Suara.com - Harga minyak dunia turun tajam pada perdagangan hari Rabu, merosot di bawah level yang terlihat sebelum invasi Rusia ke Ukraina karena data perdagangan China yang suram mendorong kekhawatiran investor tentang risiko resesi.
Mengutip CNBC, Kamis (8/9/2022) minyak mentah berjangka Brent, patokan internasional, ditutup anjlok USD4,83 menjadi USD88 per barel, jatuh di bawah USD90 per barel untuk kali pertama sejak 8 Februari.
Sementara itu, patokan Amerika Serikat, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate, melorot USD4,94, atau 5,7 persen menjadi USD81,94 per barel, level terendah sejak Januari.
"Saat ini pasar mendasarkan kekhawatirannya tentang apa yang akan terjadi karena harga energi yang meningkat tajam di Eropa, permintaan yang melambat di Eropa, dan kenaikan suku bunga," kata Phil Flynn, analis Price Futures Group.
Sejumlah bank sentral dunia dijadwalkan untuk mempertahankan kenaikan suku bunga guna meredam laju inflasi, tetapi beberapa ekonom mengatakan Amerika Serikat tampaknya berada di tempat yang lebih baik untuk menghadapi badai.
Itu mendorong dolar ke puncak 24 tahun terhadap yen, dan level tertinggi 37 tahun versus poundsterling. Dolar AS yang lebih kuat menekan harga minyak, karena sebagian besar penjualan minyak di seluruh dunia ditransaksikan dalam greenback.
Bank Sentral Eropa diperkirakan menaikkan suku bunga yang tajam ketika bertemu pada Kamis. Pertemuan Federal Reserve menyusul pada 21 September.
Bank of Canada menaikkan suku bunga tiga perempat poin persentase ke level tertinggi 14 tahun, Rabu, sesuai ekspektasi, dan mengatakan suku bunga harus naik lebih tinggi guna mengerem inflasi.
Data ekonomi China yang lemah dan kebijakan nol-Covid yang ketat menambah kekhawatiran permintaan. Impor minyak mentah China pada Agustus melorot 9,4 persen dari tahun sebelumnya, data bea cukai menunjukkan.
Baca Juga: Erick Thohir Sebut Harga Pertamax Bisa Turun, Tergantung Harga Minyak Dunia
Harga menarik beberapa dukungan dari Presiden Rusia Vladimir Putin yang akan menghentikan ekspor minyak dan gas negara itu jika pembatasan harga diberlakukan.
Uni Eropa mengusulkan untuk membatasi harga gas Rusia beberapa jam kemudian, meningkatkan risiko penjatahan di beberapa negara terkaya di dunia itu pada musim dingin ini. Gazprom Rusia menghentikan aliran dari pipa Nord Stream 1, memotong sebagian besar pasokan ke Eropa.
Sementara itu, lembaga pemeringkat kredit Fitch, Selasa, mengatakan penghentian pipa Nord Stream 1 meningkatkan kemungkinan resesi di zona euro.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Bekas 30 Jutaan untuk Harian, Cocok buat Mahasiswa dan Keluarga Baru
- Gibran Hadiri Acara Mancing Gratis di Bekasi, Netizen Heboh: Akhirnya Ketemu Jobdesk yang Pas!
- 7 Mobil Bekas Terbaik untuk Anak Muda 2025: Irit Bensin, Stylish Dibawa Nongkrong
- Suzuki Ignis Berapa cc? Harga Bekas Makin Cucok, Intip Spesifikasi dan Pajak Tahunannya
- STY Siap Kembali, PSSI: Tak Mudah Cari Pelatih yang Cocok untuk Timnas Indonesia
Pilihan
-
Indonesia Ngebut Kejar Tarif Nol Persen dari AS, Bidik Kelapa Sawit Hingga Karet!
-
Prabowo Turun Gunung Bereskan Polemik Utang Whoosh
-
Jokowi Klaim Proyek Whoosh Investasi Sosial, Tapi Dinikmati Kelas Atas
-
Barcelona Bakal Kirim Orang Pantau Laga Timnas Indonesia di Piala Dunia U-172025
-
Menkeu Purbaya Pamer Topi '8%' Sambil Lempar Bola Panas: Target Presiden, Bukan Saya!
Terkini
-
Pemerintah Dorong Investasi Lab & Rapid Test Merata untuk Ketahanan Kesehatan Nasional
-
Indonesia Ngebut Kejar Tarif Nol Persen dari AS, Bidik Kelapa Sawit Hingga Karet!
-
Prabowo Turun Gunung Bereskan Polemik Utang Whoosh
-
Transaksi Belanja Online Meningkat, Bisnis Logistik Ikut Kecipratan
-
Regulator Siapkan Aturan Khusus Turunan UU PDP, Jamin Konsumen Aman di Tengah Transaksi Digital
-
Kredit BJBR Naik 3,5 Persen, Laba Tembus Rp1,37 Triliun
-
Jokowi Klaim Proyek Whoosh Investasi Sosial, Tapi Dinikmati Kelas Atas
-
MedcoEnergi Umumkan Pemberian Dividen Interim 2025 Sebesar Rp 28,3 per Saham
-
Penyeragaman Kemasan Dinilai Bisa Picu 'Perang' antara Rokok Legal dan Ilegal
-
Meroket 9,04 Persen, Laba Bersih BSI Tembus Rp 5,57 Triliun di Kuartal III-2025