Suara.com - Sikap non kompromi dan non negosiasi pemerintah Indonesia dengan China dalam isu di perairan Natuna dinilai sangat tepat. Sikap tersebut perlu dipertahankan dan dibarengi dengan upaya yang terkoordinasi dalam menjaga hak berdaulat di wilayah yang termasuk dalam Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia itu.
Demikian disampaikan oleh Johanes Herlijanto, ketua Forum Sinologi Indonesia, menanggapi pemberitaan mengenai muncul kembalinya kapal penjaga pantai China beserta kapal –kapal nelayan asal negeri itu di Kepulauan Natuna Utara pada 12 September yang lalu.
Kehadiran kapal penjaga pantai dan kapal-kapal nelayan China yang menurut laporan para nelayan lokal terjadi pada 8 September 2022 itu menambah panjang deretan ketegangan antara Indonesia dan China terkait perairan di kepulauan itu.
Sebelumnya, pada Desember 2021 yang lalu, China melakukan protes terhadap pengeboran yang dilakukan oleh Indonesia di wilayah tersebut. Sementara itu, gangguan dari nelayan dan Kapal Penjaga Pantai China terhadap otoritas Indonesia datang silih berganti setiap tahun sejak 2016.
Menurut pemerhati China dari Universitas Pelita Harapan itu, Ketegangan antara Indonesia dan China di perairan Natuna Utara tersebut terkait erat dengan tumpang tindih klaim wilayah di Laut China Selatan, yang menjadi sengketa antara China, Taiwan, Filipina, Vietnam, Brunei, dan Malaysia.
Indonesia sendiri tidak termasuk dalam negara yang terlibat dalam sengketa di atas. Namun pada tahun 1993, China memaparkan sebuah peta yang memperlihatkan klaim yang menurut China didasarkan pada sejarah.
Klaim kewilayahan yang mencengangkan itu ditandai dengan sembilan garis putus-putus, yang kini lebih dikenal dengan sebuatan “nine-dash line.”
“Di sanalah problem antara Indonesia–China mulai muncul: salah satu garis putus-putus tersebut berada di wilayah ZEE Indonesia di dekat kepulauan Natuna,” papar Johanes.
Menurutnya, Indonesia sebenarnya telah berupaya meminta klarifikasi dari China. Tetapi sebagai pernah dikemukakan oleh seorang diplomat senior, Profesor Hasjim Djalal, alih-alih memberikan klarifikasi yang jelas, China hanya mengatakan bahwa Natuna adalah milik Indonesia dan bahwa China tidak memiliki tumpang tindih wilayah dengan Indonesia.
Namun menurut pandangan Johanes, pernyataan bahwa China tidak memiliki sengketa kewilayahan dengan Indonesia jauh berbeda dari sikap China di lapangan.
Baca Juga: KKP Tangkap Dua Kapal Ikan Ilegal Asing Berbendera Vietnam di Natuna Utara
“Sebaliknya, insiden berupa masuknya kapal-kapal nelayan China dan intevensi kapal penjaga pantai China di wilayah ZEE Indonesia telah terjadi bahkan di 2010 dan 2013, meski pemerintah saat itu memilih untuk menyelesaikan permasalahan secara diam-diam, sehingga tidak menjadi perbincangan khalayak ramai,” tuturnya.
Namun menurut penjelasannya, sejak 2016, rangkaian insiden yang menimbulkan ketegangan antara kedua negara terus meningkat sehingga menjadi sorotan media-media nasional dan menimbulkan keresahan baik di kalangan elit maupun masyarakat Indonesia secara umum.
Apalagi, pada tahun 2016 saja tercatat setidaknya terjadi tiga insiden. Sedangkan dalam 3 tahun terakhir ini, yakni pada tahun 2019, 2020, 2021, dan bahkan 2022 ini berbagai peristiwa yang memperuncing ketegangan terkait perairan Natuna kembali terjadi.
Johanes beranggapan bahwa China akan tetap melakukan aksi-aksi yang melibatkan kapal penjaga pantai dan kelompok-kelompok nelayannya di sekitar perairan Natuna Utara untuk mempertahankan klaim China atas wilayah yang ditandai dengan garis putus-putusnya di wilayah ZEE Indonesia di perairan tersebut.
“Ini karena berbeda dengan pada masa lampau, China kini mengakui secara jelas bahwa meski tidak memiliki sengketa wilayah kedaulatan, China memiliki tumpang tindih dengan Indonesia dalam hak-hak kelautan dan kepentingan lainnya di perairan yang kini bernama Laut Natuna Utara itu,” pungkasnya.
Johanes mengingatkan bahwa kedatangan nelayan dan kapal penjaga pantai China hanyalah salah satu dari strategi yang digunakan negara itu untuk mempertahankan klaim nya. Strategi lainnya, menurutnya, adalah upaya akademik dan penelitian untuk mengangkat peristiwa-peristiwa pada masa lampau yang dapat mendukung klaim berbasis sejarah versi China, serta upaya untuk menarik Indonesia agar sepakat bahwa terdapat ketumpangtindihan antara Indonesia dan China pada wilayah tersebut.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- 31 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 18 Desember: Ada Gems dan Paket Penutup 112-115
- Kebutuhan Mendesak? Atasi Saja dengan BRI Multiguna, Proses Cepat dan Mudah
- 5 Skincare untuk Usia 60 Tahun ke Atas, Lembut dan Efektif Rawat Kulit Matang
- 5 Mobil Keluarga Bekas Senyaman Innova, Pas untuk Perjalanan Liburan Panjang
- Kuasa Hukum Eks Bupati Sleman: Dana Hibah Pariwisata Terserap, Bukan Uang Negara Hilang
Pilihan
-
UMP Sumsel 2026 Hampir Rp 4 Juta, Pasar Tenaga Kerja Masuk Fase Penyesuaian
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
-
Samsung PD Pasar Tablet 2026 Tetap Tumbuh, Harga Dipastikan Aman
Terkini
-
Pilihan Baru BBM Ramah Lingkungan, UltraDex Setara Standar Euro 5
-
Pelanggan Pertamina Kabur ke SPBU Swasta, Kementerian ESDM Masih Hitung Kuota Impor BBM
-
Kementerian ESDM Larang SPBU Swasta Stop Impor Solar di 2026
-
59 Persen Calon Jamaah Haji Telah Melunasi BIPIH Melalui BSI
-
Daftar Lengkap Perusahaan Aset Kripto dan Digital yang Dapat Izin OJK
-
CIMB Niaga Syariah Hadirkan 3 Produk Baru Dorong Korporasi
-
Negara Hadir Lewat Koperasi: SPBUN Nelayan Tukak Sadai Resmi Dibangun
-
Kemenkop dan LPDB Koperasi Perkuat 300 Talenta PMO Kopdes Merah Putih
-
Kantor Cabang Bank QNB Berguguran, OJK Ungkap Kondisi Karyawan yang Kena PHK
-
Sepekan, Aliran Modal Asing ke Indonesia Masuk Tembus Rp240 Miliar