News / Nasional
Rabu, 29 Oktober 2025 | 11:53 WIB
Ilustrasi Energi Baru dan Terbarukan. [Dok Pertamina NRE].
Baca 10 detik
    • SNDC Indonesia gagal menerjemahkan visi energi terbarukan Presiden Prabowo karena masih menunda puncak emisi energi hingga 2038.
    • IESR menyebut strategi SNDC masih terlalu bergantung pada sektor hutan dan tidak memberi ruang cukup bagi transisi energi bersih.
    • Pendekatan ekonomi SNDC bertolak belakang dengan hasil studi Bappenas yang menunjukkan aksi iklim kuat justru mendorong pertumbuhan ekonomi.

Suara.com - Second Nationally Determined Contribution (SNDC) Indonesia dinilai gagal menerjemahkan ambisi Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai 100% energi terbarukan dalam 10 tahun.

Dokumen yang baru diserahkan ke Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) pada Senin (27/10/2025) itu justru menunjukkan arah kebijakan yang tidak sejalan dengan visi transisi energi bersih yang selama ini digaungkan pemerintah.

Alih-alih memperkuat komitmen menuju energi terbarukan, SNDC justru memperlihatkan kenaikan emisi gas rumah kaca hingga 2030.

Dokumen tersebut memang sudah meninggalkan pendekatan “business as usual”, tetapi menggunakan target absolut emisi pada 2035 dengan tahun acuan 2019.

Presiden Prabowo Subianto saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-28 ASEAN Plus Three (APT) yang digelar di Kuala Lumpur Convention Centre (KLCC), Malaysia, pada Senin, (27/10/2025). [Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden]

Namun, dalam dua skenario bersyarat (conditional), emisi Indonesia tetap diproyeksikan meningkat dibanding 2019, bahkan mencapai 1.696 juta ton COe bila penyerapan sektor kehutanan (FOLU) tidak dihitung.

Dalam skenario Low Carbon Compatible with Paris (LCCP-H) yang membidik pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen, pemerintah masih mengandalkan sektor hutan sebagai penyerap emisi utama.

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai strategi ini keliru karena membuat emisi sektor energi meningkat 103% hingga 2035. Padahal, sektor energi justru menjadi kunci dalam menurunkan emisi nasional.

IESR menilai SNDC hanya memperbarui metode pengukuran, bukan strategi mitigasi. Puncak emisi energi bahkan dimundurkan ke tahun 2038, tiga tahun lebih lambat dari target sebelumnya. Artinya, langkah konkret menurunkan emisi baru akan dimulai setelah 2035—terlambat dari kebutuhan iklim global.

Menurut CEO IESR Fabby Tumiwa, SNDC ini tidak mencerminkan arah kebijakan energi bersih Presiden Prabowo.

Baca Juga: Rapor 1 Tahun Prabowo Versi LSI: Ekonomi Jeblok, 5 Sektor Lain Lolos, Hubungan Internasional Juara

“Dengan potensi 3.800 GW energi terbarukan dan biaya PLTS serta baterai yang semakin menurun, Indonesia seharusnya bisa mempercepat transisi. PLTS dan Battery Energy Storage System (BESS) kini lebih kompetitif dibanding PLTU. Jika PLTU tua terus dipertahankan, Indonesia justru kehilangan peluang mendapatkan listrik yang lebih murah,” kata Fabby.

Ia menilai pendekatan ekonomi dalam SNDC justru kontradiktif dengan visi presiden. Dokumen tersebut masih berasumsi bahwa aksi iklim ambisius akan menekan pertumbuhan ekonomi, padahal model Low Carbon Development Indonesia (LCDI) milik Bappenas menunjukkan hal sebaliknya: transisi energi berkelanjutan justru mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.

IESR memperingatkan bahwa penundaan puncak emisi hanya akan membuat biaya transisi semakin mahal dan berisiko menggagalkan komitmen Persetujuan Paris. Agar selaras dengan target pemanasan global 1,5°C, emisi absolut Indonesia pada 2035 seharusnya berada di kisaran 720 juta ton COe—jauh lebih rendah dari proyeksi SNDC saat ini.

Selain itu, SNDC belum mencerminkan ambisi politik Presiden Prabowo yang sebelumnya menegaskan rencana membangun 100 GW PLTS di desa-desa dan mempercepat bauran energi terbarukan hingga 100%. Tanpa langkah konkret mempercepat transisi, SNDC kini tampak lebih seperti pembaruan administratif daripada peta jalan menuju masa depan bebas fosil.

“Dengan harga energi terbarukan yang makin kompetitif, pemerintah justru perlu berani memensiunkan PLTU lama dan memperluas PLTS. Ini sejalan dengan visi presiden sekaligus menjaga daya saing ekonomi nasional,” tegas Fabby.

Load More