Suara.com - Sebuah penelitian terbaru mengungkapkan bahwa Bumi pernah mengalami kegelapan selama hampir dua tahun, yang mengakibatkan punahnya sekitar 75 persen dari seluruh spesies yang hidup di permukaan planet ini.
Studi yang diterbitkan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences pada 21 Agustus kemarin itu mengungkapkan bahwa sekitar 65,5 juta tahun silam sebuah asteroid raksasa menghantam Bumi dan menyebabkan matahari hilang dari langit selama hampir dua tahun.
Kegelapan berkepanjangan ini disebabkan, salah satunya, oleh awan abu yang berasal dari kebakaran yang sangat luas di Bumi. Tanpa sinar matahari, tumbuh-tumbuhan di Bumi tak bisa berfotosintesis dan planet menjadi sangat dingin.
Dua faktor inilah yang menyebabkan rusaknya rantai makanan di Bumi dan memicu salah satu kepunahan massal - ketika spesies-spesies dinosaurus lenyap - dalam sejarah Bumi.
Asteroid berdiameter hampir 10km itu menghantam kawasan yang kini kita kenal sebagai Semenanjung Yucatan, Meksiko dan diduga memicu gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung-gunung berapi.
Hujan Api
Selain itu, tabrakan antara asteroid dengan permukaan Bumi juga menyebabkan batuan hancur lebur hingga menguap ke atmosfer. Di lapisan atmosfer, batuan-batuan tadi kembali memadat menjadi partikel-partikel kecil yang disebut spherule.
Ketika spherule ini kembali menghujani Bumi, mereka saling bergesekkan, dan memantik hujan api di seluruh permukaan Bumi. Sisa-sisa spherule ini, menurut para ilmuwan, masih bisa ditemukan saat ini.
Sebagian besar binatang darat pada masa itu langsung mati akibat hantaman asteroid, tetapi "binatang yang hidup dalam laut atau yang bisa bersembunyi di dalam tanah atau air, selamat," demikian kata Charles Bardeen, ilmuwan dari National Center for Atmospheric Research (NCAR) di Boulder, Colorado, AS, yang memimpin studi tersebut.
"Studi kami berusaha mengungkap kisah setelah tabrakan - setelah gempa bumi, tsunami, dan pemanasan ekstrem menerpa Bumi," jelas Bardeen.
"Kami ingin meneliti konsekuensi jangka panjang dari hujan abu yang tercipta setelah benturan dan bagaimana konsekuensi itu memengaruhi mahluk-mahluk hidup yang tersisa," beber dia lebih lanjut.
Dalam studi ini Bradeen dkk menggunakan Community Earth System Model (CESM), sebuah pemodelan iklim-kimiawi modern yang memperhitungkan faktor-faktor terkait atmosfer, daratan, lautan, dan lautan es dalam analisisnya.
Dengan pemodelan ini para ilmuwan bisa membuat simulasi tentang efek awan abu di atmosfer terhadap Bumi dalam jangka waktu tahunan setelah jatuhnya asteroid di Bumi.
Awan Abu
Menurut Bardeen beberapa penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa ada beberapa jenis partikel, seperti debu, sulfat, dan abu atau jelaga yang melesat ke angkasa setelah asteroid menghantam Bumi.
"Semua partikel ini bisa memblok sinar matahari, tetapi hanya awan abu yang bisa memanaskan stratosfer dan mengurangi sinar matahari di permukaan Bumi hingga pada tingkat yang sangat rendah," kata Bardeen.
Dalam penelitian itu para ilmuwan juga menggunakan hasil penelitian sebelumnya yang memperkirakan bahwa awan abu atau jelaga yang tercipta akibat jatuhnya asteroid itu bobotnya sekitar 15.000 juta ton.
"Studi kami menunjukkan bahwa (dengan jumlah sebanyak itu) abu bisa membuat Bumi cukup gelap sehingga tumbuhan tak bisa berfotosintesis selama dua tahun," imbuh Bardeen.
Bardeen mengatakan fenomena ini punya efek dasyat, terutama bagi mahluk hidup di lautan yang sangat mengandalkan phytoplankton sebagai sumber makanan utama.
"Kehilangan sumber makanan ini merupakan bencana bagi keseluruhan rantai makanan," ujar dia.
Mengikis Ozon
Selain menghentikan fotosintesis, awan abu yang menyelimuti Bumi juga memblok panas matahari sehingga tak bisa mencapai permukaan Bumi.
Sekitar setahun setelah jatuhnya asteroid, suhu di daratan turun sebesar 28 derajat Celcius dan suhu di lautan turun hingga 11 derajat Celcius.
Sebaliknya suhu di stratosfer memanas, karena awan abu yang melayang di area itu menyerap panas matahari. Suhu panas ini diperkirakan telah mengikis lapisan ozon dan menyebabkan sejumlah besar uap air mengisi stratosfer. Ketika uap air ini bereaksi secara kimiawi dengan stratofer, maka akan tercipta hidrogen yang semakin merusak lapisan ozon.
Ketika lapisan ozon semakin tipis dan awan abu menipis, sinar ultraviolet matahari - yang tadinya disaring oleh ozon - menerpa Bumi dan kembali merusak kehidupan di planet kita.
Saat lapisan stratosfer mulai dingin, uap air di sana kemudian berubah menjadi hujan dan menyapu awan abu di atmosfer. Seiring dengan menipisnya awan abu, suhu di stratosfer menjadi lebih dingin sehingga uap-uap air berubah menjadi partikel es. Partikel-partikel es ini pada gilirannya menyapu lebih banyak awan abu di langit.
Proses ini terus berulang, sehingga awan abu ini pada akhirnya hilang dari atmosfer dalam hitungan bulan saja. (Live Science)
Berita Terkait
-
Mengenal Asteroid 2025 PN7, Bulan Kedua yang Mengorbit Bersama Bumi
-
Ilmuwan Pastikan Kawah Silverpit di Laut Utara Tercipta akibat Asteroid
-
NASA Siapkan Opsi Nuklir untuk Cegah Asteroid Tabrak Bulan
-
NASA Pastikan Asteroid Raksasa Tidak Ancam Bumi, Tapi Potensi Tabrakan dengan Bulan
-
Ilmuwan Prediksi Ancaman Asteroid Sebesar Lapangan Bola Menabrak Bumi, Potensi Kiamat?
Terpopuler
- 3 Mobil Bekas 60 Jutaan Kapasitas Penumpang di Atas Innova, Keluarga Pasti Suka!
- 5 Sepatu Lokal Senyaman Skechers, Tanpa Tali untuk Jalan Kaki Lansia
- 9 Sepatu Puma yang Diskon di Sports Station, Harga Mulai Rp300 Ribuan
- Cek Fakta: Viral Ferdy Sambo Ditemukan Meninggal di Penjara, Benarkah?
- 5 Mobil Bekas yang Lebih Murah dari Innova dan Fitur Lebih Mewah
Pilihan
-
In This Economy: Banyolan Gen Z Hadapi Anomali Biaya Hidup di Sepanjang 2025
-
Ramalan Menkeu Purbaya soal IHSG Tembus 9.000 di Akhir Tahun Gagal Total
-
Tor Monitor! Ini Daftar Saham IPO Paling Gacor di 2025
-
Daftar Saham IPO Paling Boncos di 2025
-
4 HP Snapdragon Paling Murah Terbaru 2025 Mulai Harga 2 Jutaan, Cocok untuk Daily Driver
Terkini
-
23 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 31 Desember 2025, Klaim Hadiah Tahun Baru Gratis!
-
Tier List Pet Game Grow A Garden Desember 2025: Hadirkan Mutasi dan Panen Terbaik
-
5 Rekomendasi Smartwatch yang Bisa WhatsApp, Harga Mulai Rp300 Ribuan
-
8 Cara dan Prompt AI Membuat Video Renovasi Rumah Berantakan Jadi Rapi
-
Registrasi Kartu SIM Pakai Face Recognition Tuai Keraguan Publik, Isu Keamanan Data Jadi Sorotan
-
5 Tablet Murah untuk Anak SMP Awet, Mulai Rp1 Jutaan Nyaman untuk Belajar
-
Tren Stiker LINE 2025: Emosi, Humor, dan Karya Lokal Jadi Raja Percakapan Digital
-
Infinix Siapkan Note Edge, HP Midrange Layar Lengkung yang Siap Guncang Pasar Indonesia
-
HP Murah Tecno Camon 50 Lolos Sertifikasi di Indonesia, Baterai Makin Jumbo
-
Registrasi SIM Pakai Face Recognition Mulai 2026, Solusi Keamanan atau Ancaman bagi Konter Pulsa?