- Hanya dalam rezim demokratis-lah yang memungkinkan bagi kita untuk melakukan interupsi terhadap segala ketidakadilan.
- Kajian mengenai demokrasi Indonesia menarik perhatian banyak ilmuwan, dan memantik perdebatan ilmiah dalam wacana akademik global.
- Dari peta akademik yang ada, maka kita akan tahu bahwa analisis struktur kekuasaan akan menemukan relevansinya.
Suara.com - Mendengar term demokrasi, yang terlintas dalam imaji saya ketika masih duduk di sekolah menengah adalah suatu “masyarakat ilmiah” yang mana setiap warga negara bisa dan terbiasa memperdebatkan argumentasi secara rasional. Sebab itu, demokrasi mengandaikan kekuatan diskursus, dan bukannya kekerasan, bukan juga kekuataan uang.
Apa yang diandaikan dalam demokrasi adalah kekuataan reason, dan salah satu indikator kesuksesan demokratisasi adalah dengan tumbuhnya penalaran publik.
Namun, secara de facto, sebagaimana yang ditulis oleh James Miller dalam Can Democracy Work? A Short History of a Radical Idea from Ancient Athens to Our World (2018), bahwa sepanjang episode sejarah demokrasi yang membentang dari era klasik hingga modern, praktik demokrasi kerap menghadirkan kontradiksi, bahkan kekecewaan.
Lalu apa saja kontradiksi dan kekecewaan itu terutama bila merujuk pada pengalaman Indonesia? Tulisan ini mengelaborasi pertanyaan tersebut lebih lanjut.
“Cacat Bawaan” Demokrasi
Miller (2018) menulis bahwa tantangan dalam demokrasi “are manifold and perhaps intractable”. Beragamnya tantangan dan mungkin sulit teratasi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Miller tersebut barangkali berkaitan erat dengan cacat bawaan dalam demokrasi itu sendiri. Itu artinya, berbagai masalah dalam demokrasi justru memang dimungkinkan di dalam sistem demokrasi itu sendiri sebagai salah satu konsekuensi logisnya.
Dalam konteks pengalaman Indonesia misalnya, dan di banyak negara lainnya, demokrasi bukan hanya rentan terjadi “tirani mayoritas”, tetapi juga sekelompok kecil elite yang begitu mendominasi ekonomi dan perpolitikan, dan kepentingan private mereka tadi sanggup mengintervensi apa-apa yang menyangkut kehidupan publik.
Diskursus yang diandaikan dalam demokrasi, secara brutal dan tragis digantikan oleh “transaksi di pasar gelap”; kekuatan pikiran digantikan oleh kekuatan uang. Suatu kondisi yang jika terus berlarut maka bukan tidak mungkin menjadi suatu “bom waktu” karena melahirkan suatu krisis legitimasi yang bisa berujung gelombang protes, dan berpotensi melahirkan kekerasan dan darah. Padahal yang diandaikan dalam demokrasi adalah pertarungan wacana komunikatif .
Namun, terlepas dari kontradiksi dan kekecewaan terhadap demokrasi yang tersaji sepanjang sejarah, termasuk bila mengacu pada pengalaman Indonesia.
Baca Juga: PVRI: Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Tanda Kembalinya Bayang-Bayang Orde Baru?
Saya berpandangan bahwa hanya dalam rezim demokratis-lah yang memungkinkan bagi kita untuk melakukan interupsi terhadap segala ketidakadilan dan praktik penyelewengan.
Peta Akademik Demokrasi Indonesia
Kajian mengenai demokrasi Indonesia menarik perhatian banyak ilmuwan, dan memantik perdebatan ilmiah dalam wacana akademik global. Edward Aspinall dan Marcus Mietzner dalam Problems of Democratisation in Indonesia: An Overview (2010) berusaha untuk memetakan bagaimana pandangan ilmuwan mengenai perkembangan demokrasi Indonesia.
Keduanya menyebut, berbeda dengan era Soeharto yang lebih mudah diidentifikasi terkait tipe rezim pemerintahan dan sistem politiknya, era pasca-Soeharto justru lebih kompleks sehingga tidak ada term yang diterima secara luas di kalangan pengkaji ilmu sosial.
Pada periode pasca-Soeharto, ketika ilmuwan menyebut Indonesia sebagai negara demokrasi, mereka biasanya mengkualifikasi kata benda tersebut dengan berbagai imbuhan kata sifat seperti kolusif atau delegatif, terkonsolidasi tetapi patrimonial, berkualitas rendah dan sebagainya.
Namun, keduanya menyebut bahwa setidaknya ada tiga perspektif besar dalam memandang demokrasi Indonesia. Sebagian ilmuwan berpendapat bahwa perkembangan demokrasi Indonesia sangat dinamis dan sebab itu dipandang positif.
Berita Terkait
-
Di Hari Sumpah Pemuda, Puan Ajak Generasi Muda Kawal Demokrasi dengan Etika dan Akal Sehat
-
Bahlil 'Dihujat' di Medsos, Waketum Golkar Idrus Marham: Paradoks Demokrasi
-
Robert De Niro Keluarkan Peringatan Keras, Anggap Trump Ancaman Terbesar Bagi Demokrasi AS
-
Ada Warisan Historis, Pengamat Unpam Sebut Demokrasi RI Tidak Menunjukkan Perbaikan di Era Prabowo
Terpopuler
- Penyerang Klub Belanda Siap Susul Miliano Bela Timnas Indonesia: Ibu Senang Tiap Pulang ke Depok
- 27 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 26 Oktober: Raih 18.500 Gems dan Pemain 111-113
- Gary Neville Akui Salah: Taktik Ruben Amorim di Manchester United Kini Berbuah Manis
- 5 Mobil Bekas 30 Jutaan untuk Harian, Cocok buat Mahasiswa dan Keluarga Baru
- Belanja Mainan Hemat! Diskon 90% di Kidz Station Kraziest Sale, Bayar Pakai BRI Makin Untung
Pilihan
-
Tak Mau Ceplas-ceplos Lagi! Menkeu Purbaya: Nanti Saya Dimarahin!
-
H-6 Kick Off: Ini Jadwal Lengkap Timnas Indonesia di Piala Dunia U-17 2025
-
Harga Emas Hari Ini Turun: Antam Belum Tersedia, Galeri 24 dan UBS Anjlok!
-
5 Fakta Wakil Ketua DPRD OKU Parwanto: Kader Gerindra, Tersangka KPK dan Punya Utang Rp1,5 Miliar
-
Menkeu Purbaya Tebar Surat Utang RI ke Investor China, Kantongi Pinjaman Rp14 Triliun
Terkini
-
Quo Vadis Komite Otsus Papua?
-
Konsolidasi, Ambisi, dan Ketegangan: Menilai Tahun Pertama Prabowo-Gibran
-
Catatan Setahun Prabowo-Gibran di Bidang Pangan
-
Green Democracy, Menkeu Baru dan Arah Ekonomi
-
Prabowo dan Fenomena 'Strongman': Refleksi Citra Kepemimpinan di Panggung Global dan Domestik
-
Mengulik 'Kelangkaan' BBM di SPBU Swasta
-
Renungan Hari Tani: Tanah Subur, Petani Tak Makmur