- Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa kelapa sawit menyerap karbon dioksida, memicu perdebatan di tengah bencana banjir Sumatra.
- Penelitian UGM menunjukkan hutan alam berfungsi penyerap air superior berbanding terbalik dengan perkebunan kelapa sawit monokultur.
- Data WALHI dan KLHK mengonfirmasi hilangnya hutan signifikan terkait ekspansi sawit, berkorelasi dengan peningkatan bencana hidrologis.
Suara.com - Di tengah deru mesin pompa air dan isak tangis korban banjir di berbagai penjuru Sumatra, sebuah perdebatan kembali mengemuka, dipicu oleh pernyataan sederhana dari sang pemimpin negara.
“Kelapa sawit itu pohon, ada daunnya kan? Dia menyerap karbondioksida,” demikian kata Presiden Prabowo Subianto pada 30 Desember 2024 lalu.
Pernyataan ini sontak menjadi sorotan, bukan karena salah secara harfiah, tetapi karena dianggap menyederhanakan masalah ekologis yang sangat kompleks.
Sebab, ketika banjir bandang dan longsor menerjang Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat pada akhir 2025, banyak ilmuwan dan aktivis lingkungan menunjuk satu 'tersangka' utama yang sama, yakni masifnya alih fungsi hutan menjadi perkebunan, terutama kelapa sawit.
Lantas, mengapa tanaman yang secara kasat mata tampak seperti pohon ini justru dituding sebagai biang kerok bencana hidrologis? Jawabannya terletak pada sains fundamental yang seringkali terabaikan.
Secara Sains, Sawit Memang Bukan Pohon Hutan
Secara ekologis dan hidrologis, membandingkan kebun kelapa sawit dengan hutan alam ibarat membandingkan lantai keramik dengan spons raksasa. Keduanya adalah permukaan, namun kemampuannya menyerap air sangat jauh berbeda.
Peneliti Hidrologi Hutan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Hatma Suryatmojo, menjelaskan, bahwa hutan alam adalah sebuah sistem penyangga hidrologis yang sempurna. Vegetasi hutan yang berlapis-lapis dan rimbun mampu menahan dan menyerap air hujan secara luar biasa.
Penelitian di hutan tropis Sumatra dan Kalimantan menunjukkan kemampuan hutan menahan air di tajuknya (intersepsi) bisa mencapai 15-35 persen. Lebih penting lagi, tanahnya yang gembur dan penuh dengan jaringan akar mampu menyerap air (infiltrasi) hingga 55 persen.
Baca Juga: Viral Bupati Bireuen Sebut Tanah Banjir Cocok Ditanami Sawit, Tuai Kecaman Publik
“Sehingga limpasan permukaan (surface runoff) yang mengalir ke badan sungai hanya tersisa 10-20 persen saja,” kata Hatma yang dipublikasi oleh UGM, dikutip pada Kamis (4/12/2025).
Kondisi ini berbanding terbalik 180 derajat dengan perkebunan kelapa sawit. Berikut adalah perbedaannya:
Akar Serabut vs Akar Tunggang: Pohon hutan memiliki akar tunggang yang menghujam ke dalam tanah, menciptakan pori-pori dan jalur air, sekaligus mencengkeram tanah dengan kuat. Sebaliknya, sawit memiliki akar serabut yang dangkal dan menyebar di permukaan, membuatnya sangat lemah dalam menahan tanah dari erosi.
Lantai Hutan yang Hilang: Hutan alami memiliki lantai yang ditutupi serasah (daun dan ranting mati) tebal yang berfungsi seperti spons. Di kebun sawit, lantai hutan cenderung 'bersih' karena praktik agronomi, menghilangkan kemampuan vital ini.
Monokultur vs Keanekaragaman: Kebun sawit adalah tanaman monokultur yang seragam. Hutan memiliki kanopi berlapis-lapis yang efektif memecah energi butiran hujan sebelum jatuh ke tanah.
Akibatnya, saat hujan deras mengguyur hamparan kebun sawit, mayoritas air tidak terserap. Ia menjadi aliran permukaan masif yang langsung meluncur ke sungai, membawa serta lapisan tanah atas (topsoil) yang tidak terikat kuat.
Berita Terkait
-
Naskah Khutbah Jumat Soal Hikmah di Balik Bencana Alam, Ujian atau Azab?
-
Permentan 33/2025 Perketat Sertifikasi ISPO, Perlindungan Pekerja Jadi Ukuran Utama
-
Indonesia Sports Summit Ambil Bagian Beri Bantuan untuk Korban Bencana Alam Sumatera
-
Ancaman Belum Selesai, Indonesia Disebut Belum Usai dengan Siklus Bencana
-
Deforestasi Diklaim Turun, Kenapa Banjir di Sumatra Tetap Menggila?
Terpopuler
- Naksir Avanza Tahun 2015? Harga Tinggal Segini, Intip Pajak dan Spesifikasi Lengkap
- 5 Krim Kolagen Terbaik yang Bikin Wajah Kencang, Cocok untuk Usia 30 Tahun ke Atas
- 7 Rekomendasi Ban Motor Anti Slip dan Tidak Cepat Botak, Cocok Buat Ojol
- 5 Mobil Bekas Senyaman Karimun Budget Rp60 Jutaan untuk Anak Kuliah
- 5 Rekomendasi Bedak Waterproof Terbaik, Anti Luntur Saat Musim Hujan
Pilihan
-
Google Munculkan Peringatan saat Pencarian Bencana Banjir dan Longsor
-
Google Year in Search 2025: Dari Budaya Timur hingga AI, Purbaya dan Ahmad Sahroni Ikut Jadi Sorotan
-
Seberapa Kaya Haji Halim? Crazy Rich dengan Kerajaan Kekayaan tapi Didakwa Rp127 Miliar
-
Toba Pulp Lestari Dituding Biang Kerok Bencana, Ini Fakta Perusahaan, Pemilik dan Reaksi Luhut
-
Viral Bupati Bireuen Sebut Tanah Banjir Cocok Ditanami Sawit, Tuai Kecaman Publik
Terkini
-
Ammar Zoni Minta Jadi Justice Collaborator, LPSK Ajukan Syarat Berat
-
DPR Desak Pemerintah Cabut Izin Pengusaha Hutan yang Tutup Mata pada Bencana Sumatra
-
Calon Penumpang Super Air Jet Terlibat Cekcok dengan Petugas Buntut Penundaan 4 Jam di Bandara
-
LPSK Sebut Ammar Zoni Ajukan Justice Collaborator: Siap Bongkar Jaringan Besar Narkotika?
-
Pemerintah Perkuat Komitmen Perubahan Iklim, Pengelolaan Karbon Jadi Sorotan di CDC 2025
-
Pramono Anung Genjot Program Kesejahteraan Hewan untuk Dongkrak Jakarta ke Top 50 Kota Global 2030
-
Diperiksa 14 Jam Dicecar 47 Pertanyaan: Kenapa Polisi Tak Tahan Lisa Mariana di Kasus Video Syur?
-
Profil Mirwan MS: Bupati Aceh Selatan, Viral Pergi Umroh saat Rakyatnya Dilanda bencana
-
Benteng Alami Senilai Ribuan Triliun: Peran Mangrove dalam Melindungi Kota Pesisir
-
Pergub Sudah Berlaku, Pramono Anung Siap Tindak Tegas Pedagang Daging Kucing dan Anjing