Suara.com - Ekonom Institut Teknologi Bandung (ITB) Anggoro Budhi Nugroho menyebut dua opsi langkah yang bisa ditempuh untuk meredakan konflik dengan PT Freeport Indonesia terkait penambangan di Papua. Dua opsi tersebut solusi kompromi dan keras.
Opsi yang kompromistis adalah solusi saling menguntungkan kedua pihak. "Kalau mau win win solution, kita hitung ulang, tapi dengan meminimalkan ruang kerugian Indonesia," kata Pengajar Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB ini.
Langkah yang bisa dilakukan pemerintah adalah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai regulasi khusus untuk pelaksanaan Undang-Undang Minerba. Prinsipnya, memberi waktu ke pihak investor untuk memenuhi kewajibannya, tapi dengan sanksi yang tegas dan jelas atas wanprestasi.
PP harus berisi aturan dispensasi umum bagi semua kontraktor kalau belum mampu membangun smelter sesuai tenggat. Jadi PP harus didesain secara umum, tidak hanya berlaku bagi Freeport.
"Sebab solusi ini bisa jadi preseden dan kebingungan bagi perusahaan tambang lain," kata Anggoro. "Varian regulasi apa lagi ini?'
Dalam UU Minerba yang keluar pada 2009 di era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, diatur salah satunya tentang larangan ekspor konsentrat mentah dan kewajiban membangun fasilitas pemurnian (smelter) bagi perusahaan penambang mineral. "Biaya pembangunan smelter ini yang perlu dihitung ulang bersama," kata Anggoro.
Opsi Keras
Jika pemerintah cenderung bersikeras dan menutup negosiasi ulang, lanjut Anggoro, opsi keras bisa ditempuh namun harus ditakar risikonya. "Tapi kalau tak mau jalan tengah, harus siap skenario yang mungkin terjadi," katanya.
Anggoro menyebutkan setidaknya ada tiga hal yang harus dikaji dan dipersiapkan jika pemerintah masih saling ngotot dengan Freeport. Pertama, kerugian berupa penghentian operasi yang dampaknya menambah pengangguran dan terhentinya transfer teknologi serta multiplier effect perekonomian dari operasi Freeport.
Kedua, sudah siap belum teknologi kita untuk melanjutkan penambangan. "Yang ketiga, ongkos politik internasional mengingat presiden AS sekarang tipe unipolar," jelasnya.
Anggoro menambahkan, konflik dengan Freeport yang memanas belakangan ini merupakan warisan rezim sebelumnya. "Istilahnya Jokowi ketiban sampur (kejatuhan sampur) atau cuci piring dari kebijakan rezim sebelumnya," ujar dia.
Baca Juga: Studi: 2030, Usia Warga Dunia Bisa Capai 90 Tahun
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Perbedaan Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia yang Sering Dianggap Sama
- 5 Mobil Bekas yang Perawatannya Mahal, Ada SUV dan MPV
- 5 Mobil SUV Bekas Terbaik di Bawah Rp 100 Juta, Keluarga Nyaman Pergi Jauh
- Sulit Dibantah, Beredar Foto Diduga Ridwan Kamil dan Aura Kasih Liburan ke Eropa
- 13 Promo Makanan Spesial Hari Natal 2025, Banyak Diskon dan Paket Hemat
Pilihan
-
Libur Nataru di Kota Solo: Volume Kendaraan Menurun, Rumah Jokowi Ramai Dikunjungi Wisatawan
-
Genjot Daya Beli Akhir Tahun, Pemerintah Percepat Penyaluran BLT Kesra untuk 29,9 Juta Keluarga
-
Genjot Konsumsi Akhir Tahun, Pemerintah Incar Perputaran Uang Rp110 Triliun
-
Penuhi Syarat Jadi Raja, PB XIV Hangabehi Genap Salat Jumat 7 Kali di Masjid Agung
-
Satu Indonesia ke Jogja, Euforia Wisata Akhir Tahun dengan Embel-embel Murah Meriah
Terkini
-
Anggaran Dikembalikan Makin Banyak, Purbaya Kantongi Rp 10 Triliun Dana Kementerian Tak Terserap
-
Genjot Daya Beli Akhir Tahun, Pemerintah Percepat Penyaluran BLT Kesra untuk 29,9 Juta Keluarga
-
Purbaya Bicara Nasib Insentif Mobil Listrik Tahun Depan, Akui Penjualan Menurun di 2025
-
Stimulus Transportasi Nataru Meledak: Serapan Anggaran Kereta Api Tembus 83% dalam Sepekan!
-
Genjot Konsumsi Akhir Tahun, Pemerintah Incar Perputaran Uang Rp110 Triliun
-
Purbaya Sebut Dana Badan Rehabilitasi Bencana Bersumber dari APBN
-
Purbaya Ogah Alihkan Dana MBG demi Atasi Bencana Banjir Sumatra
-
Penggunaan Keuangan Digital Meningkat, Volume Transaksi QRIS Tembus Rp1.092 Triliun
-
Tutup Tahun, 7 Bank RI Tumbang
-
Purbaya Pakai Uang Korupsi Sitaan Kejagung Rp 6,6 Triliun buat Tambal Defisit APBN