Tekno / Sains
Senin, 13 April 2020 | 14:54 WIB
Presiden Jokowi berfoto bersama Presiden AS Donald Trump - (Dok Biro Pers Kepresidenan)
Baca 10 detik

Pemimpin jenis ini umumnya rentan terhadap rasa puas diri dan menunda-nunda (complacency), yang merupakan bentuk bias kognitif yang membuat seseorang percaya bahwa mereka memiliki kemungkinan kecil terkena masalah dibandingkan orang lain.

Ketika berbagai berita terkait Covid-19 di Tiongkok membanjiri layar kaca dan media sosial pada Januari, Trump di AS, Perdana Menteri Boris Johnson di Inggris dan Presiden Joko Widodo di Indonesia sangat optimistis dan cenderung naif berpikir bahwa semua akan baik-baik saja dan yakin wabah tidak akan menghantam negara mereka.

Kendati memiliki kapasitas luar biasa besar, pemerintahan Trump menunda respon terhadap wabah. Dia gagal mempersiapkan kebijakan fiskal, alokasi sumber daya, dan logistik, serta gagal mengambil langkah keimigrasian yang perlu pada Januari dan Februari. Akibat kelalaiannya, saat ini AS menjadi negara dengan kasus kematian tertinggi di dunia.

Jokowi praktis menganggap remeh peringatan-peringatan sejak awal mula wabah, serta menunda penyiapan sistem kesehatan secara menyeluruh termasuk mempersiapkan fasilitas uji kesehatan sejak dini. Akibatnya, Indonesia kini memiliki tingkat kematian tertinggi di dunia (di atas 8%).

Sebaliknya, pemerintahan seperti di Jerman, Kanada maupun Selandia Baru, bertindak lebih cepat. Jerman menerapkan kebijakan tes secara agresif (160.000 tes per minggu) dan mampu menemukan kasus lebih awal. Jerman saat ini memiliki tingkat kematian pada level 1,6%.

Strategi tes skala luas juga diterapkan di Kanada dan hal ini membantu Kanada menahan laju kematian pada angka 1,8%. Sedangkan Selandia Baru secara konsisten meningkatkan tes cepat dan menjaga tingkat kematian jauh di bawah 1%.

2. Kepemimpinan yang ambigu

Pemimpin populis seperti Trump atau Jair Bolsonaro di Brasil, cenderung memobilisasi berita bohong dan misinformasi dalam kampanye mereka.

Mereka tidak memiliki kemampuan menggunakan data dalam strategi kebijakan publik mereka. Pengabaian atas sains dan ilmu pengetahuan membuat mereka sulit membedakan mana yang benar dan mana yang salah pada saat yang genting.

Baca Juga: Permenhub Soal Covid-19: Ojek Dibolehkan Bonceng Penumpang

Sayangnya, saat malapetaka terjadi, sikap ambigu mereka makin menjadi-jadi.

Ketimbang menunjukkan komitmen pada bukti dan mendengar para ahli, Trump mengalihkan perhatian rakyatnya pada simbol-simbol agama – misal, Trump justru mengumumkan hari doa nasional pada 15 Maret lalu.

Hal serupa terjadi juga di Indonesia. Pemimpin kita mengambil alih peran alim-ulama untuk menenangkan rakyat lewat doa dan narasi keagamaan, namun pada saat yang sama menunda upaya-upaya penanggulangan epidemi.

Indonesia terlambat merespon sedikitnya 45 hari sejak lockdown di Wuhan, Cina.

Bolsonaro di Brasil menganggap Covid-19 “cuma flu”, “trik media” dan malah menuduh media melakukan “kampanye konyol” dengan maksud melengserkan dia.

3. Anti-sains

Load More