Suara.com - Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada kuartal IV-2020, tepat di masa pandemi Covid-19, sektor pertanian tumbuh 2,59 persen secara year on year (yoy). Prestasi ini diapresisi Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), Arif Satria.
"Sesuai data yang dirilis BPS, sektor pertanian pada kuartal IV-2020, tumbuh 2,59 persen secara year on year (yoy), dimana subsektor pendukung utamanya adalah tanaman pangan sebesar 10,47 persen. Semoga kenaikan ini berlanjut hingga tahun 2021, karena sektor teknis lainya anjlok maka sektor pertanian menjadi penyelamat perburukan resesi ekonomi kuartal III," ujarnya di Banda Aceh, saat memberi kuliah umum di Universitas Syiah Kuala, Sabtu (20/2/2021).
Menurutnya, pertanian merupakan sektor yang memberikan andil besar atau penopang perekonomian nasional. Keberhasilan kebijakan dan program sektor pertanian tak hanya dilihat dari kontribusinya terhadap PDB, namun juga diikuto oleh kinerja ekspor.
Data BPS menyebutkan, kinerja ekspor pertanian tahun 2020 mengalami kenaikan 15,78 persen dari tahun sebelumnya, yakni Rp 390,16 triliun menjadi Rp 451,77 triliun. Ini artinya, pemerintah beserta pemangku kepentingan, khususnya petani, mampu menjaga sektor pertanian tetap eksis dalam menyelamatkan ekonomi nasional.
Pada kesempatan yang sama, Arif membeberkan indeks ketahanan pangan Indonesia, yang terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data Global Food Security Index, indeks ketahanan pangan di Indonesia pada 2014-2019 mengalami kenaikan dan terus membaik.
Pada 2014 mencapai 46,5 indeks, tahun 2018 mencapai 54,8 indeks dan 2019 mencapai 62,6 indeks sehingga Indonesia menduduki peringkat 62 dari 113 negara dunia atau peringkat 12 dari 23 negara Asia Pasifik.
Arif menegaskan, indeks ketahanan pangan berbeda dengan indeks keberlanjutan pangan, karena keduanya memiliki indikator yang berbeda. Indeks ketahanan pangan diukur dari 4 kelompok indikator, yakni keterjangkauan, ketersediaan, kualitas dan keamanan, serta ketahanan sumberdaya alam.
Sementara itu, indeks keberlanjutan pangan diukur oleh tiga kelompok indikator, yaitu penyusutan dan limbah pangan (food loss and waste), pertanian perkelanjutan, dan beban masalah gizi. Kedua indeks tersebut diterbitkan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU), dan indeks yang terbaru adalah berasal dari data tahun 2019 dan 2018. Artinya, kedua Indeks tersebut menggambarkan situasi pada tahun tersebut.
Arif mengatakan, terkait posisi Indonesia tahun 2018 yang lebih rendah dari Ethiopia, itu adalah indeks keberlanjutan pangan dan bukan indeks ketahanan pangan. Sementara itu berdasarkan indeks ketahanan pangan untuk tahun yang sama, posisi Indonesia lebih tinggi dari Ethiopia, Filipina, Pakistan, dan sejumlah negara berkembang lainnya.
Arif menyoroti perlunya memanfaatkan momentum pandemi ini untuk memperkuat kedaulatan pangan. Kebijakan ekonomi perlu difokuskan untuk memajukan pertanian agar pangan tercukupi, lapangan kerja makin terbuka, kemiskinan menurun, dan devisa meningkat.
Artinya, pertanian harus menjadi lokomotif ekonomi nasional dan sumber kemakmuran bangsa. Di sinilah diperlukan strategi baru Agro-maritim 4.0, sebagai bentuk respons terhadap perkembangan Revolusi Industri 4.0. Arif menegaskan perlunya percepatan transformasi menuju agromaritim 4.0.
Berita Terkait
-
Perlu Cermat Baca Indeks Ketahanan Pangan, Ini Sebabnya Menurut Peneliti
-
Banjir di Majalengka, Kementan Nyatakan Siap Bantu Proses Mitigasi
-
Nilai Indeks Naik, Kementan: Status Ketahanan Pangan Indonesia Semakin Baik
-
Realitas Pendidikan di Masa Pandemi, Masalah atau Solusi?
-
Ekonom Senior INDEF Dukung Program Food Estate
Terpopuler
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Bukan Denpasar, Kota Ini Sebenarnya Yang Disiapkan Jadi Ibu Kota Provinsi Bali
- Profil Djamari Chaniago: Jenderal yang Dulu Pecat Prabowo, Kini Jadi Kandidat Kuat Menko Polkam
- Tinggi Badan Mauro Zijlstra, Pemain Keturunan Baru Timnas Indonesia Disorot Aneh Media Eropa
Pilihan
-
Gelombang Keracunan MBG, Negara ke Mana?
-
BUMN Tekstil SBAT Pasrah Menuju Kebangkrutan, Padahal Baru IPO 4 Tahun Lalu
-
Kemiskinan dan Ketimpangan Ekonomi RI Seperti Lingkaran Setan
-
Core Indonesia Sebut Kebijakan Menkeu Purbaya Suntik Rp200 Triliun Dinilai Salah Diagnosis
-
When Botanies Meets Buddies: Sporadies Meramban Bunga Jadi Cerita
Terkini
-
Drama Stok BBM SPBU Swasta Teratasi! Shell, Vivo & BP Sepakat 'Titip' Impor ke Pertamina
-
Program AND untuk 71 SLB, Bantuan Telkom Dalam Memperkuat Akses Digitalisasi Pendidikan
-
Dari Anak Tukang Becak, KUR BRI Bantu Slamet Bangun Usaha Gilingan hingga Bisa Beli Tanah dan Mobil
-
OJK Turun Tangan: Klaim Asuransi Kesehatan Dipangkas Jadi 5 Persen, Ini Aturannya
-
BUMN Tekstil SBAT Pasrah Menuju Kebangkrutan, Padahal Baru IPO 4 Tahun Lalu
-
Buat Tambahan Duit Perang, Putin Bakal Palak Pajak Buat Orang Kaya
-
Bank Mandiri Akan Salurkan Rp 55 Triliun Dana Pemerintah ke UMKM
-
Investasi Properti di Asia Pasifik Tumbuh, Negara-negara Ini Jadi Incaran
-
kumparan Green Initiative Conference 2025: Visi Ekonomi Hijau, Target Kemandirian Energi Indonesia
-
LHKPN Wali Kota Prabumulih Disorot, Tanah 1 Hektare Lebih Dihargai 40 Jutaan