News / Nasional
Kamis, 06 November 2025 | 14:37 WIB
Ilustrasi polisi. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
Baca 10 detik
  • Adrianus menyoroti budaya internal kepolisian yang ia sebut sebagai “police brotherhood”.
  • Menurutnya Polri organisasi perekrut SDM yang sangat besar.
  • Penyelesaian kasus memang bisa memberi kelegaan bagi satu atau dua orang korban.

Suara.com - Kriminolog yang juga Guru Besar Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, Prof. Dr. Adrianus Meliala, menegaskan bahwa Polri merupakan institusi yang wajib diawasi secara ketat karena memiliki peran besar, kewenangan luas, dan potensi penyalahgunaan kekuasaan yang tinggi.

“Polri itu organisasi perekrut SDM yang sangat besar, sudah mencapai lebih dari 400 ribu anggota, begitu juga PNS-nya. Selain itu, Polri juga salah satu pengguna anggaran negara terbesar, bahkan konon sudah mencapai sekitar Rp300 triliun,” ujar Adrianus dalam Webinar dan Peluncuran Buku Dinamika dan Tantangan Pengawasan Internal Kepolisian, dikutip Kamis (6/11/2025).

Ia menjelaskan, luasnya jangkauan Polri dari Sabang sampai Merauke, serta kewenangan aparat dalam merampas hak asasi individu atau kelompok dalam konteks penegakan hukum, membuat pengawasan menjadi mutlak.

“Perangkatnya tersebar dari Sabang sampai Merauke, memiliki kewenangan merampas HAM individu/kelompok khususnya terkait dengan perbuatan pidana serta memiliki kemampuan menggunakan perangkat kekerasan,” tegasnya.

"Maka menjadi wajar dan perlu diawasi guna menjamin gerak langkah polri tetap berada dalam koridor kewenangannya," lanjut dia.

Adrianus mengibaratkan fungsi pengawasan terhadap Polri seperti pendulum yang bergerak dari kiri ke kanan, di mana sisi kiri adalah kasus-kasus dan sisi kanan adalah kebijakan.

“Tidak benar kalau kegiatan oversight hanya terbatas mengurusi kasus demi kasus. Harus juga naik ke arah penyebab kasus-kasus itu,” jelasnya.

Menurutnya, penyelesaian kasus memang bisa memberi kelegaan bagi satu atau dua orang korban. Namun, jika pengawasan bisa mendorong lahirnya kebijakan yang tepat, maka manfaatnya akan jauh lebih luas.

“Kalau kita bisa membuat kebijakan yang baik dan direkomendasikan ke pimpinan Polri untuk dijadikan kebijakan resmi, maka bukan hanya satu dua orang yang bahagia. Seribu, dua ribu orang akan tercegah menjadi korban penyimpangan kepolisian. Di situlah oversight menjalankan fungsi sejatinya,” ujarnya.

Baca Juga: Narkoba Rp29 Triliun Dibakar, Aset Bandar Rp241 Miliar Dipamerkan di Depan Prabowo

Lebih jauh, Adrianus menyoroti budaya internal kepolisian yang ia sebut sebagai “police brotherhood”, semangat solidaritas sesama anggota yang kadang justru berpotensi menjadi bumerang.

Menurutnya, ketika Polri menghadapi keterbatasan anggaran, personel, dan dukungan publik, muncul kecenderungan toleransi terhadap penyimpangan yang dilakukan dengan alasan “niat baik” atau under good faith.

“Lama-kelamaan, toleransi itu menjadi hal yang normal. Penyimpangan yang dulu dianggap ekstrem, kini dianggap moderat. Bahkan, dianggap aneh kalau ada pihak yang ingin menghilangkannya,” ungkapnya.

Kondisi inilah yang menurutnya menurunkan komitmen perubahan di tubuh Polri.

“Maka terkait hal-hal yang sudah dianggap normal dan moderat tadi, menjadi menghasilkan komitmen perubahan yang rendah,” kata Adrianus.

Reporter: Maylaffayza Adinda Hollaoena

Load More