News / Nasional
Senin, 20 Oktober 2025 | 23:50 WIB
Prof Sulfikar Amir, akademisi Nanyang Technological University (NTU) Singapura. (tangkap layar Youtube)
Baca 10 detik
  • Sulfikar sebut proyek KCJB tidak layak dan terlalu mahal.
  • Studi awal rekomendasikan kerja sama Jepang lebih efisien dan murah.
  • KCJB dinilai jadi pelajaran mahal bagi kebijakan infrastruktur Indonesia.

Suara.com - Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) kembali menjadi sorotan publik setelah Menteri Keuangan menolak menggunakan APBN untuk menutup utang proyek tersebut.

Keputusan politik yang memaksakan pembangunan kereta cepat di tengah berbagai keraguan kini disebut sebagai 'pelajaran berharga yang sangat mahal' bagi Indonesia.

Dalam diskusi di kanal YouTube Abraham Samad Speak Up, Prof Sulfikar Amir, Sosiolog dari Nanyang Technological University of Singapore (NTU), mengingatkan bahwa studi kelayakan dari universitas negeri di Indonesia telah menyimpulkan proyek ini tidak layak dan terlalu mahal sejak awal.

“Dulu kan kita ingat bahwa sebenarnya ada kajian tuh dari UI atau UGM kalau enggak salah ya tentang kereta api cepat Cina ini. Bahwa sebenarnya ini tidak layak,” kata Sulfikar, dikutip Senin (20/10/2025).

Ia menambahkan, alternatif kerja sama dengan Jepang sebenarnya lebih rasional karena menggunakan mekanisme government to government (G2G) yang dinilai lebih transparan dan murah.

“Justru dianggap layak pada saat itu adalah kerja sama dengan Jepang kereta api cepat Jepang karena Jepang menggunakan apa mekanisme G2G, itu dianggap lebih layak karena lebih murah,” tambahnya.

Menurut Sulfikar, secara ekonomi proyek KCJB sulit mencapai titik impas (break-even point).

Simulasi menunjukkan waktu pengembalian investasi bisa mencapai 35 hingga 40 tahun, dengan syarat 31.000 penumpang per hari dan harga tiket sekitar Rp350.000.

Namun, data penumpang aktual masih jauh dari target, bahkan pada masa libur panjang.

Baca Juga: Mahfud MD 'Spill' Dugaan Korupsi Kereta Cepat Whoosh, Budi Prasetyo: Silakan Laporkan ke KPK

“Ada gap antara kebutuhan jumlah penumpang sama realitas demand yang ada di masyarakat,” jelasnya.

Lebih jauh, Sulfikar menilai beban finansial proyek KCJB kini ikut menekan PT KAI, yang sebelumnya dalam kondisi sehat secara keuangan.

Ketergantungan pada proyek-proyek berbiaya tinggi dikhawatirkan menggerogoti kinerja sektor transportasi lain yang lebih dibutuhkan masyarakat luas.

Mengacu pada pengalaman negara seperti Amerika Serikat dan Inggris, yang menghadapi lonjakan biaya dalam proyek serupa, Sulfikar menilai Indonesia tidak perlu memaksakan diri memiliki kereta supercepat.

“Tidak semua negara butuh kereta cepat, Bang,” tegasnya.

Ia menilai 'kereta semi cepat' dengan kecepatan 200 km/jam bisa menjadi solusi realistis, efisien, dan sesuai dengan kebutuhan perjalanan jarak menengah di Indonesia.

Load More