Suara.com - Sebuah penelitian terbaru kembali membuka pembahasan mengenai salah satu misteri terbesar dalam paleoantropologi Indonesia: alasan kepunahan Homo floresiensis, spesies manusia purba berpostur kecil yang dijuluki “hobbit”.
Studi yang dipublikasikan dalam jurnal Communications Earth & Environment ini mengungkap bahwa perubahan iklim ekstrem, penurunan curah hujan, serta letusan gunung berapi besar kemungkinan menjadi faktor utama hilangnya spesies tersebut sekitar 50.000 tahun lalu.
Homo floresiensis pertama kali ditemukan di Liang Bua, sebuah gua di Pulau Flores, dan diumumkan pada 2004. Sejak itu, para ilmuwan terus berusaha menjawab dua pertanyaan besar: bagaimana mereka hidup, dan apa penyebab hilangnya spesies unik ini. Temuan baru memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai kondisi lingkungan yang mereka hadapi menjelang kepunahan.
Mengutip dari Live Science (8/12/2025), berdasarkan analisis terhadap stalagmit dari Liang Luar—gua yang berlokasi dekat Liang Bua—para peneliti menemukan bahwa curah hujan di Flores mengalami penurunan drastis antara 76.000 hingga 50.000 tahun lalu.
Stalagmit dipilih sebagai sumber data karena pertumbuhannya merekam perubahan komposisi mineral akibat variasi air. Ketika curah hujan rendah, pertumbuhan stalagmit melambat dan kandungan magnesium di dalamnya meningkat.
Data menunjukkan bahwa curah hujan tahunan turun dari sekitar 1.560 mm menjadi 990 mm, dan kondisi tersebut bertahan hingga 50.000 tahun lalu. Situasi ini mengakibatkan perubahan besar pada ekosistem pulau kecil seperti Flores, yang bergantung pada pasokan air stabil untuk mempertahankan populasi fauna.
Dampak terbesar dari penurunan curah hujan terlihat pada populasi Stegodon, kerabat gajah purba yang menjadi salah satu sumber makanan utama Homo floresiensis. Penelitian terhadap sisa-sisa gigi Stegodon menunjukkan bahwa hewan ini mulai menyusut populasinya sejak 61.000 tahun lalu dan akhirnya menghilang setelah letusan gunung berapi besar terjadi 50.000 tahun lalu.
Mengutip Live Science (8/12/2025), Nick Scroxton yang merupakan peneliti dari University College Dublin sekaligus salah satu penulis studi, menjelaskan bahwa berkurangnya aliran sungai kemungkinan memaksa Stegodon bermigrasi ke wilayah pesisir untuk mencari sumber air yang lebih stabil.
Homo floresiensis diperkirakan mengikuti jejak mangsanya menuju pesisir, bukan hanya untuk berburu, tetapi juga untuk bertahan hidup di tengah alam yang berubah.
Baca Juga: Pemerintah Perkuat Komitmen Perubahan Iklim, Pengelolaan Karbon Jadi Sorotan di CDC 2025
Namun perpindahan ini kemungkinan membuat mereka bertemu dengan kelompok Homo sapiens yang saat itu mulai menyebar ke berbagai wilayah Asia Tenggara. Pertemuan ini diduga memicu kompetisi perebutan sumber daya, bahkan mungkin konflik langsung. Dengan tubuh yang jauh lebih kecil dan teknologi sederhana, Homo floresiensis berada pada posisi yang kurang menguntungkan.
Selain perubahan iklim, studi tersebut juga menyoroti peran letusan gunung berapi besar di Flores sekitar 50.000 tahun lalu. Lapisan material vulkanik yang menyelimuti pulau dapat memusnahkan sisa vegetasi dan mengubah habitat dalam waktu singkat. Kombinasi letusan dan penurunan curah hujan menjadi tekanan ekologis yang sulit ditahan spesies kecil seperti Homo floresiensis.
Menurut Julien Louys, paleontolog dari Griffith University yang tidak terlibat dalam penelitian, pulau seperti Flores memiliki kerentanan tinggi terhadap perubahan lingkungan. Dengan ruang yang terbatas, hewan tidak dapat berpindah jauh untuk mencari habitat baru.
“Ketika kondisi memburuk, tempat berlindung yang tersisa bisa hilang atau terlalu sempit menampung semua satwa,” ujarnya, mengutip Live Science (8/12/2025). Situasi ini membuat persaingan antar spesies semakin ketat dan meningkatkan risiko kepunahan.
Debbie Argue, pakar paleoantropologi dari Australian National University, juga memuji penelitian ini karena memberikan rekonstruksi iklim yang lebih lengkap dibanding studi sebelumnya. Menurutnya, pemahaman tentang lingkungan masa lalu Flores sangat penting untuk mengetahui konteks kehidupan Homo floresiensis dan penyebab kepunahannya.
Seiring semakin banyaknya data paleoklimatologi dan temuan arkeologi, pandangan mengenai kepunahan “hobbit” Flores kini semakin mengarah pada kombinasi faktor—bukan satu penyebab tunggal.
Berita Terkait
Terpopuler
- 6 Sabun Cuci Muka dengan Kolagen agar Kulit Tetap Kenyal dan Awet Muda
- 9 Sepatu Lokal Senyaman Skechers Ori, Harga Miring Kualitas Juara Berani Diadu
- Shio Paling Hoki pada 8-14 Desember 2025, Berkah Melimpah di Pekan Kedua!
- Sambut HUT BRI, Nikmati Diskon Gadget Baru dan Groceries Hingga Rp1,3 Juta
- 23 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 7 Desember: Raih Pemain 115, Koin, dan 1.000 Rank Up
Pilihan
-
Rekomendasi 7 Laptop Desain Grafis Biar Nugas Lancar Jaya, Anak DKV Wajib Tahu!
-
Harga Pangan Nasional Hari Ini: Cabai Sentuh Rp70 Ribu
-
Shell hingga Vivo sudah Ajukan Kuota Impor 2026 ke ESDM: Berapa Angkanya?
-
Kekhawatiran Pasokan Rusia dan Surplus Global, Picu Kenaikan Harga Minyak
-
Survei: Kebijakan Menkeu Purbaya Dongkrak Optimisme Konsumen, tapi Frugal Spending Masih Menguat
Terkini
-
7 Tablet Lenovo untuk Kerja Produktif, Spek Mumpuni Mulai Rp1 Jutaan
-
Australia Berlakukan Larangan Media Sosial untuk Anak di Bawah 16 Tahun
-
7 Rekomendasi HP Chipset Dimensity 9400, Harga Termurah Dapat Performa Terbaik
-
POCO C85 5G Resmi Debut: HP Murah Pesaing 'Si Kembar' Realme C85 5G
-
Cara Mudah Menampilkan Baris Tersembunyi di Microsoft Excel
-
Katsuhiro Harada Tinggalkan Bandai Namco Setelah 30 Tahun Bersama Tekken
-
Teaser Beredar, Tomb Raider Anyar Bakal Terungkap di The Game Awards 2025
-
27 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 10 Desember: Ada 300 Shards dan Pemain 112-115
-
Axioo Luncurkan Hype R Flip: Laptop 2-in-1 OLED Ultra Fleksibel untuk Kreator Modern
-
58 Kode Redeem FF Terbaru 10 Desember: Diamond Gratis, Mythos Fist, dan Skin M60 Menanti