News / Nasional
Senin, 15 September 2025 | 13:58 WIB
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam Indradi di Mapolda Metro Jaya, Jakarta. (Suara.com/M Yasir)

Suara.com - Polda Metro Jaya mengatakan bahwa hingga saat ini belum menerima laporan orang hilang terkait aksi demonstrasi yang berlangsung sejak akhir Agustus lalu. Meski begitu, kepolisian tetap membuka posko pengaduan orang hilang yang diklaim sebagai langkah proaktif.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Brigjen Ade Ary Syam Indradi menjelaskan, posko pengaduan itu berada di Aula Satya Haprabu Gedung Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya. Posko beroperasi selama 24 jam.

“Kenapa dibentuk posko ini? Karena atensi dari pimpinan, Bapak Kapolda Metro Jaya, agar apabila ada masyarakat yang kehilangan anggota keluarganya, kami siap membantu. Mindset-nya, orang hilang itu saudara kita juga,” ujar Ade Ary kepada wartawan, Senin (15/9/2025).

Masyarakat yang ingin melapor bisa datang langsung ke posko atau menghubungi hotline 0812-8559-9191. Polisi juga menggandeng sejumlah pihak terkait, mulai dari Komnas HAM hingga Pemprov DKI Jakarta untuk mempercepat penanganan jika ada laporan masuk.

Posko ini, lanjut Ade Ary, tidak hanya menerima aduan, tetapi juga akan menyampaikan hasil temuan dan identifikasi kepada publik.

“Sehingga diharapkan dapat mempercepat proses pencarian dan memberikan kepastian kepada keluarga,” katanya.

Meski demikian, hingga Senin pagi, Polda Metro Jaya menegaskan belum ada laporan masyarakat terkait kehilangan anggota keluarga dalam rentang demonstrasi akhir Agustus.

“Sampai dengan saat ini, pukul 10.15 WIB, belum ada laporan yang kami terima terkait orang hilang. Tapi kami imbau masyarakat jangan ragu untuk melapor, kami akan bantu menelusuri,” tegas Ade Ary.

Tiga Orang Hilang

Baca Juga: Kini Akui Anak-anak Boleh Sampaikan Pendapat, Kenapa Polda Metro Sempat Cegah Pelajar Ikut Demo?

Sebelumnya Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat tiga mahasiswa dilaporkan hilang dan belum ditemukan saat aksi unjuk rasa yang berlangsung pada akhir Agustus lalu. Mereka menduga ketiga mahasiswa tersebut kemungkinan besar menjadi korban penghilangan paksa.

Ketiga mahasiswa itu di antaranya; Bima Permana Putra, Muhammad Farhan Hamid, dan Reno Syahputra Dewo.

Bima dinyatakan hilang sejak 31 Agustus 2025. Lokasi terakhir di sekitar Glodok, Jakarta Barat.

Ia bukan bukan peserta unjuk rasa. Informasi terakhir dia pergi untuk menyaksikan unjuk rasa.

Kemudian, Farhan dinyatakan hilang sejak 31 Agustus 2025.

Farhan mengikuti aksi unjuk rasa di depan Mako Brimob Polda Metro Jaya, Kwitang, Jakarta Pusat pada tanggal 29 Agustus.

Sementara, Reno dinyatakan hilang sejak tanggal 30 Agustus 2025.

Reno merupakan seorang demonstran yang juga mengikuti aksi unjuk rasa di Mako Brimob Polda Metro Jaya, Kwitang pada 29 Agustus 2025.

Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya Saputra menilai hingga kini negara belum mampu memberikan kejelasan nasib Bima Permana Putra, Muhammad Farhan Hamid, dan Reno Syahputra Dewo, yang hilang dalam gelombang aksi pada akhir Agustus lalu.

"Hingga 12 September 2025, negara masih belum mengembalikan 3 orang lainnya yang diduga juga mengalami penghilangan paksa dalam gelombang aksi pada 25–31 Agustus 2025," kata Dimas dalam keterangannya, Sabtu (13/9/2025).

Dugaan penghilangan paksa ini bukan tanpa dasar disampaikan lembaga tersebut.

KontraS mendasarkannya pada pola yang ditemukan dari 33 korban lain yang sempat dilaporkan hilang namun kemudian ditemukan.

Selama periode 'hilang' tersebut, mereka ditahan secara incommunicado, yakni dengan menghalangi komunikasi dan akses terhadap dunia luar seperti keluarga dan orang terdekatnya.

Para korban disembunyikan, tidak diperbolehkan menerima pendampingan hukum, dan ditempatkan di luar jangkauan perlindungan hukum.

"Situasi ini menyebabkan para korban berada di luar jangkauan perlindungan hukum, yang terjadi dalam bentuk penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, dan proses hukum yang tidak adil dan transparan," ujar Dimas.

Menurut KontraS, praktik menyembunyikan nasib dan keberadaan tahanan ini adalah unsur konstitutif dari kejahatan penghilangan paksa, sebagaimana diatur dalam Konvensi Internasional yang telah ditandatangani Indonesia.

"Sebagaimana dinyatakan dalam Konvensi Internasional Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (ICPPED), yang telah ditandatangani oleh Indonesia pada 27 September 2010," katanya menambahkan," jelas Dimas.

Load More