Suara.com - Fenomena viral bendera bajak laut Topi Jerami dari anime One Piece yang berkibar di ribuan truk di Indonesia bukan sekadar tren sesaat.
Bagi budayawan Sujiwo Tejo, ini adalah cermin retaknya kepercayaan publik terhadap pemerintah, sebuah gejala yang solusinya jauh lebih dalam dari sekadar larangan atau imbauan.
Pandangan tajam Sujiwo Tejo dalam sebuah podcast baru-baru ini secara tidak langsung memberikan diagnosis dan 'obat' atas fenomena tersebut.
Ia menyoroti bagaimana kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil menjadi biang keladi utama lunturnya rasa percaya.
Para sopir truk, yang menjadikan bendera One Piece sebagai simbol perlawanan dan solidaritas, adalah representasi nyata dari keresahan ini.
Mereka merasa menjadi 'bajak laut' di negeri sendiri, berjuang melawan 'angkatan laut' yang direpresentasikan oleh aturan memberatkan dan praktik pungutan liar (pungli) di jalanan.
Sujiwo Tejo secara spesifik mengkritik kebijakan "overdimensi over muatan" (ODOL) yang kerap menjadi alasan protes para sopir.
Kebijakan ini, menurutnya, seringkali tidak diimbangi dengan pemberantasan praktik koruptif di lapangan, menciptakan dilema bagi para pengusaha dan sopir.
Ia bahkan mengutip pernyataan seorang kiai yang juga pengusaha transportasi. "Seorang kiai yang punya banyak truk pernah bilang ke saya, 'Mbah, pengusaha truk yang jujur nggak ngangkut melebihi muatan itu goblok'. Kenapa? Karena di jalan dia tetap kena pungli," ungkap Sujiwo Tejo, menirukan keluhan tersebut.
Baca Juga: Ada Lawan? Kampung Ini Nekat Kibarkan Bendera One Piece Raksasa
Kutipan pedas ini menelanjangi akar masalah: ketika aturan dibuat tanpa memperbaiki sistem yang korup, kejujuran justru menjadi sebuah kebodohan.
Dalam konteks ini, bendera One Piece menjadi simbol yang lebih relevan bagi para sopir ketimbang simbol negara.
Mereka merasa lebih memiliki ikatan dengan perjuangan Luffy yang melawan ketidakadilan, daripada merasa dilindungi oleh pemerintahnya sendiri.
Solusi Bukan Sekadar Simbolisme
Lebih jauh, Sujiwo Tejo menyentil betapa pemerintah gagal dalam membangun kebanggaan terhadap budaya lokal.
Ia membandingkan dengan Korea Selatan yang sukses menduniakan budayanya berkat dukungan penuh negara.
Berita Terkait
Terpopuler
- Pandji Pragiwaksono Dihukum Adat Toraja: 48 Kerbau, 48 Babi, dan Denda 2 Miliar
- 6 HP Snapdragon dengan RAM 8 GB Paling Murah, Lancar untuk Gaming dan Multitasking Intens
- 8 Mobil Kecil Bekas Terkenal Irit BBM dan Nyaman, Terbaik buat Harian
- 7 Rekomendasi Parfum Lokal Aroma Citrus yang Segar, Tahan Lama dan Anti Bau Keringat
- 5 Rekomendasi Moisturizer Korea untuk Mencerahkan Wajah, Bisa Bantu Atasi Flek Hitam
Pilihan
-
Berapa Gaji Zinedine Zidane Jika Latih Timnas Indonesia?
-
Breaking News! Bahrain Batalkan Uji Coba Hadapi Timnas Indonesia U-22
-
James Riady Tegaskan Tanah Jusuf Kalla Bukan Milik Lippo, Tapi..
-
6 Tablet Memori 128 GB Paling Murah, Pilihan Terbaik Pelajar dan Pekerja Multitasking
-
Heboh Merger GrabGoTo, Begini Tanggapan Resmi Danantara dan Pemerintah!
Terkini
-
Babak Baru PPHN: Ahmad Muzani Minta Waktu Presiden Prabowo, Nasib 'GBHN' Ditentukan di Istana
-
KPK Digugat Praperadilan! Ada Apa dengan Penghentian Kasus Korupsi Kuota Haji Pejabat Kemenag?
-
Tiga Hari ke Depan, Para Pemimpin Dunia Rumuskan Masa Depan Pariwisata di Riyadh
-
Terkuak! Siswa SMAN 72 Jakarta Siapkan 7 Peledak, Termasuk Bom Sumbu Berwadah Kaleng Coca-Cola
-
Drama 6 Jam KPK di Ponorogo: Tiga Koper Misterius Diangkut dari Ruang Kerja Bupati Sugiri Sancoko
-
Bukan Terorisme Jaringan, Bom SMAN 72 Ternyata Aksi 'Memetic Violence' Terinspirasi Dunia Maya
-
Revolusi Digital Korlantas: Urus SIM, STNK, BPKB Kini Full Online dan Transparan, Pungli Lenyap
-
Babak Baru Horor Nuklir Cikande: 40 Saksi Diperiksa, Jejak DNA Diburu di Lapak Barang Bekas
-
Dua Menko Ikut ke Sydney, Apa Saja Agenda Lawatan Prabowo di Australia?
-
Tak Hanya Game! Politisi PKB Desak Pemerintah Batasi Medsos Anak Usai Insiden Ledakan SMA 72 Jakarta