Suara.com - Para astronom di Harvard–Smithsonian Center for Astrophysics menemukan objek terjauh di alam semesta, yaitu galaksi sejauh 13,5 miliar tahun cahaya dari Bumi.
Dijuluki HD1, itu menunjukkan bahwa galaksi tersebut merupakan salah satu galaksi awal yang ditemukan.
Sekitar 14 miliar tahun yang lalu alam semesta adalah ruang kosong tanpa bintang atau galaksi.
"Galaksi pertama terbentuk sekitar 100 juta tahun setelah Big Bang. Itu memiliki sepersejuta massa Bimasakti dan jauh lebih padat," kata Avi Loeb, peneliti studi dan astrofisikawan Harvard, dikutip dari Live Science, Jumat (8/4/2022).
Para ilmuwan sendiri belum memiliki data yang rinci tentang HD1, mengingat jaraknya yang sangat jauh.
Para peneliti menemukan HD1 dalam data yang dikumpulkan selama 1.200 jam waktu pengamatan menggunakan Teleskop Subaru, Teleskop VISTA, Teleskop Inframerah Inggris, dan Teleskop Luar Angkasa Spitzer.
Tim secara khusus melihat pergeseran merah, sebuah fenomena di mana gelombang cahaya meregang atau menjadi lebih merah saat sebuah objek bergerak menjauh dari pengamat.
Para ahli kemudian menemukan bahwa panjang gelombang merah setara dengan galaksi yang terletak 13,5 miliar tahun cahaya.
HD1 juga tampaknya tumbuh dengan kecepatan tinggi, sekitar 100 bintang setiap tahun atau setidaknya 10 kali lipat dari kecepatan yang diprediksi.
Baca Juga: Ilmuwan Ungkap Umur Piringan Bimasakti Lebih Tua dari Perkiraan Sebelumnya
Bintang-bintang di dalam galaksi tersebut juga juga lebih masif, lebih terang, dan lebih panas daripada bintang yang lebih muda.
Oleh karena itu, HD1 bisa menjadi rumah bagi bintang pertama alam semesta, yang disebut bintang Populasi III.
Jika identitas tersebut dikonfirmasi, maka ini akan menjadi pengamatan pertama dari jenis bintang seperti itu.
Namun, masih ada kemungkinan bahwa HD1 adalah lubang hitam supermasif dengan massa sekitar 100 juta kali massa Matahari.
Untuk mengetahui identitas asli HD1, para ahli dapat mencari sinar-X, yang dipancarkan saat material dilahap oleh gravitasi lubang hitam.
"Jika HD1 adalah lubang hitam, kita harus melihat emisi sinar-X darinya. Jika kita tidak menemukan sinar-X, emisi itu pasti berasal dari bintang masif," tambah Loeb.
Berita Terkait
Terpopuler
- Penyerang Klub Belanda Siap Susul Miliano Bela Timnas Indonesia: Ibu Senang Tiap Pulang ke Depok
- 27 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 26 Oktober: Raih 18.500 Gems dan Pemain 111-113
- Gary Neville Akui Salah: Taktik Ruben Amorim di Manchester United Kini Berbuah Manis
- 5 Mobil Bekas 30 Jutaan untuk Harian, Cocok buat Mahasiswa dan Keluarga Baru
- Belanja Mainan Hemat! Diskon 90% di Kidz Station Kraziest Sale, Bayar Pakai BRI Makin Untung
Pilihan
-
Harga Emas Hari Ini Turun: Antam Belum Tersedia, Galeri 24 dan UBS Anjlok!
-
5 Fakta Wakil Ketua DPRD OKU Parwanto: Kader Gerindra, Tersangka KPK dan Punya Utang Rp1,5 Miliar
-
Menkeu Purbaya Tebar Surat Utang RI ke Investor China, Kantongi Pinjaman Rp14 Triliun
-
Dari AMSI Awards 2025: Suara.com Raih Kategori Inovasi Strategi Pertumbuhan Media Sosial
-
3 Rekomendasi HP Xiaomi 1 Jutaan Chipset Gahar dan RAM Besar, Lancar untuk Multitasking Harian
Terkini
-
5 Rekomendasi Smartwatch yang Ramah Orang Tua, Simpel Gampang Dipakai
-
5 Tablet Snapdragon Terbaik Spek Setara Flagship, Harga Mulai Rp1 Jutaan
-
Teknologi Bertemu Seni: SMARTFREN Malam 100 Cinta 2025 Tampilkan Orkestra Digital untuk Negeri
-
Pemerintah Diminta Siap Hadapi AI, dari SDM hingga Perkuat Keamanan Siber
-
Garmin Instinct Crossover AMOLED: Perpaduan Ketangguhan dan Keanggunan dalam Satu Smartwatch Hybrid
-
Redmi Turbo 5 Bakal Lebih Tangguh dengan Baterai Jumbo
-
Microsoft Dikecam Akibat Fitur Gaming Copilot yang Langgar Privasi
-
Komdigi Target 38 Kabupaten/Kota Punya Kecepatan Internet 1 Gbps di 2029, Ini Caranya
-
3 Cara Menghubungkan iPhone ke PC, Mudah dan Cepat untuk Transfer Data
-
BRIN Gelar INARI EXPO 2025: Dorong Kolaborasi dan Riset untuk Ekosistem Inovasi Berkelanjutan