yang seringkali tidak bisa dikuantifikasi sebagai pengeluaran, tetapi dapat menyebabkan seseorang miskin," kata Pierre.

Load More