Tekno / Sains
Selasa, 18 November 2025 | 12:05 WIB
Ilustrasi penggunaan tenaga surya dan angin sebagai sumber energi bersih (Pexels)

Sementara proyek energi bersih sering kali dianggap berisiko lebih tinggi sehingga bunga pinjaman pun meningkat.

Akibatnya, meskipun energi terbarukan lebih murah dalam jangka panjang, biaya awal yang tinggi membuat banyak negara berkembang tetap mengandalkan batubara dan gas untuk mengimbangi lonjakan kebutuhan listrik.

Para ahli menekankan perlunya kerja sama internasional agar negara berkembang tidak tertinggal dalam revolusi energi bersih. Pemerintah dan bank pembangunan global dapat membantu dengan memberikan jaminan, stabilitas kebijakan, atau skema asuransi untuk menurunkan risiko investasi. Jika risiko menurun, bunga pinjaman ikut turun—dan energi terbarukan menjadi opsi paling masuk akal secara ekonomi.

Transisi energi global juga dipengaruhi dinamika geopolitik dan arah kebijakan negara-negara besar. Dalam laporan Reuters (17/11/2025), disebutkan bahwa sejak berlakunya Perjanjian Paris pada 2015, perjalanan transisi energi justru semakin terfragmentasi. Amerika Serikat, Tiongkok, dan Eropa kini berjalan dengan strategi masing-masing, dipengaruhi kepentingan ekonomi nasional.

Tiongkok menjadi contoh paling mencolok. Negara ini adalah konsumen energi terbesar sekaligus penghasil emisi karbon terbesar di dunia. Namun ambisi mengurangi ketergantungan impor energi membuat Beijing berinvestasi besar-besaran pada sumber energi domestik—baik fosil maupun terbarukan.

Tiongkok kini menjadi pemimpin global dalam produksi panel surya, baterai, dan bahan baku energi bersih, serta menyumbang lebih dari 60% penambahan kapasitas energi terbarukan dunia pada 2024.

Di sisi lain, Tiongkok masih memperluas penggunaan pembangkit listrik tenaga batubara untuk mengantisipasi lonjakan permintaan dan intermitensi energi surya-angin. Meski begitu, negara tersebut menargetkan netral karbon pada 2060 dan klaimnya bahwa emisi telah mencapai puncak tampaknya semakin mendekati kenyataan.

Berbeda dengan Tiongkok, Amerika Serikat menunjukkan arah yang lebih berliku. Setelah kembali ke Perjanjian Paris di era Biden, negara tersebut kembali menarik diri di awal masa jabatan kedua Donald Trump pada 2025.

Dengan potensi energi fosil yang besar, terutama gas alam dan minyak, transisi energi AS diperkirakan terus melambat. Investor pun menjadi ragu untuk menanamkan modal pada teknologi rendah karbon karena ketidakpastian kebijakan jangka panjang.

Baca Juga: Pramono Anung Resmikan Pemanfaatan Biogas Septik Komunal di Jakarta Timur

Di Eropa, semangat transisi energi juga terganggu oleh perang Rusia-Ukraina yang memicu lonjakan harga energi. Ketergantungan pada gas Rusia mengakibatkan tekanan ekonomi besar, mendorong beberapa negara menunda atau merevisi target iklim.

Meski masih berkomitmen terhadap netral karbon pada 2050, Eropa kini menghadapi dilema baru: ketergantungan yang meningkat pada impor energi dari Amerika Serikat dan ketergantungan pasokan teknologi hijau dari Tiongkok.

Gambaran besar ini memperlihatkan bahwa transisi energi tidak berjalan lurus. Meski energi terbarukan semakin murah dan semakin banyak digunakan, perjalanan menuju sistem energi global yang bersih akan berlangsung panjang dan penuh tantangan.

Namun para ahli sepakat, jika dunia ingin menghindari dampak terburuk perubahan iklim, percepatan transisi energi harus dimulai dari sekarang—melalui kerja sama internasional, kebijakan yang stabil, serta komitmen politik yang konsisten.

Kontributor : Gradciano Madomi Jawa

Load More