-
- Peneliti di Swedia mengusulkan sistem pajak baru: makanan tinggi emisi seperti daging akan dikenai pajak tambahan, sementara buah, sayur, dan biji-bijian dibebaskan dari PPN.
- Kebijakan ini diperkirakan bisa menurunkan konsumsi daging hingga 19% dan memangkas 700.000 ton emisi karbon setiap tahun.
- Pendekatan “pajak pangan” ini dinilai bukan sekadar soal harga, tapi juga langkah realistis untuk melindungi kesehatan manusia dan masa depan iklim.
Suara.com - Selama ini, pembahasan soal krisis iklim kerap kali berpusat pada kendaraan, industri, dan pembangkit listrik sebagai biang keladi emisi karbon.
Namun riset terbaru justru menggeser sorotan itu ke arah yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari yaitu makanan yang kita konsumsi. Dari potongan daging di meja makan hingga segelas minuman manis di kafe, setiap produk pangan ternyata meninggalkan jejak karbon yang besar bagi bumi.
Kini, para ilmuwan menemukan pendekatan baru untuk menekan dampak tersebut dengan mengenakan pajak pada makanan yang paling mencemari lingkungan dan menghapuskan beban pajak bagi pangan yang lebih ramah iklim.
Kebijakan sederhana seperti ini dapat menjadi langkah nyata untuk menekan emisi karbon dari sektor pertanian sekaligus mendorong masyarakat beralih ke pola makan yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Jika kebijakan pajak ini diterapkan, harga daging sapi dan domba akan naik sekitar 25 persen atau hampir Rp52 ribu per kilogram, dan diperkirakan konsumsi daging di negara tersebut akan turun hingga 19 persen.
Penurunan ini diproyeksikan dapat memangkas sekitar 700 ribu ton emisi karbon dioksida per tahun, setara dengan 8 persen emisi kendaraan penumpang, atau setara dengan sepuluh mobil di jalanan Swedia.
Kebijakan ini disinyalir para peneliti sebagai “pergeseran pajak pangan”, di mana makanan sehat seperti buah, sayur, dan biji-bijian akan dibebaskan dari pajak pertambahan nilai (PPN), sementara produk yang berdampak besar terhadap iklim seperti daging, daging olahan, dan minuman kemasan akan dikenai pajak tambahan.
Skema ini dianggap sebagai langkah “netral biaya”, sebab kenaikan harga pada satu sisi diimbangi dengan penurunan di sisi lainnya. Menurut Jörgen Larsson, peneliti dari Chalmers University of Technology, kebijakan semacam ini bukan hanya soal angka di meja makan, tetapi juga soal masa depan iklim dan kesehatan manusia.
“Pola makan kita saat ini membuat kita sakit dan memperburuk iklim. Jika ingin berubah secara kolektif, pajak dan subsidi adalah alat yang paling realistis untuk memulainya,” ujar Larsson.
Baca Juga: Spesifikasi dan Pajak Tahunan Suzuki Ertiga Hybrid Bekas, Cocok Jadi Incaran Akhir Tahun?
Temuan ini sekaligus memperkuat laporan Komisi EAT-Lancet, yang sebelumnya mencatat bahwa sekitar 15 juta kematian bisa dicegah setiap tahun jika masyarakat beralih ke pola makan berbasis nabati. Perubahan itu juga bisa menurunkan emisi pertanian global hingga 15 persen.
Catatan sejarah juga memperlihatkan bagaimana harga mempengaruhi perilaku konsumen. Pada 1990-an, konsumsi daging sapi di Swedia melonjak hingga 50 persen setelah harganya turun hampir separuh. Fakta itu memperkuat dugaan bahwa mekanisme pajak bisa menjadi pendorong efektif perubahan kebiasaan makan masyarakat.
Meski begitu, para peneliti menekankan bahwa tujuan kebijakan ini bukanlah untuk melarang daging sama sekali.
“Tidak semua orang harus menjadi vegetarian demi menyelamatkan bumi,” ujar Larsson. “Namun jika kita bisa mengurangi konsumsi secara moderat, manfaatnya akan terasa besar bagi tubuh kita dan bagi Bumi.”
Penulis: Muhamad Ryan Sabiti
Berita Terkait
Terpopuler
- Penyerang Klub Belanda Siap Susul Miliano Bela Timnas Indonesia: Ibu Senang Tiap Pulang ke Depok
- 27 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 26 Oktober: Raih 18.500 Gems dan Pemain 111-113
- Gary Neville Akui Salah: Taktik Ruben Amorim di Manchester United Kini Berbuah Manis
- 5 Mobil Bekas 30 Jutaan untuk Harian, Cocok buat Mahasiswa dan Keluarga Baru
- Belanja Mainan Hemat! Diskon 90% di Kidz Station Kraziest Sale, Bayar Pakai BRI Makin Untung
Pilihan
-
Tak Mau Ceplas-ceplos Lagi! Menkeu Purbaya: Nanti Saya Dimarahin!
-
H-6 Kick Off: Ini Jadwal Lengkap Timnas Indonesia di Piala Dunia U-17 2025
-
Harga Emas Hari Ini Turun: Antam Belum Tersedia, Galeri 24 dan UBS Anjlok!
-
5 Fakta Wakil Ketua DPRD OKU Parwanto: Kader Gerindra, Tersangka KPK dan Punya Utang Rp1,5 Miliar
-
Menkeu Purbaya Tebar Surat Utang RI ke Investor China, Kantongi Pinjaman Rp14 Triliun
Terkini
-
Setnov Bebas Bersyarat, Arukki dan LP3HI Ajukan Gugatan ke PTUN Jakarta: Kecewa!
-
Siswi MTs Sukabumi Akhiri Hidup, Isi Surat Ungkap Keinginan Pindah Sekolah karena Perilaku Teman
-
Dugaan Korupsi Whoosh Diusut KPK, PDIP: Bu Mega Sudah Ingatkan Sejak 2015
-
Yudo Sadewa Anak Menkeu Purbaya Kembali, Bawa Ramalan 'Ngeri': Dunia Dihantam Krisis Besar 2027-2032
-
Kenapa Keputusan Trump Buka Suaka Margasatwa Arktik untuk Pengeboran Minyak Tuai Kontroversi?
-
Parade 11 Purnawirawan Jenderal di Kantor Mahfud MD, Sinyal Darurat Selamatkan Polri?
-
Viral Kepergok Party, Beasiswa KIP-K Mahasiswi UNS Resmi Dicabut
-
Pemprov DKI Sulit Penuhi Subsidi Transjakarta Setelah DBH Dipangkas Pusat, Kini Tarifnya Bakal Naik
-
Jalan Cakung-Cilincing Luber Minyak Goreng usai Truk Terguling, 20 Pemotor jadi Korban
-
Biar Warga Naik Angkutan Umum, Pramono Minta Kepala Daerah Penyangga Siapkan Park and Ride