Suara.com - Sejarah perlawanan rakyat Pati terhadap kebijakan yang dianggap menindas seolah menemukan momentumnya kembali.
Gelombang unjuk rasa besar yang mengguncang pemerintahan Bupati Sudewo baru-baru ini bukan sekadar protes biasa, melainkan cerminan dari semangat perlawanan yang telah mengakar sejak era kolonial, yang dipelopori oleh sosok legendaris, Samin Surosentiko.
Pemicu amarah warga kali ini adalah kebijakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pati yang menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) secara drastis, disebut-sebut mencapai 250 persen.
Kebijakan ini dinilai sangat tidak pro-rakyat dan mencekik ekonomi warga di tengah kondisi yang sudah sulit.
Puncaknya, ribuan massa dari berbagai elemen masyarakat tumpah ruah ke jalan, menyuarakan satu tuntutan: batalkan kenaikan PBB.
Amarah publik yang tak terbendung ini mencapai klimaksnya saat Bupati Sudewo mencoba menemui massa dari atas mobil rantis polisi.
"Bismillahirrahmanirrahim. Saya mohon maaf sebesar-besarnya, saya akan berbuat yang lebih baik. terimakasih," ucap Sudewo dari atas mobil rantis pada Rabu (13/8/2025)
Niatnya untuk berdialog dan meminta maaf justru disambut dengan cemoohan, teriakan, hingga lemparan sandal dan botol air mineral.
Sebuah pemandangan yang menunjukkan betapa dalamnya jurang kekecewaan warga terhadap pemimpinnya.
Baca Juga: Pusat Turun Tangan? Gejolak Politik Pati Masuk Radar Gubernur dan Mendagri
Situasi panas ini seolah membangkitkan kembali memori kolektif tentang Samin Surosentiko, tokoh petani asal Blora yang pada akhir abad ke-19 berani menentang hegemoni pemerintah Hindia Belanda.
Seperti dilansir dari Buku Sejarah Nasional Jilid IV ditulis oleh Marwati Djoened Poesponegara an Nugraha Notosusanto yang diterbitkan Departement Pendidikan Kebudayaan tahun 1993.
Perlawanan Samin bukanlah perlawanan fisik dengan pertumpahan darah. Ia menyebarkan ajaran yang dikenal sebagai Saminisme, yang menekankan pada kejujuran, kerja keras, dan penolakan terhadap aturan kolonial yang merugikan.
Samin Surosentiko dan para pengikutnya menolak membayar pajak, menolak menyerahkan hasil panen, dan menolak kerja paksa.
Bagi mereka, tanah adalah milik alam yang memberi kehidupan, bukan objek yang bisa dipajaki seenaknya oleh penguasa.
Perlawanan tanpa kekerasan ini dianggap sangat berbahaya oleh Belanda karena menggerogoti wibawa dan pendapatan pemerintah kolonial.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- Kecewa Kena PHP Ivan Gunawan, Ibu Peminjam Duit: Kirain Orang Baik, Ternyata Munafik
- Nasib Maxride di Yogyakarta di Ujung Tanduk: Izin Tak Jelas, Terancam Dilarang
- Rekam Jejak Brigjen Helfi Assegaf, Kapolda Lampung Baru Gantikan Helmy Santika
- Ahmad Sahroni Ternyata Ada di Rumah Saat Penjarahan, Terjebak 7 Jam di Toilet
- Gibran Dicap Langgar Privasi Saat Geledah Tas Murid Perempuan, Ternyata Ini Faktanya
Pilihan
-
Sidang Cerai Tasya Farasya: Dari Penampilan Jomplang Hingga Tuntutan Nafkah Rp 100!
-
Sultan Tanjung Priok Cosplay Jadi Gembel: Kisah Kocak Ahmad Sahroni Saat Rumah Dijarah Massa
-
Pajak E-commerce Ditunda, Menkeu Purbaya: Kita Gak Ganggu Daya Beli Dulu!
-
Dukungan Dua Periode Prabowo-Gibran Jadi Sorotan, Ini Respon Jokowi
-
Menkeu Purbaya Putuskan Cukai Rokok 2026 Tidak Naik: Tadinya Saya Mau Turunin!
Terkini
-
Sebut Produksi Jagung Melesat, Titiek Soeharto Ungkap Andil Polri soal Swasembada Pangan
-
Mardiono Ungkap Kericuhan di Muktamar X PPP Akibatkan Korban Luka yang Dilarikan ke Rumah Sakit
-
Muktamar X PPP: Mardiono Akui Konflik Internal Jadi Biang Kegagalan di Pemilu 2024
-
Baru Hari Pertama Muktamar X PPP, Mardiono Sudah Menang Secara Aklamasi
-
Solid! Suara dari Ujung Barat dan Timur Indonesia Kompak Pilih Mardiono di Muktamar X PPP
-
Bukan Kader, tapi Provokator? PPP Curiga Ada Penyusup yang Tunggangi Kericuhan Muktamar X
-
15 Tahun Menanti, Bobby Nasution Jawab Keluhan Warga Bahorok
-
Bobby Nasution Minta Mitigasi Dini Banjir Bandang Bahorok
-
Prabowo Akui Keracunan MBG Masalah Besar, Minta Tak Dipolitisasi
-
Di Panggung Muktamar, Mardiono Minta Maaf dan Akui Gagal Bawa PPP Lolos ke Parlemen