Suara.com - Biaya logistik di Indonesia masih yang tertinggi dibandingkan negara-negara pesaing utama di kawasan ASEAN seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Hasil studi Bank Dunia yang dituangkan dalam laporan berjudul Conecting to Compete 2018 menunjukkan biaya logistik di Indonesia mencapai 23 persen.
“Tidak semua beban biaya logistik ada di Pelindo, tapi juga di instansi lain. Karena itu pasca merger, kita fokus pada pekerjaan rumah yang bisa diselesaikan Pelindo,” ujar Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia (Persero) atau Pelindo, Arif Suhartono.
“Dengan pertumbuhan tahunan sekitar lima persen, tahun ini kita punya target 17,3 juta TEUs,” tambah Arif Suhartono.
Target itu akan dicapai dengan penyeragaman proses bisnis, dan sistem teknologi informasi, serta peningkatan kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusia sebagai tindak lanjut dari proses merger.
Salah satu upaya perbaikan kinerja tersebut dilakukan di Pelabuhan Yos Sudarso, Ambon.
“Mencari kontainer itu seperti mencari kutu di lapangan,” kata General Manager (GM) Pelindo Regional 4 Ambon, I Nengah Suryana Jendra menceritakan kondisi Pelabuhan Ambon pada masa-masa sebelum upaya transformasi dan merger pada 1 Oktober 2021.
Menurut Nengah Suryana, kondisi tersebut terjadi tidak hanya karena sistemnya yang masih manual, tapi juga kondisi lapangan yang semrawut. Dia menerangkan, kontainer atau peti kemas disusun berdasarkan Blok, Slot, Row, dan Tier. Pada awalnya, terminal peti kemas bercampur antara lokasi bongkar dan lokasi pemuatan.
“Driver truk kontainer butuh waktu cukup lama untuk menemukan peti kemas, baik untuk membongkar atau memuat barang,” katanya.
Karena itu, Pelindo memulai transformasi dengan menata terminal peti kemas. Diawali dengan membuat pemetaan, memisahkan blok bongkaran, blok muatan, dan membuat lokasi khusus untuk Cargo Consolidation and Distribution Center (CCDC).
Baca Juga: Presiden Jokowi Minta Investasi Lanjutan Pelabuhan Patimban
“Di lokasi inilah barang akan dibongkar dari peti kemas (stripping) dan dimuat ke dalam peti kemas (stuffing). Blok-bloknya jadi jelas,” ujar Nengah Suryana.
Pelindo Regional 4 kemudian mendatangkan peralatan baru untuk mempercepat proses bongkar muat. Untuk membongkar dari atau memuat barang ke barang di pelabuhan, Pelindo menggunakan dua container crane (CC). Alat bongkar muat di terminal peti kemas juga diganti dari Reach Stackers menjadi Rubber Tyred Gantry (RTG). Pelindo memiliki lima RTG di terminal peti kemas Ambon.
Penggunaan RTG, kata Nengah Suryana, bisa mempercepat proses bongkar muat karena bisa menyusun peti kemas sampai lima tumpukan. Sebelumnya, Reach Stackers hanya bisa menumpuk peti kemas maksimal sampai tiga tier.
“Hasilnya, kapasitas lapangan peti kemas Ambon naik dari semula 190 TEUs (twenty-foot equivalent unit) menjadi 250 TEUs,” terangnya.
Satuan TEUs setara dengan kontainer berukuran 20 feet dengan volume maksimal 25 ton.
Jam operasional pun diubah mengikuti penambahan kapasitas lapangan peti kemas tersebut. Dulu, ujar Nengah Suryana, jam 10 malam pelabuhan sudah gelap.
Sekarang, manajemen Pelindo Regional 4 Ambon menerapkan waktu operasi selama tujuh hari kali 24 jam, dengan sistem tiga shift.
“Sabtu dan Minggu sekarang kita sikat.”ucapnya.
Namun, menurut dia, pada akhirnya yang paling penting dalam proses transformasi tersebut adalah change management.
“Percuma saja lapangan sudah ditata bagus, peralatan yang mumpuni didatangkan, dan juga punya aplikasi yang bagus, kalau orangnya tidak berubah. Karena itu, mindset harus diubah, mulai dari jajaran pimpinan sampai operator di lapangan,” kata Nengah Suryana.
Manajemen Pelabuhan Ambon lalu memulai proses perubahan mindset dengan membawa para tenaga planner dan controller ke beberapa pelabuhan lain untuk belajar praktik kerja terbaik (best practices) dari mereka.
Terminal peti kemas yang dituju antara lain Jakarta International Container Terminal (JICT) di Pelabuhan Tanjung Priok dan terminal peti kemas di Pelabuhan Dwikora di Pontianak.
Mereka juga menjalani pelatihan di fasilitas Learning Center Pelindo.
“Kami membekali mereka bagaimana business process yang baru. Kami memberikan kepada mereka gambaran besar tujuan tranformasi ini. Misalnya, para operator di lapangan perlu tahu apa tujuan akhir dari transformasi ini, bukan hanya memahami pekerjaan mereka sendiri. Mereka harus tahu mengapa proses bongkar muat harus cepat,” bebernya.
Proses perubahan ini, lanjut Nengah Suryana, dimulai dari para manajer di level menengah, terutama para perencana dan kontroler karena kecepatan dan ketepa tan seluruh proses bongkar muat ada di tangan mereka.
“Selain itu, dengan posisi middle management, mereka bisa menjadi pembawa perubahan (agent of change). Mereka bisa menjadi role model bagi karyawan yang lain.” tuturnya.
Proses bongkar muat di pelabuhan sama pentingnya dengan penataan lapangan peti kemas. Setelah proses transformasi, Pelabuhan Ambon sudah menerapkan Windows System untuk mengatur jadwal kedatangan dan keberangkatan kapal agar tidak terjadi penumpukan kapal di pelabuhan.
“Kecepatan bongkar muat di kapal harus selaras dengan yang di lapangan peti kemas agar tidak terjadi penumpukan (bottle neck),” tambahnya.
Hasil proses transformasi ini adalah percepatan waktu sandar (port stay) dan kenaikan produktivitas. Waktu sandar yang semula tiga hari, sekarang bisa dipercepat menjadi satu hari. Produktivitas juga meningkat cukup signifikan. Proses bongkar muat di pelabuhan yang semula hanya 8-10 TEUs per crane per jam menjadi 20 TEUs.
“Karena kita sekarang punya dua, jadi kapasitasnya naik jadi 35-40 per crane per jam.” ucapnya.
Peningkatan kinerja ini dirasakan perusahaan pelayaran Meratus Line. Kepala Cabang Meratus Line Ambon, Samuel Jonathan mengatakan aktivitas bongkar muat sekarang sudah bisa 800-an boks sekali sandar dari sebelumnya hanya 400-500 boks.
“Kapal-kapal juga nggak perlu antre karena sudah ada jadwalnya. Kita juga harus ikut irama Pelindo karena kalau kita lambat, kita sendiri yang rugi,” kata Samuel.
Meratus memiliki dua kapal yang melayani Ambon setiap dua minggu. Transformasi itu merupakan bagian dari rencana besar Pelindo untuk menjadi perusahaan pengelola pelabuhan berkelas internasional. Pada 2025, Pelindo menargetkan pengelolaan peti kemas di atas 20 juta TEUs.
Pada 2019, Pelindo menangani 16,09 juta TEUS, namun sempat turun pada 2020 dan 2021 karena pandemi. Selama dua tahun pandemi, Pelindo menangani masing-masing 15,54 juta TEUs dan 16,04 juta TEUs.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Sepatu Running Lokal Paling Juara: Harga Murah, Performa Berani Diadu Produk Luar
- 7 Bedak Padat yang Awet untuk Kondangan, Berkeringat Tetap Flawless
- 8 Mobil Bekas Sekelas Alphard dengan Harga Lebih Murah, Pilihan Keluarga Besar
- 5 Rekomendasi Tablet dengan Slot SIM Card, Cocok untuk Pekerja Remote
- 7 Rekomendasi HP Murah Memori Besar dan Kamera Bagus untuk Orang Tua, Harga 1 Jutaan
Pilihan
-
Permintaan Pertamax Turbo Meningkat, Pertamina Lakukan Impor
-
Pertemuan Mendadak Jusuf Kalla dan Andi Sudirman di Tengah Memanasnya Konflik Lahan
-
Cerita Pemain Keturunan Indonesia Han Willhoft-King Jenuh Dilatih Guardiola: Kami seperti Anjing
-
Mengejutkan! Pemain Keturunan Indonesia Han Willhoft-King Resmi Pensiun Dini
-
Kerugian Scam Tembus Rp7,3 Triliun: OJK Ingatkan Anak Muda Makin Rawan Jadi Korban!
Terkini
-
Permintaan Pertamax Turbo Meningkat, Pertamina Lakukan Impor
-
Usai CEO Ditangkap, OJK Pantau Ketat Tim Likuidasi Investree
-
Harga Emas di Pegadaian Hari Ini Kompak Melesat
-
Prudential Syariah Bayarkan Klaim dan Manfaat Rp1,5 Triliun Hingga Kuartal III 2025
-
Rupiah Melemah, Sentimen Suku Bunga The Fed Jadi Faktor Pemberat
-
Daftar Pinjol Berizin Resmi OJK: Update November 2025
-
Survei: BI Bakal Tahan Suku Bunga di 4,75 Persen, Siapkan Kejutan di Desember
-
Berapa Uang yang Dibutuhkan untuk Capai Financial Freedom? Begini Trik Menghitungnya
-
Tiru Negara ASEAN, Kemenkeu Bidik Tarif Cukai Minuman Manis Rp1.700/Liter
-
Pemerintah Bidik Pemasukan Tambahan Rp2 Triliun dari Bea Keluar Emas Batangan di 2026