News / Nasional
Kamis, 18 Desember 2025 | 17:15 WIB
Sejumlah anak bermain bola memanfaatkan penutupan jembatan Kewek di Kota Yogyakarta. (Suara.com/Ema)
Baca 10 detik
  • Penutupan Jembatan Kewek Yogyakarta sejak 10 Desember 2025 karena struktur kritis.
  • Fenomena ini menyoroti krisis ruang terbuka publik Kota Yogyakarta yang padat, dengan RTH publik baru mencapai delapan persen.
  • Pakar menekankan kebutuhan mendesak ruang ekspresi sosial bagi pemuda, menyarankan kolaborasi aglomerasi dan optimalisasi bantaran sungai.

Ruang itu mendadak lengang, namun tidak mati. Justru, keheningan mesin digantikan oleh suara yang makin langka terdengar di pusat kota: tawa riang anak-anak.

Setiap sore, bocah SD hingga orang dewasa "mengokupasi" Jembatan Kewek. Satria, siswa kelas 3 SD, adalah salah satu pengunjung setia. Baginya, aspal jembatan ini jauh lebih mewah dibanding fasilitas di kampungnya.

"Di balai sempit, enggak boleh main bola. Di sini bisa bebas," kata Satria polos.

Rina (54), warga Ledok Tukangan, mengamini hal itu. Bagi warga di permukiman padat yang minim lahan kosong, penutupan jembatan adalah berkah tersembunyi.

"Beberapa hari setelah ditutup itu lah mereka mulai berani main di Jembatan Kewek ini," ucap Rina.

Sementara bagi Firdaus, warga Kota Jogja lainnya, aktivitas warga ini memberi nyawa pada proyek infrastruktur yang mangkrak sementara.

"Daripada cuma main di gang," ujar Firdaus singkat namun menohok.

Pemandangan sore di Jembatan Kewek kini berubah menjadi festival sederhana: gawang kecil dipasang, papan skateboard beradu dengan aspal, hingga pemuda yang sekadar duduk menikmati sunset berlatar kereta api yang melintas.

Rehandika (18) menyebutnya bak lapangan baru di tengah kota yang sesak.

Baca Juga: 5 Pilihan Hotel Jogja Murah untuk Liburan Akhir Tahun

Jogja Semakin Sesak, Ruang Hijau Jauh dari Ideal

Fenomena Jembatan Kewek membuka mata pada data yang meresahkan. Dengan luas hanya 32,8 km persegi, Kota Yogyakarta dihuni 415.605 jiwa (Data Dukcapil 2024).

Kepadatan mencapai 12.664 jiwa per km persegi—angka yang fantastis dibanding rata-rata nasional.

Sempitnya lahan berbanding lurus dengan minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH). Data DLH Kota Jogja 2024 mencatat RTH baru mencapai 23 persen (8 persen publik, 15 persen privat).

Angka ini masih di bawah mandat UU Penataan Ruang yang mensyaratkan 30 persen (20 persen publik).

"Kalau idealnya belum ya. Publiknya itu idealnya kan 20 persen, kita baru 8 persen," aku Kepala Bidang Ruang Terbuka Hijau Publik DLH Kota Jogja, Rina Aryati Nugraha.

Load More